Don't Forget

4.6K 444 34
                                    

Becky ngos-ngosan bukan karena lelahnya menuruni tangga dari atap sampai lantai bawah, tapi ia menahan diri agar tidak pingsan kelaparan. Astaga, aku akan membunuh wanita itu setelah ini.
Tak hiraukan panggilan Freen yang meneriaki namanya dengan tidak sopan, wanita itu telah menjadi sasaran pandang para murid dengan tatapan bertanya-tanya.

“Rebecca!” Gaduh, suaranya membuat kehebohan hingga yang punya nama mesti hentikan langkah untuk segera bungkam mulut dengan tangannya. Apalagi mereka sedikit lagi sampai kantor Guru, jangan sampai menjadi bahan gosip.

“Kau sangat berisik. Diam!” Becky ingin sekali memukul kepalanya tapi tahan diri ketika para murid menatap dengan sembunyi-sembunyi. “Dan jangan panggil aku dengan tidak sopan disini.” Ini institusi resmi, wanita ini tak boleh sembarangan memanggil nama seperti saat dia bermain dengan teman.

“Lalu aku panggil kamu apa?” habisnya dipanggil tidak juga berhenti, Freen bahkan ingin meneriakkan seluruh nama lengkapnya jika si cantik tak juga membalas panggilannya.

“Miss ... Becky.” Becky menekankan namanya, tapi si wanita malah membuat cengiran seram yang hampir saja membuat ia melayangkan tangan menimpuk bibirnya.

“Terdengar sangat seksi,” Freen mesti mengulang bagaimana Becky menyebut nama dengan nada halus, penekanan tegas, tapi juga ... Ya Tuhan, harus bagaimana menjabarkannya lagi. “Miss Becky.” Ia meniru tak sama persis tapi yang punya nama malah langsung mencubit perutnya seolah ia tengah membuat kesalahan.

“Kau juga tak boleh bicara sembarangan disini, atau—“

“Atau apa?” Freen tak takut. Kenapa memang? Mau mengadukan ke Kepala Sekolah? Haha, tidak bisa, ya.

Becky merasa bahwa ini orang akan terus melawan, ia ingat betul bagaimana omongan para Guru tadi pagi soal manusia ini. Nakal, bandel, tapi juga pintar. Jadi ia mesti paham bagaimana melawannya.

“Aku tidak jadi menerimu.” Becky mengancam. Suaranya dijaga pelan agar manusia lain yang masih perhatikan tak dengar pembicaraan keduanya. “Jika kamu tidak bisa menghargaiku, dan bertingkah main-main seperti ini. Apakah aku masih mau denganmu?”

“O-oke, Miss. Saya minta maaf.” Freen jadi ingin menampar diri sendiri. Betapa malu dirinya dibilangin begitu oleh seorang Guru betulan. Bukan Guru-Asal-Jadi seperti dirinya ini. Ia bahkan belum bisa memberi materi di hari pertama selain berkenalan dari kelas ke kelas dan bercanda sampai jam pelajaran habis. Apakah ia terlihat bodoh? Nah, setidaknya Freen sudah berusaha.

“Thanks.” Iya, kan. Jika dia nakal tapi pintar, setidaknya dia mau mendengar orang lain bicara. Not bad.

“Jadi, ayo pergi mak—“


“Miss sudah makan?” seorang Guru lain menginterupsi di tengah keduanya. Membuat Freen sontak melotot pada siapa ini dengan kaca mata tebal dan rambut klimis itu? Sepeti kartun penampakannya. Freen langsung tak suka.

“Bapak tahu saja kalau saya belum makan.” Seperti dapat pertolongan pertama, Becky merasa lega bahwa Pak Deni yang suka sekali memberinya makan selalu tahu jika dia belum-tidaknya makan. Meskipun kadang senyumnya agak menganggu, tapi dia baik dan royal.

“Miss Becky mau makan dengan saya, Pak.” Freen dengan cepat berjalan ke tengah—menyembunyikan Becky di belakang punggung dari hadapan Guru lelaki yang kelihatannya suka dengan sang calon istri. Enak aja mau dicomot calonku hanya lewat makanan, oh tidak bisa.

“Aku tidak bilang apa-apa, ya Bu. Aku bisa makan apa saja asal ada makanan sekarang, tidak mesti pergi makan denganmu.” Becky membelai batas diantara mereka dengan mendorong sedikit tubuh Freen ke samping. Ia akan makan apapun saat ini. Sebab untuk menelan ludahnya sendiri saja perut Becky sudah terasa pedih. Tolong jangan asam lambung, ya. Kuatkan tubuh.

“Iya, ada nasi tumis udang yang saya taruh sejak tadi di meja, Miss. Tapi Miss tidak ada dan makanannya masih utuh, dan malah menemukan Miss dengan ...” Deni mengangkat satu alis memandangi Freen seolah mengajaknya bersaing.

“Saya, Freen.” Freen segera menjabat dengan kedua tangan, tatapannya datar dan serius, serta penuh ketekanan tanpa rasa takut. “Calonnya Miss Becky. Siapa nama Bapak? Nanti saya undang ke pernikahan kita nanti.” Nah, kan. Kena mental. Freen jadi bisa senyum menang setelah melihat ekspresi lawan di depannya yang tampak terkejut tapi juga masih berpandang dengan penuh tanya lewat kilasan tatap pada Becky.

“Euh,” Sial. Ternyata Wanita ini benar-benar, mulutnya tak punya rem. Becky bingung, akan menjawab apa ini? Ia hanya berakhir jadi gagu dan kikuk. Tapi suara Freen langsung menutup percakapan mereka.

“Miss Becky alergi udang, Bapak makan saja nasinya, ya. Dia mau makan dengan saya sekarang.” Freen dengan tanggap menggenggam tangan Becky, membawa—dengan sedikit paksa—gadis cantik itu dari satu semut yang ditemui hari ini.

“Aku tidak alergi udang.” Becky mencubit lengan Freen yang terus menarik tangannya untuk berjalan. Ya ampun, mau kemana ini? Jam istirahat bahkan tinggal berapa menit? Becky memandang sejenak jam di tangan dan menghitung bahwa hanya tinggal sisa dua puluh lima menit sampai istirahat selesai dan ia mesti pergi ke kelas untuk mengajar. Apa sempat pergi keluar makan? Tidak mungkin!

“Kamu tidak perlu menarikku seperti ini.” Becky melicinkan tangan dari genggaman tangan Freen untuk lepas. “Kau terlalu menarik perhatian, bahkan ini baru hari pertama.” Apa jadinya kalau hari kedua, ketiga, dan seterusnya? Wanita ini juga tampaknya sangat vulgar. Ingat saja bagaimana dia berusaha menjabarkan banyak adegan saat mereka mabuk. Untung ia langsung menampar mulutnya,  jika tidak, dia pasti dengan sangat bahagia menceritakan setiap detail bagiannya.

“Aku sudah memesan makanan, aku bilang pada yang mengantar untuk di titipkan pada satpam. Jadi kita tinggal ambil dan makan.” Apa dia pikir akan memesan makanan untuk dirinya sendiri sejak awal ia pesan sebelum istirahat? Ya, tentu saja tidak, bung.

“Oh,” Becky bernapas lega. Sebab ia hampir saja mengambil pot dekat jendela kelas untuk memukul kepala Freen agar pingsan biar ia bisa berlari kembali ke kantor dan makan nasi udang yang kayaknya enak sekali. “Ayo, cepat jalan kalau begitu.”

Dengan semangat Becky berjalan melewati Freen. Bukan karena lapar, tapi juga mengejar waktu yang tidak banyak.


~~*~~


“Berhentilah menatapku.” Dari Becky awal makan, hingga hampir habis si Nasi Padang. Freen terus menatapinya tanpa malu, sampai kadang menebar senyum yang kelihatan seperti Wanita genit. Dia bahkan tidak menghabiskan makannya demi menatap. Sangat kurang kerjaan.

“Oh, akhirnya kau bicara.” Karena sejak tadi Becky begitu pendiam kecuali mulut sibuk mengunyah.

Becky melirik dengan galak. Ia menahan tidak bicara untuk minum terlebih dahulu setelah menyelesaikan suapan terakhirnya. “Kamu tidak boleh bersikap seperti ini.” Ia akhirnya bicara.

“Maaf.” Freen sepertinya berlebihan. Ia jadi tahu diri kalau sikapnya kurang sopan dan tidak melihat situasi, apalagi saat dia berkata bahwa ini bahkan di hari pertama. Apakah tingkahnya sangat mendrama? Ia harus menahan sedikit kebiasaan jadi dirinya sendiri ternyata kalau disini. “Aku hanya ... Terlalu senang mungkin.”

“Kau bahkan membuat satpam duduk diluar.”

Freen telah menyogok kedua satpam untuk keluar dari ruangan kecil mereka dengan dua bungkus rokok dan membiarkan ia dan Becky makan di dalam tanpa interupsi.

“Aku tidak tahu kita bisa makan berdua dimana, semuanya serba anak-anak dan Guru.” Freen yakin Becky juga akan sama bingungnya. Meskipun ia juga tahu mungkin Becky hanya akan mengambil makanan lalu meninggalkannya begitu saja sendirian. Jadi untuk menahan, ia melakukan ini.

Good point.” Becky mengangguk membenarkan. “Thanks for the food. It’s yummy.” Ia melipat bekas makanan untuk dibuang—termasuk milik Freen yang sisa seperempat, mengelap meja dengan tisu, lalu membuangnya ke tempat sampah pojok ruangan.

“Ya, sama-sam—“ Freen baru saja akan berdiri, tapi Becky dengan acuh keluar dari ruangan meninggalkan dirinya dengan terburu seolah sosoknya tak kelihatan. “Hei, tunggu!”

“Apa lagi?” Becky berhenti, lalu mengecek jam tangannya, masih lima menit. Tapi lima menit itu untuk berjalan kembali ke kantor, mengambil tas dan jalan lagi ke kelas mengajar. Bahkan sepertinya itu butuh lebih dari sekedar lima menit.

“Jadi kan, habis pulang dari sini menemui orang tuaku?”  hanya untuk memastikan, juga agar Becky tidak lupa.

Becky memutar mata mencoba sabar. Jadi ia bakal jawab cepat saja. “Iya, kamu tidak perlu khawatir. Aku akan disini sampai pulang. Jika aku berusaha kaburpun, kamu tipe orang yang penuh taktik untuk menghentikannya.” Cerdas licik, Freen bisa jadi tipe seperti itu. Lihat saja cengirannya saat ini seolah telah mengungkap fakta.

 Lihat saja cengirannya saat ini seolah telah mengungkap fakta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Kau benar, baiklah. Miss, kita akan bertemu lagi saat jam sekolah berakhir.” Tak lupa mengerlingkan mata dengan tebar senyum, Freen membiarkan gadis itu pergi meski tingkahnya hanya dibalas putaran bola mata. Tapi tak apa, dia tetap menggemaskan.




Gilak ya, Becky tuh cangtipp bangettt😭😭😭🥰🥰🥰 makannya bapak Freen langsung kesemsemm

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gilak ya, Becky tuh cangtipp bangettt😭😭😭🥰🥰🥰 makannya bapak Freen langsung kesemsemm

Sorry ya Guys tengah malem ada notif aneh dari gue😭😂😂
Gue seharian ini pusing, ngantuk terus menerus dan otaknya mulai nge-lag. Aku bahkan tadinya gak tau bakal bisa update lagi apa nggak . Tapi well, what a surprise gue begadang cuman buat nulis dan update🥺😂 siap2 tepar besok.

Ditunggu komenannya ya bestiee

Call it What You Want (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang