The Proposal

5K 502 67
                                    

Sang Ayah duduk tegap dengan tangan menyangga dagu. Memandang Freen dan selebaran proposal calon mantu yang telah disiapkan Freen dengan hati-hati.

Keluarga kecil itu tengah duduk di ruang tengah yang luas, saking luasnya dulu Freen biasa main badminton disitu. Tapi keluasaan ini justru membuat segala macam suara menjadi gema, meskipun hanya dari nafas sang Ayah yang menatap antara ia dan segala macam idenya.

“Dia mungkin tidak sesempurna yang Ayah harapkan. Pasti akan ada kekurangan, tapi aku ingin bersama dia.” Freen meminta restu. Ia takkan bisa menikahi seseorang tanpa restu orang tua. Meskipun pernah diusir hanya karena meledakkan petasan di rumah tetangga hingga hampir kebakaran. Ia tetaplah ingat mereka meski tahun-tahun belakangan dilewati tanpa keduanya.

“Masalahnya adalah, apakah dia mau sama kamu yang seperti preman ini?” Ayahnya tak percaya ada yang mau sama jagoan pasar seperti Freen. Diwaktu senggangnya dulu saja, Freen biasa memalak anak SMA padahal usia sudah dua lima, sarjana serta punya pekerjaan bagus. Tapi, Freen ini entah keturunan siapa sampai tingkahnya seperti punya lima belas kepribadian.

“Ayah, itu sudah tujuh tahun lalu. Bisakah Ayah melupakannya? Freen tidak seperti dulu lagi.” Jangan pasang wajah merajuk, nanti Ayahnya ini makin tidak percaya dengan keinginannya. Serius Freen, pasang muka serius.

Muka serius Freen.


“Kau hampir membakar rumah tetangga Freen, dan ada Bayi di dalamnya!” Nada sang Ayah otomatis naik, mengingat apa yang dilakukan Freen dahulu.

“Iya, iya, Ayah. Maafkan Freen.” Harus dijinakkan ini. Jadi Freen segera menangkap tangan sang Ayah untuk dicium yang ternyata mempan juga.

“Lalu ... Bagaimana bisa kamu tiba-tiba mau menjadi guru? Bukankah taubatmu ini keterlaluan?” Keterlaluan baiknya! Mana ada orang taubat sekaligus bukannya pelan-pelan, Freen malah memborong sekaligus. Ini jadi mencurigakan!

“Bagaimana Ayah ini, bukannya senang anak pulang mau bawa calon mantu, bahkan mau jadi guru seperti yang Ayah mau dahulu. Tapi sekarang malah dimarahi begini.” Sang Ibu akhirnya bertindak sebagai penyelamat. Menurunkan tensi obrolan keduanya.

“Iya, bagaimana Ayah ini.” Freen malah menunjuk-nunjuk jari pada sang Ayah seolah meledeknya.

“Freen.” Sang Ibu menangkap jemari Freen untuk diam ditempat dan kembali ke topik sebelumnya. “Jadi kamu serius mau menikah lalu jadi guru? Memang mau jadi guru apa?” Meskipun ia tahu Freen pintar, tapi untuk jadi seorang pengajar. Sepertinya bukan keahlian. Apalagi kesabaran Freen yang setipis debu. Yang ada para murid pada kena mental.

“Ah, karena Freen tidak jago dalam mengajar sesuatu. Sepertinya jadi guru olahraga atau guru BK akan cocok untukku.” Biar bisa memarahi anak-anak nakal pembuat masalah. Kan, bakal seru hari-harinya.

Ada helaan napas panjang, mata menunduk dan diam berapa detik sebelum akhirnya sang Ayah kembali bicara. “Baiklah, Ayah akan memasukkanmu menjadi guru. Tapi ingat, kau harus berdedikasi. Karena menjadi guru bukanlah bercanda. Kalau tidak bisa. Kamu bisa mundur sekarang.”

“Aku tidak akan mundur.” Freen dengan yakin menjawab.

“Lalu bawa calon mantu Ayah kesini dengan segera kalau begitu.” Sang ayah menghindarj pandangan, tanda ia sudah melunakkan hatinya.

“Tenang saja. Nanti Freen akan bawa dia kesini.” Karena Freen harus jadi guru dulu sebelum bisa membawanya kesini. Inilah cara dia agar mengenal sang Gadis cantik incarannya. “Tapi Ayah bantuin surat-surat nikahnya ya, Freen mungkin bakalan sibuk ngurusin hal lain.” Alias akan sibuk untuk memenjarakan si Gadis bidadari agar mau hidup dengannya.

“Jadi kamu memberi beban lagi pada Ayah.”

“Ayolah, Ayahhhh...” Freen memohon sambil menciumi tangan sang Ayah tanpa henti.

“Kau memang, harus terus dituruti. Ya sudah, Ayah akan daftarkan pernikahan kalian. Kamu sudah beli cincinnya?”

“Nah, itu juga, sekalian bantu ya, Ayah.” Kali ini Freen mesti turun dari sofa untuk memohon bantuan yang juga tak kalah penting.

“Astaga, anak ini, Bu. Yakin dia bisa menikah?” Sang Ayah melirik pada istrinya yang hanya cekikikan sambil menggeleng kepala. Melihat keduanya yang tampak seperti juragan dan asisten.

Permohonan Freen untuk mendapat restu tak disangka ternyata begitu mudah. Padahal Freen awalnya ragu, apalagi ia tahu betul bagaimana perfeksionis sang ayah. Segalanya harus bagus; bibit, bebet, bobot. Terlebih Freen adalah anak tunggal. Yang membuat tekanan hidup harus-sempurna makin tinggi.

Tapi lihatlah, ia bisa meminta restu, meminta bantuan urusan pernikahan bahkan cincin, belum lagi dapat bekerja sebagai Guru sebagai permintaannya yang lain. Freen tak menyangka bakal semulus ini. Sang Ayah juga tak banyak bicara saat memperlihatkan proposal profil Rebecca. Tak bertanya sedikitpun bagaimana orang tua, lingkungan, serta keluarganya yang lain.

Hehm. Jadi aneh tidak, sih? Halah. Biarin. Yang penting Freen pulang dari rumah mereka dengan damai tanpa terluka oleh pot bunga.

Sementara kedua orang tua yang masih menatap pintu gerbang sepeninggal anaknya pergi. Masih terpaku dan berpikir.

“Apakah dunia ini sangat kecil?” Sang Istri bertanya, dengan tatapan yang sama—menatap gerbang yang kini telah menutup rapat.

“Tidak, bu. Bukan dunia yang kecil. Tapi kota kita.” Suaminya malah tersenyum lebar. “Ayah jadi tak perlu susah mempertemukan mereka.” Ia merasa senang, bahkan berbalik melangkah sambil bersiul-siul bahagia.

~~*~~


Jika mereka jalannya mulus. Tapi si Gadis cantik yang dibicarakan harinya sangat terjal dan buruk. Kepalanya seharian pusing, tidak konsentrasi, bahkan ingatan semalam yang kembali membuat mentalnya kini sekecil biji kol.

Masih untung ia tidak pingsan dan bisa menjalani satu hari mengajar meskipun susah payah ia bertahan.

“Sabar ... Sabar. Sebentar lagi masuk rumah.” Becky membuka gerbang rumah dengan tergesa, membuka kunci pintu hingga balik menutup dengan suara cukup keras. Lantas ia bisa berteriak lalu menangis.

Kenapa ... Kenapa terjadi begitu cepat? Kenapa keperawanannya hilang hanya karena semalam? Terlebih oleh alkohol.

“Sialll...!!!” Becky berteriak sambil terisak. Terasa tidak benar, terasa salah, terasa menyakitkan. Ini begitu, memusingkan!

Ia jadi makin benci dirinya sendiri!

Becky ingin sekali tenggelam dan hanyut di laut saja agar hilang sekalian. Ia merasa frustasi. Dirinya bahkan tak mengenal siapa Wanita sialan yang telah merebut kesuciannya.

Bagaimana kalau ia hamil? Tapi ia hanya melakukannya sekali. Tapi bagaimana jika betulan hamil?

Tidak! Ini tak benar! Hidupnya akan hancur begitu saja. Hidup yang ia buat dengan terhormat setelah meninggalkan masa lalu kelam, kini hancur lebur oleh orang asing yang ia temui tidak sengaja di sebuah tempat karaoke.

Aduhhh! Hancur hidupnya! Hancur!

Tapi sebentar, ia belum menghubungi Irene sama sekalu hari ini sebab ponselnya mati total. Sang Sahabat, mungkin kenal wanita itu, atau bisa mencari tahu tentangnya lewat orang yang telah memesan tempat Karaoke.

Betul, ia harus menghubungi Irene soal ini.
Jadi Becky langsung bangun sambil mengusap sisa air matanya. Ia masuk kamar untuk men-charger ponsel. Tapi malah menemukan seonggok dompet tebal yang tergeletak di dekat jam Bekernya.

“Dompet siapa ini?” Lalu dibukalah si dompet dengan isian lengkap; kartu ATM, uang tunai, segala macam kartu member, bahkan SIM. Lah, darisitulah ia melihat foto sang wanita. Dengan nama yang ia baca;

Freen Sarocha.

Foto SIM yang terniat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Foto SIM yang terniat.


Gas ajalah, gasssss😂😂😂😂
Hei kalian! Jangan diem2 bae! Komen! Komennn, nanti yg nulis masuk goa lagi baru tahu rasa kalian😂😂

Call it What You Want (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang