The Kiss that Never Happen

7.5K 519 65
                                    

Karena lumayan gratisan, lagi. Becky akhirnya mau diantar. Toh, dia hanya wanita. Memang dia akan diapain? Eh, kalau rumahnya dirampok bagaimana?

Memikirkan hal negatif, Becky melek. Melirik pada si Wanita yang lebih jangkung. Bahkan tinggi badan mereka ketika duduk pun kelihatan siapa yang lebih kecil; tentu saja dirinya.

"Kenapa?" Freen sempat melirik, menyadari si gadis yang tiba-tiba bangun dari pejaman mata, untuk kemudian kembali memutar setir untuk belok. Begitu fokus menyetir, seolah minuman alkohol yang diminum tidak membuatnya merasa tipsy.

"Tidak." Becky mengurungkan niat berpikiran jelek. Sebab, pakaian wanita itu terlihat necis meskipun sederhana. Ia tahu kemeja itu mungkin dia beli dari Zara seharga tujuh ratus ribu, serta celana Jeans dari Levi's-yang telah ia lihat sampulnya dari belakang celana-juga bisa jadi seharga satu jutaan. Belum mobil Porsche yang mulus ini. Kelihatan bersih dan terawat. Itu artinya si pemilik tidak urakan.

Hehm. Sepertinya dia kaya. Jadi mana mungkin dia akan merampok rumah kecilku yang tidak ada hartanya. Eh, lagian harta yang paling berharga kan, diriku sendiri. Apa akan diapa-apain aku ini?

Becky kembali melirik, lirikannya seperti pistol tanpa suara-menghakimi, jutek, serta bisa mengusir setan. Memperhatikan lagi si wanita, tapi kali ini pada wajahnya. Barangkali saja dia serial killer, kan. Kamu tahu series You, itu? Tampan, memesona, pintar. Bisa jadi wanita ini juga begitu, iya tidak?

"Apa ada tai kucing di wajahku?" Freen menepuk pipinya yang tak ada apapun, barangkali memang ada sesuatu di wajahnya. Sebab ia heran kenapa sang Gadis menatap dengan cara seperti itu. Iya, seperti ekspresi yang menyatakan kalimat tanpa suara-kenapa kepalamu begitu besar? Atau ... Kenapa pipimu melebihi kadar lemak di lengan? Atau ... Kenapa wajahmu aneh? Mungkin itu pernyataannya. Sebab lirikannya seperti hakim Akhirat yang akan menuduhkan segala dosa dalam tubuh.

"Aku hanya berharap kamu bukan orang jahat yang akan menculikku." Becky menjawab, sebab Irene selalu berkata-saat ia mulai hidup sendiri-Becky mesti jaga diri. Dengan wajah cantik dan Body bagus, orang jahat akan merasa mendapatkan sebuah lotre ketika melihat, lantas mereka akan menculik kapan dan dimana saja.

"Apa wajahku mirip narapidana?" Freen mengangkat satu alis, tanpa memutar kepala untuk melihat sang gadis bicara. "Aku tidak punya tato sebesar gajah di punggung, dan tidak punya cap penjahat di jidat. " ya, meskipun dirinya ini punya satu tato kecil berbentuk tapak kaki anjing, juga satu bergambar bunga Lily di perut bagian kanan.

Lagian ia punya wajah elegan dan keren begini-kata ibu sih, begitu-mana bisa disangka sebagai penjahat.

Tapi apa jangan-jangan dia ini bisa meramal masa lalunya yang penuh masalah? Ia mungkin saja sudah jadi narapidana jika tidak punya uang untuk menghentikan masalah makin besar saat pemendaman minyak goreng yang ia lakukan beberapa bulan lalu itu-anggap saja uang suapnya sangat besar hingga Freen lolos dari seleksi kriminal.

Karena biasanya ia main aman, masalah yang kemarin cukup membuatnya trauma dan takut untuk melakukan praktik aneh lagi. Mungkin ini saatnya ia bertaubat lalu mati, eh tidak juga. Maksudnya memilih jalan yang benar. Tapi eh, biasanya orang baik gampang mati loh. Lah, Freen tidak mau mati dulu. Belum ketemu jodoh.

"Aku juga berharap kamu tidak melamun sambil menyetir." Becky menatapi Wanita yang tampak bengong padahal lampu merah sudah menjadi hijau.

"Aku tidak akan menabrakkan mobilku satu-satunya jika itu yang kau takutkan." Freen jalankan mobilnya lagi setelah sadar bahwa ia memang melamun. Kebanyakan pikiran ini memang, mungkin efek minuman tadi. Tapi mungkin juga ia tipikalnya begitu.

"Ini belok kemana lagi?" Freen bertanya sambil memelankan laju mobil, melirik pada si gadis yang kini memijat pelipis. Entah tengah merasa pusing atau mencoba tetap sadarkan diri.

"Ambil kanan," mobilnya belok ke kanan."Lalu kiri." Terus ke kiri. "Sedikit lagi, dua rumah di depan." Seratus meter dan mobil berhenti.

"Terima kasih." Kalau bisa Becky langsung terbang ke kamarnya karena ingin sekali ia rebahan. Tapi sayang ia hanya punya dua kaki kecil untuk melangkah secara manual.

"Aku bantu." Freen segera tanggap membawakan tas, bahkan membukakan pintu sampai si empu kaget dengan perlakuannya.

"Euh, terima kasih." Becky turun dari mobil untuk kemudian mengambil dua tasnya dari tangan si Wanita, namun dia ini malah memundurkan langkah untuk menolak keinginannya.

"Aku akan membantumu. Buka pintu terus aku taruh tasnya di dalam."

"O-oke." Becky mengedip-mengerutkan mata yang terasa makin kering, makanya ia mau saja dibawakan tasnya yang berat itu. Lumayan kan, tenaga tambahan. Ia bahkan melihat--dari kaca rumah--bahwa si wanita memperhatikan punggungnya sambil mengangkat sedikit tangan yang mengambang di udara saat ia membuka gerbang, sampai ia membukakan pintu rumah. Mungkin takut dirinya jatuh, maklum, langkahnya memang agak sempoyongan. Sial, sepertinya dia mabuk betulan. Itu kenapa dari tadi tubuhnya jadi terasa panas dan menggerah.

"Terima kasih " Becky memperhatikan tasnya di letakkan di atas meja ruang tamu. Ia kira si wanita bakal langsung pergi setelah ia berucap 'terima kasih' tapi dia malah berdiri lama di hadapannya. Membuat dirinya jadi canggung. "Apa aku harus bayar ongkos bensin?"

"Tidak perlu." Freen tersenyum lebar, sampai gusi atasnya kelihatan hingga tampak membuatnya jadi tidak elegan lagi. "Tapi, apakah aku tidak dijamu? Aku kan, tamu." Smooth, tidak? Inilah cara mulus untuk berkenalan.

"Oh." Becky sedikit terkejut. Ternyata dia menganggap dirinya tamu, padahal dia hanya orang asing yang bahkan tidak tahu siapa namanya. "Kamu mau minum apa?" keluar dari mobil yang ber-AC jadi makin membuatnya gerah. Titik keringat mungkin sudah keluar dari punggungnya.

"Apa saja asal jangan air panas." Freen duduk tanpa disuruh. Seolah sudah akrab dengan keadaan, atau memang kebiasaan tipe orang terlalu santai.

"Oke." Setidaknya dia tidak benar-benar minta ongkos padanya. Jadi berikan saja jus jeruk. Sepertinya sih, masih ada jus. Coba periksa dulu.

Call it What You Want (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang