No Job

20.4K 713 92
                                    

Menganggur, menganggur bukanlah sebuah hobi apalagi pilihan. Di umur sekarang yang telah menginjak kepala tiga lebih lima ini, tidak punya pekerjaan dan jatuh miskin sama saja artinya kamu akan menggali kuburanmu sendiri.

Jadi Freen harus buang gengsi, biasanya ia yang memberi lowongan pekerjaan pada teman, atau bahkan diajak berbisnis bersama. Kini ia malah panas-panasan di pinggir parkiran Indomaret, hampir saja memungut uang bagi yang menaruh kendaraannya di depan mata.

Tapi tak boleh, jangan hinakan diri sendiri. Masih ada teman, iya kayaknya sih, teman. Coba saja tanya, barangkali mereka-dari lima puluh kenalan di tahun belakangan, ada yang mau bantu.

"Hei, aku butuh kerjaan, ada yang mau kasih tidak?"

Freen memasang voice notes pada grup teman-temannya, termasuk pada perseorangan yang ia kenal lama maupun baru. Ia putus asa. Sambil berdoa pada yang kuasa...

Tuhan, tolong jangan ambil lagi rejekiku, sudah tak kuat, ampun bagiku. Aku takkan menjadi mafia minyak goreng lagi. Aku juga akan investasikan uangku dengan benar, bukannya mentraktir orang sewarteg disetiap kali makan siang. Aku janji, aku janji. Akan tetap berbuat baik serta tidak nakal lagi.

Mungkin ia hampir menangis, sebab matanya kini tengah berair. Oh, tidak, hanya kelilipan debu. Ia mengucek mata, malah makin gatal sebab tangan dari pagi belum dicuci. Sudah mirip gelandangan dirinya. Tidak mandi, tidak sarapan, tidak makan siang. Puasa tidak, menggalau iya.
Namun tak berapa menit, satu bunyi terdengar dari ponsel, mengikuti bunyi lainnya seperti bel rumah.

Ting, ting. Notifikasi balasan.

"Bukannya kau punya ijasah sarjana? Kau bisa melamar pekerjaan dengan itu. Aku akan membantumu jika mau. Kau mau masuk kemana?"

"Jabatan manajer sedang kosong, jika mau. Kau bisa melamar disini. Aku akan usahakan kau bisa masuk."

"Aku punya kenalan yang bekerja di batu bara. Aku bisa memberimu kerja disana."

"Pamanku bisa memasukkanmu ke perusahaannya, tapi, melihat kasusmu, sepertinya akan sulit. Sudahkah kau bicara dengan orang tuamu?"

Grup chat berisikan lima orang Gengnya segera membalas dibandingkan dengan yang lain. Tapi ia malah menghela napas. Para sahabat dari kecilnya ini rata-rata menggunakan hidup mereka dengan baik. Tiga diantara mereka bahkan sudah punya anak, sementara satunya tengah menantikan anak pertama. Lah, sementara dia? Bujang Tua, ganggur lagi. Haduh. Parah.

Mereka tidaklah jahat, bahkan selalu membuat peta jalan kebenaran untuk dirinya berhenti melanglang buana seperti ikan hiu mencari mangsa. Namun ia yang keras kepala dan mau benar sendiri ini selalu mengiraukan.

Merasa bersalah dengan diri sendiri dan mereka. Ia malah jadi tak tahu harus membalas apa. Padahal semua dari mereka telah memberi jawaban yang bisa membawanya keluar dari parkiran panas ini.

Ting.

"Datanglah ke Club. Aku akan memberimu pekerjaan sebagai bodyguard."

Datanglah pesan baru. Dari orang yang baru dikenalnya dua bulan lalu.

Hehm, sambil berpikir. Ia bukan tipe orang yang bisa kerja kantoran. Serius terus, lalu duduk di bilik kotak mirip wc umum. Tidak. Freen tidak tertarik sama sekali.

Ah, pengalaman, cobainlah, yak. Kira saja ia berbakat menjadi bodyguard.

Padahal tidak sadar di umurnya yang sudah kematangan hampir busuk ini, mencari pengalaman untuk main-main hanyalah akan membuang sebagian waktu yang lebih penting untuk dilakukan.

Tapi karena Freen ini tidak bisa menerima semua tawaran sang sahabat yang paling mengenalnya. Ia hanya akan memasukkan pendapat sendiri ke dalam keputusannya.

"Jam berapa?" Freen membalas, sedikit gugup menunggu jawaban. Tapi tak lama segera muncul pesan lagi.

"Jam 10 malam. Kau tahu Club awal kita bertemu bukan? Datanglah ke lantai 3." Jawabannya singkat. Tidak bertele-tele. Suka ini dia.

Akhirnya, Freen lega. Ia menegakkan badan ini dengan tegak. Menganggur bukanlah pilihan, hanya ketakutan untuk maju ke depan.

Jadi ia menekan tombol kunci mobil untuk pulang ke apartemen mewahnya yang tak jauh dari minimarket ini.

Iya, iya. Jika kalian bertanya-tanya. Meskipun Freen seperti orang miskin beneran dengan sendal jepit Swallow dan pakaian pendek warna dekil itu. Ia masih menyimpan satu mobil dan apartemen sebagai harta terakhir yang ia pertahankan. Sebab, wanita itu telah kehilangan banyak harta lain yang kalau di jumlahkan bisa bikin melongo. Namun lagi-lagi, hasil jerih payah yang instan akan ketiban sial instan juga.

Mobil dan apartemen adalah hasil mencari uang dari pekerjaan pertamanya sebagai pedagang mobil-mobil mewah. Tapi karena tamak. Freen ingin membuat keahliannya makin banyak dan melakukan banyak pekerjaan hanya demi tidak bosan.





Notes.

Helooooo, ada yang kangen gak sihhh??

Maaf ya kalo tetiba kalian dapet notif crita malah bukan crita yg diharepin, apalagi yang gak tau FreenBeck. Pokoknya gue mau racunin yg belum tau sama mereka dengan crita iniiiiiiiiiiii.....😂😂😂😂

tenang tenang, ini baru pemanasan Guys, jadi mohon sabar dan nantikan petualangan anak baru dua ini yaaaa...

Bow 🙇 thank you

Call it What You Want (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang