31. POSISI PERCINTAAN

215 54 7
                                    

Tidak hanya menangkap Overhaul dan seluruh yakuza yang bekerja di bawahnya, para pahlawan juga mencari keberadaan Madeline, yang rupanya sudah sering bolak-balik ke markas Shie Hassaikai.

Izuku mengembuskan napas dalam, kali ini ia tidak boleh melepaskan kakak sepupunya. Makima sudah terlalu jauh bertindak sendirian, jadi ia akan membantunya dengan mengulurkan tangan.

Seluruh tragedi Jepang salah All For One, ketamakan penjahat tersebut menghilangkan nyawa serta kesadaran orang-orang. All Might, Makima, dan mungkin Tomura Shigaraki juga kena manipulasinya.

Selama ini Makima tidak menjaga jarak, sikapnya sangat terbuka dan dewasa. Masa lalunya juga tak ditutup-tutupi, bahwa paman Izuku menelantarkan kakak sepupunya.

Oleh karena itulah Izuku tak pernah merasakan keganjilan karena Makima tidak bersikap mencurigakan. Kakak sepupunya hanyalah orang baik yang dimanfaatkan. Pembunuhan yang dilakukan Makima terhadap Nyonya Presdir dari Komisi Pahlawan Keamanan Publik benar adanya, tetapi Izuku yakin kakaknya cuma dipaksa.

Izuku akan menyelamatkan mereka, membawa kembali semua orang yang berada di bawah kendali All For One.

“Tunggu aku, Maki-nee.”

Mendadak Makima bersin, mengejutkan dirinya sendiri yang segera menatap Hawks di ranjang apartemen sang pahlawan. Untungnya, pemuda itu masih terlelap walau tubuh panasnya pasti membuat tidur tidak nyaman.

Ia yang sedang menulis surat untuk ditinggalkan pun kembali fokus pada kegiatan. Makima membaca ulang pesannya, lalu mengangguk yakin agar dirinya segera pergi dari Hawks.

Makima keluar apartemen di tengah malam, menatap langit berbintang musim gugur yang memuakkan.

Sekarang—ia tinggal menyelesaikan urusannya bersama Overhaul.

Sekarang—ia tinggal menyelesaikan urusannya bersama Overhaul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aneh.

Entah mengapa ... aku tidak bisa mengungkapkan kalau aku telah berhenti mencintaimu. Tetapi aku malah melepasmu.

Terbanglah yang bebas, Hawks-kun.”

— M.S

Hawks berada di rumah sakit. Sudah satu minggu demamnya tidak turun. Tetapi saat seseorang membawakan surat berinisial M.S, rasanya tubuh itu kembali segar, bahkan usai membaca pesan yang ditinggalkan.

Sejujurnya, sakit yang Hawks derita bukan disebabkan makanan atau minuman tak higienis, soalnya—sedari kecil ia memang sudah hidup miskin dan mengisi perut seadanya, oleh karena itulah Hawks tidak keberatan memasukkan apa saja. Namun panas itu dikarenakan Makima meninggalkannya sendiri.

Entah sejak kapan, Hawks merasa suka dengan sosok misterius tersebut. Bukan hanya tertarik, melainkan benar-benar terseret ke dalam sikap Makima yang mempesona.

Makima orang yang serius dalam bekerja, selain itu masih bisa bercanda walau Hawks sempat kena teguran mematikan darinya.

Awalnya Hawks tidak percaya dengan perasaan di luar kekaguman. Cinta itu tabu, bahkan terhadap keluarga. Tapi ia merasakannya sendiri setelah nekat meninggalkan Makima yang bercita-cita membangun keluarga. Mimpi itu tidak pernah Hawks bayangkan, sementara keluarganya sendiri saja tidak beres. Hawks cuma ingin menjadi pahlawan seperti Endeavor yang bersinar terang. Namun, yah, Hawks kembali karena terus kepikiran. Ia ingin bersama Makima meski itu hanya sebentar, meski itu memanfaatkan cita-cita sang rekan.

Sekarang, Hawks kena karma.

Hawks memandang surat sekali lagi, lalu bertelungkup menghantamkan wajah ke bantal rumah sakit. Kakinya digoyangkan, merasa bahagia.

Cukup satu kata. Aneh. Dan Hawks mengerti bahwa Makima juga memiliki rasa yang sama dengannya.

“Sepertinya kau sudah sembuh.”

Hawks menoleh cepat ke kiri, mendapati Tsukauchi yang berdiri. Sial, ia tidak dengar langkah kaki ataupun pintu yang bergeser saking asiknya bergembira sendiri.

Hawks berdeham, duduk di pinggir ranjang dan angkat bahu. “Begitulah.”

Tsukauchi tersenyum tipis, ia mengeluarkan sesuatu dari kantong dan menyerahkannya pada Hawks.

“Kami menemukan ini di jalan.”

Itu ponsel Hawks yang dibuang Makima melalui jendela mobil.

“Oh! Beruntung sekali, haha!” Hawks menerimanya, menyalakannya, membuka galeri fotonya. Masih ada folder Makima di sana.

“Hubungan kalian sudah sedekat itu, ya?” tanya Tsukauchi, duduk di kursi yang disediakan.

Hawks tersentak, tertawa canggung. “Maaf, haha.”

“Tidak, tidak. Santai saja. Aku hanya ingin bertanya tentang Makima.”

Tsukauchi kelihatan sangat lelah dan terkhianati. Tetapi Hawks malah asik dengan dunianya sendiri.

“Kesalahan Hawks adalah melindungi Makima dan tidak melakukan apa-apa meski sudah diberi peringatan oleh kami. Hawks bahkan masih nekat menjalin hubungan walau tahu kecurigaan kami mengenai identitas Makima yang seorang Madeline. Jadi kami ingin bertanya, bagaimana 'kah Makima di mata Hakws? Tujuan yang ingin dicapainya. Apakah memang sama dengan kepribadian Madeline—atau malah bertolak belakang?”

Itu sangat panjang dan berbelit bagi dirinya yang kepayang mabuk cinta. Jadi Hawks terdiam cukup lama untuk memberikan jawaban, sementara Tsukauchi menyiapkan buku dan pulpen.

“Sama. Mereka orang yang sama, tidak ada kepribadian lain atau sejenisnya.”

“Menurut analisa kami, Madeline menginginkan kedamaian Jepang dengan menghabisi mereka yang menurutnya benalu, mau itu hero atau villain. Tetapi yang tidak kami mengerti, mengapa Makima membunuh All Might?”

“Haha, sejujurnya aku juga tidak mengerti untuk yang satu itu. Makima-san bilang dia suka All Might. All Might adalah idolanya. Yang kuat dan nomor satu adalah tipenya. Jadi aku heran alasannya membunuh All Might karena apa.”

“Mungkin karena sosok kurus All Might?” gumam Tsukauchi. Atau, bisa jadi karena Makima sudah tahu jika Izuku Midoriya adalah penerus All Might sehingga Simbol Perdamaian sudah tidak diperlukan.

Tsukauchi mengerjapkan mata, merasa tidak biasa dengan Makima egois yang baru dikenalnya. Itu realita yang mengerikan.

“Apakah dia pernah membahas All For One?”

Hawks menggeleng. “Tidak. Biasanya Makima-san menjawab jika ditanya, tapi ini memang kesalahanku karena tidak bertanya.”

Soalnya Hawks tidak siap jika Makima menjaga jarak darinya.

“Apakah Hawks-kun juga tidak bertanya tentang tujuannya? Selain kedamaian Jepang dan sejenisnya?”

Mendengar pertanyaan Tsukauchi yang mengembalikan ingatan, sontak Hawks termangu. Ia menunduk, menatap surat Makima dalam amplop berwarna merah muda, kemudian beralih pada cincin di jari manisnya.

“Makima-san mau menikah dan membangun keluarga.”

Detik berikutnya suasana menjadi sangat hening. Hanya ada jam dinding yang berdetak nyaring. Langit biru musim gugur tidak membantu Hawks keluar dari kebingungan, begitu pula Tsukauchi yang tidak seharusnya merasa terenyuh atas tujuan Makima barusan.

Dengan terpaksa Tsukauchi berdeham. “Sekarang—Hawks, apakah kau ingin menyerahkan diri dan menjalani hukuman karena mengabaikan kejahatan seorang buronan, atau 'kah melanjutkan pekerjaan sebagai pahlawan dan membantu kami menangkap para penjahat?”

Hawks mendongak, menatap Tsukauchi dengan hambar. Kedua tawaran tersebut tidak ada yang membuat dirinya merasa damai.

Cita-cita Hawks ialah menjadi pahlawan yang bersinar, juga pahlawan yang santai. Dan keberadaan Makima membuat keduanya jadi nyata. Bersinar, juga santai. Jadi untuk apa Hawks menangkap Makima?—padahal pacarnya sudah bekerja keras dalam menghabisi benalu Jepang.

Lalu yang lebih penting, Hawks dan Makima itu sepaham. Karena mereka berdua sama-sama jahat. Sekutu berbeda kubu. Bedanya, Makima berani ambil konsekuensi, sementara Hawks memilih kedamaian sejati dengan cara bersembunyi di balik kepercayaan diri sang pujaan hati.

SEPERTINYA—aku ingin tukar posisi dengan Makima-san.”

[]

4 Februari 2023.

Madeline's Judgment [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang