Drunk

6.8K 531 35
                                    

“Oh.” Becky kaget saat seseorang menongolkan mata hampir jatuh ke lantai demi menatapnya. Otomatis mematikan musik untuk bertanya kenapa Sang Wanita membuka pintu ini. Apakah teman Irene?

“Mencari Irene?” Becky menghampiri untuk membuka pintu. Memperlihatkan wanita cantik dengan celana jeans dan kemeja kebesarannya.

“O... Oh, tidak.” Freen jangan melongo. Ia hampir menampar diri sendiri. Serius. Dia cantik sekali. Bukannya baru pertama kali melihat wanita cantik. Tapi gadis ini, ya ampunnn... Keterlaluan cantik! Mirip Angel! “Aku mencari Mister Henry. Apakah aku di ruangan yang salah?”

“Oh, sepertinya kau benar. Tapi aku tidak tahu pasti, temanku yang tahu tentang orang yang memesan ruangan ini. Jika mau, kau bisa duduk di dalam. Nanti temanku datang, kamu bisa tanya langsung padanya soal itu.” Irene hanya bilang kalau ini Gratisan, lah, tapi ini malah ada orang lain datang. Masa iya, diusir begitu saja. Kan, tidak bisa. Jadi Becky biarkan Sang Wanita  duduk bersebrangan jauh darinya. Duh, introvertnya keluar lagi. Ia jadi malu telah ketangkap basah asik bernyanyi.

Jadi untuk menutupi kecanggungan, Becky meraih pulpen dan kertas tugasnya, kembali melanjutkan apa yang belum selesai ia kerjakan sambil berharap Irene segera datang dan menghanguskan situasi berada di satu ruangan dengan orang asing seperti ini.

Canggung juga. Freen menatap bolak-balik ruangan, lalu wajah cantik itu, lalu tembok, lalu wajah cantiknya lagi, lalu pada kakinya yang bergerak-gerak gelisah.

Kenalan boleh tidak, ya? Haduh cantik sekali, sayang sekali kalau sampai tidak kenalan. Bisa jadi kan hari ini malah ketemu sama jodohku.

Berpikir terlalu panjang, ia bahkan tak pernah mau menikah tapi setelah melihat seorang bidadari, perasaan ingin mengikat itu tiba-tiba datang secara instan. Padahal, sesuatu yang cepat jelaslah bukan hal baik. Lihat saja kini ia yang menganggur karena uang instan itu.

Freen jadi menghela napas, mengingat belum punya pekerjaan lagi. Ia jadi tidak berani berkenalan. Rasanya tidak keren mendekati seseorang dengan keadaan tidak punya penghasilan. Sangatlah tidak gentleman, eh, gentlewoman.

Tapi menikmati wajahnya saja tidak apa, bukan.

Freen melempar pandang pada sang gadis lagi. Berkata dalam hati bahwa s
Sang Bidadari juga sepertinya punya tugas sekolah yang banyak seperti manusia lain.  Lihat saja sudah berapa lembar dia mencoret dan menulis. Sangat sibuk. Padahal tempat seperti ini seharusnya buat senang-senang bukan buat mengerjakan masalah dalam kertas.

Eh, tapi tadi kan, Freen sempat melihat dia bernyanyi-nyanyi asik sampai dia datang menganggu begini. Ah, pasti dia malu. Dasar kau, ganggu saja Freen. Harusnya kau terus intip saja dari pintu. Tapi, tapi ... Dia sendiri yang menyadari keberadaannya. Mungkin kepalaku terlalu besar hingga siapapun bisa melihat. Apakah aku harus searching cara mendietkan kepala agar tak begitu besar?

“Kau sudah mabuk?” Becky bertanya, kenapa wanita itu menggumam begitu keras? Suaranya sangat menganggu konsentrasi hingga tak sadar ia segera bertanya tanpa ragu.

“HAH?” Loh, kok. Aku teriak. Freen kaget sendiri kenapa ia menaikkan nada mendengar pertanyaannya.

“Apa kau sudah mabuk?” Becky memperjelas. Melirikkan matanya pada meja berjajarkan segala minuman alkohol. Mungkin saja Wanita itu sudah minum satu botol Vodka. Mana tau, kan ia sibuk sendiri dari tadi.

“Ti-tidak...” Freen mengikuti arah sang gadis memandang, dimana meja ternyata penuh dengan minuman manis. Wah, aku mengabaikan minuman alcohol demi menatap gadis cantik. Sejak kapan aku jadi nakal begini?

“Aku belum minum sama sekali. Apa ini boleh diminum?” Freen menunjuk pada Beer kaleng.

“Ya, boleh. Kata temanku itu semua sudah dibayar.”

Hebat si Henry. Minum satu, ah. Freen cepat-cepat membuka kaleng bir, menenggaknya hingga tenggorokan bersuara seperti galon yang menekan air keluar. Sangat keras hingga Becky bahkan sempat menatap heran.

“Wah, enak.” Manis. Sampai tidak terasa sudah habis sekaleng, tambah lagi boleh tidak, ya? Tapi, dia bilang semua sudah dibayar. Jadi, jadi, boleh dong.
Freen mengambil lagi satu kaleng. Lalu habis. Keenakan, ia ambil lagi, kali ini gelas kecil yang ia tuangin dengan tequilla. Sedikit saja, jangan banyak-banyak, nanti ia tidak bisa pulang.

Wadau, enaknya. Mabok aku ini bisa-bisa. Kepalanya masih waras. Minum segini belum ngaruh bagi Freen. Ah, enaknya cobain apa lagi ini? Whiskey?

Klatak.

Suara pulpen jatuh sontak buat Freen teralihkan, eh, ia lupa bahwa masih ada orang lagi disini. Kenapa kau tak tawari Freen?

“Mau cobain?” Freen ambil satu gelas kecil yang baru, ia tuangkan sedikit campuran Vodka dengan Tequilla. Sedikit saja, mana mungkin ia akan biarkan orang asing mabuk. Ia tidak mau kerepotan mengurus. Eh, tapi kalau gadisnya secantik ini sih, tidak apa kali, ya?

“Aku tidak minum. Besok harus bekerja. Terima kasih.” Singkat, padat dan langsung bikin yang menawari gelas segera mengerutkan niat.

“Sedikit saja. Hanya satu gelas ini. Tidak akan membuatmu langsung mabuk.” Freen beranjak dari duduk untuk menghampiri, ia tarik pulpen dari genggaman tangannya untuk meletakkan gelas yang telah ia isi. “Minum, hanya seteguk. Mumpung gratis.”
Senyum anehnya membuat Becky menatap datar. Tapi ia melirik pada gelas kecil yang diberikan ini. Ragu apakah akan minum atau tidak.

“Minum. Ah... Ah.” Freen membuat gerakan udara mengangkat tangan untuk menyuruhnya segera minum.

“Kau sangat memaksa.” Padahal kenal saja tidak. Becky menggerutu. Tapi akhirnya menenggak juga. Penasaran sebab selama ini ia hanya berani minum bir. Itupun dengan ukuran yang kecil.

“Oh, shit.” Sial. Tidak, tidak, ini tidak enak. Tenggorokannya terasa terbakar. Becky juga tidak suka dengan rasanya. Ampun, deh. Ada air putih tidak, sih? Ia harus menabur ketidakenakan ini dengan hal lain. Kalau ada sih, pakai susu ini biar adem.

“Tidak suka.” Sangat. Ia sampai mengais-ngais botol lain barangkali ada air mineral. Tapi wanita itu malah menawarkan Bir yang baru saja di buka untuknya.

“Kau mencari apa?” tangannya padahal masih terangkat untuk memberi kaleng bir. Barangkali gadis itu butuh pelupa rasa. Bir ini memiliki kadar alkohol rendah. Rasanya juga manis, jadi tak apa jika minum lagi.

“Tidak ada air mineral, ya.” Becky mengembus napas keras yang pada akhirnya menerima pemberian orang asing itu. Tidak curiga apa barangkali saja sang wanita bakal memberinya sianida lalu ia mati disini juga.
Oalah, guru macam apa ini yang akan meninggal dalam tempat karaoke penuh prostitusi? Jadi jelek judul berita yang akan menongolkan namanya.

“Tentu saja tidak ada, nona.” Freen melongo menyaksikan gadis itu segera menenggak bir yang diberikan secepat seseorang menyiram tanaman kering. Pasti sangat haus, ya. Seharusnya dia minum air putih.

Klang! Becky menghentak kaleng kosong di permukaan meja hingga wanita di sampingnya sempat tersentak.

Sial. Aku bisa mabuk ini. Becky sedikit pening. Pikirannya bahkan sedikit melayang entah membayang apa ini. Segala macam pikiran jadi datang. Mau itu pikiran sebuah hal yang ia benci, atau hal yang ia senangi, bahkan muncul sebuah gairah semangat yang aneh.

Sial. Ia belum pernah mabuk. Apa Becky pulang saja, ya?

“Kamu terlihat...” Freen menudingkan wajah cantiknya yang kelihatan sayu setelah menenggak tidak-seberapa alkohol yang diminum.

“Seperti bule turis?” Biasanya orang-orang menyebutnya seperti itu. Entah itu sebuah hinaan atau pujian. Becky tak peduli dari awal ia mendengar itu dari mulut orang yang tidak mengenalnya.

“Kamu terlihat sedikit mabuk.” Freen melanjutkan. “Pipimu memerah, kau tak apa.” Haduh, sepertinya dia tidak biasa minum alkohol. Ia jadi menyalahkan diri sendiri kalau sudah begini.

“Ya, dan lebih baik aku akan segera pulang kalau begini.” Becky berkemas; memasukkan segala macam kertas serta pulpen yang telah ia keluarkan. Ia tidak ingin tak sadarkan diri. Lebih baik teler di rumah ketimbang disini.

“Kau ingin pulang? Apa kau butuh diantar? Aku bawa mobil. Aku bisa mengantarmu jika mau.” Sebagai rasa bersalah. Setidaknya Freen harus bertanggung jawab atas kelakuannya memabukkan anak orang.

“Kau... “ Becky menudingkan jari pada sang wanita. Sedikit kesal kenapa ia mau saja diberi minum. Sudah besok harus langsung kerja lagi. Sial. “Jangan sok akrab.” Ia menyudahi kalimat sebelum terhuyung pusing.

“Hei, hei...” Freen segera menangkap tubuh kecilnya. Panik, waduh beneran ini sudah mabuk dia. “Ayo, aku akan antar. Aku bukan orang jahat. Berikan saja alamatmu.” Ia memaksa, memapah sambil mengambil satu tas ranselnya yang ternyata, busyet, berat banget. Pantas saja dia kecil begini. Lihat beban yang dia panggul di tubuhnya.






Hey mantemannn, gimana episode 11 semalemmm???
Masih pada warass??
Kalo gue sih pasti bangun tengah malem cuman buat nonton, trus habis itu gak bisa tidur lagi karna kepikiran kan ya, bo.
Kagak mungkin gue gak mikirin. Udah kek beban hidup aja.
Udah, mah hari ini gue masuk kerja lagi.
Udah mah gue juga mau update lagi.
Hamdalah aja deh gue gak teler kayak Nong becky😂😂😭😭😭

Excuse me, P' Freen mau pamer ketamvanannya😌😌😌

Call it What You Want (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang