Part 9

972 74 0
                                    

“Ma, bentar lagi Akhtar sama Afkar ulang tahun. Mama nggak lupa, 'kan?” tanya Akhtar.

“Udah Mama bilang, nggak usah ngerayain hari ulang tahun!” jawab Fazha dengan sedikit tegas.

“Akhtar 'kan cuma nanya, Akhtar nggak minta dirayain!” ketus Akhtar.

“Emang kenapa, Ma? Kenapa setiap Afkar sama Kak Akhtar bahas ulang tahun, kok Mama kaya marah gitu?” tanya Afkar.

“Kalo Gus Azhka masih ada … besok juga adalah hari ulang tahunnya,” ucap Fazha dalam hati.

“Ma? Kok ngelamun, sih!” protes Afkar.

“Ah, i-iya. Mama nggak ngelamun kok, Sayang. Kalian mau tau alasan kenapa Mama nggak suka sama hari ulang tahun kalian?”

Fazha menatap lekat kedua putra kecilnya itu. Ia berpikir, bahwa ini sudah saatnya menceritakan kepada mereka tentang Gus Azhka.

“Dulu pas kalian mau lahir, Papa kalian itu lagi kerja. Terus pas denger kabar kalo Mama mau lahiran, Papa langsung buru-buru pulang. Tapi pas lagi di jalan, Papa kecelakaan, dan …,” Fazha tak melanjutkan perkataannya. Air mata tiba-tiba jatuh membasahi pipinya.

“Dan Papa kalian meninggal. Padahal waktu itu kalian baru lahir,” lanjut Fazha. Ini adalah kali pertamanya ia menangis di depan kedua anaknya.

“Dan waktu itu juga hari ulang tahun Papa. Sejak itu Mama nggak suka … banget sama tanggal ulang tahun kalian.”

“Kalo Papa masih hidup, berarti tanggal ulang tahun kita sama Papa itu sama, Ma?” tanya Afkar dengan polosnya.

Fazha hanya mengangguk lalu memeluk erat Akhtar dan Afkar.

“Makanya, Akhtar sama Afkar jadi anak yang Sholeh, ya, biar bisa do'ain Papa,” ujar Fazha.

“Akhtar pengen ketemu Papa,” ucap Akhtar.

“Nanti, Kak, pas di syurga,” celetuk Afkar.

Fazha tersenyum melihat tingkah polos anak-anaknya.

“Oh iya, Papa sama Om Azhmi itu kembar, Ma?” tanya Akhtar.

“Iya, Sayang. Kembar kaya Akhtar sama Afkar. Kalo kalian pengen liat wajah Papa, kalian bisa liat Om Azhmi,” jawab Fazha.

“Ya udah, kalian tidur udah malem. Mama tinggal, ya,” imbuh Fazha.

“Iya, Ma,” jawab Akhtar dan Afkar.

“Kak Akhtar, aku mau mimpi ketemu Papa, ah,” lirih Afkar. Fazha yang mendengarnya pun mengembangkan senyumnya. Sikap putranya yang satu itu sangat mirip sekali dengan almarhum Gus Azhka.



1 minggu kemudian….

“Kalian yakin mau di sini?” tanya Fazha. Pagi itu ia bersiap hendak pulang, namun si kembar malah malah enggan untuk pulang.

“Yakin!” jawab Akhtar dan Afkar bersamaan.

“Udah, Za, nggak papa mereka di sini,” ujar Hafidz.

“Tapi nanti kalo nggak betah gimana? Malah nyusahin Abi sama Umma doang,” jawab Fazha.

“Enggak, Za, udah kamu tenang aja. Nanti kalo mereka nggak betah, Umma anterin pulang, deh,” timpal Suci.

“Ya udah, beneran Fazha tinggal, nih!”

“Iya, Sayang …. Ya udah cepet naik. Baik-baik, ya, titip salam buat Kiyai Faqih sama Nyai Fatimah.”

“Mama berangkat, Sayang,” ucap Fazha.

“Dada, Ma …!” teriak Akhtar dan Afkar.

“Kita pulangnya nanti kalo pas hari ulang tahun. 2 hari lagi kita ulang tahun, Mama jangan lupa …!” teriak Afkar yang hanya di balas senyuman oleh Fazha.

Fazha pulang dengan taxi online yang telah ia pesan.



3 jam perjalanan, akhirnya Fazha sampai di rumah.
Sesampainya di rumah, ia langsung menuju kamarnya.

“Alah bodo amat, nanti aja beres-beresnya,” gumam Fazha sembari menendang kopernya. Moodnya sedang tidak bagus hari ini.

Fazha mengambil ponsel di dalam tasnya. Saat ia membuka ponselnya, ia mengembangkan senyumnya saat melihat sebuah foto yang menjadi wallpaper lockscreen-nya.

“Azhka ♡ Fazha.” Sebuah nama yang terukir di pasir pantai 3 tahun yang lalu. Saat itu Risa sempat memotretnya dan mengirimkannya ke Fazha, yang sekarang akhirnya Fazha jadikan wallpaper di ponselnya.

“Pantai itu,” gumam Fazha. Ia mengurungkan niatnya untuk tidur dan langsung keluar kamar. Ia pergi menuju garasi dan mulai mengeluarkan mobilnya.

“Healing, ah …! Mumpung nggak ada bocil-bocil reseh!” sorak Fazha. Ia mulai menancap gas dan melakukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju pantai.

“Itu Ning Syafa?” batin Fazha yang langsung menghentikan mobilnya di depan sebuah cafe.

Saat tengah asyik menikmati perjalanan, tiba-tiba pandangannya beralih pada Ning Salwa yang berada di depan cafe bersama seorang pria.

“Bukan Gus Azhmi. Terus siapa? Jangan-jangan …. Ah, gak boleh su'udzon,” ucap Fazha.

“Tapi siapa lagi coba? Kok bisa dua pergi ke tempat ini. Sama laki-laki lagi. Udah izin, kah? Kayanya belom pernah liat Gus Azhmi ngizinin istrinya pergi sendiri,” batin Fazha.

“Fiks, nggak salah! Dia pasti selingkuh! Masa iya kalo bukan siapa-siapa mesra gitu,” ucap Fazha yang langsung keluar dari mobil. Ia langsung menghampiri Ning Syafa dan lelaki itu.

“Tenang aja, setelah anak ini lahir, aku bakal cerai sama Mas Azhmi,” ujar Ning Syafa, ia masih tak menyadari kedatangan Fazha.

“Janji, ya, Sayang,” jawab pria itu.

“Astaghfirullah, Ning!” bentak Fazha yang membuat dua sejoli itu terkejut.

“Jadu gini kelakuan Ning Syafa di belakang keluarga besar yang bergelar ‘Kyai’ ?! Ning Syafa udah merusak nama baik diri sendiri sekaligus keluarga kita, Ning!” bentak Fazha.

“Apa-apaan, Za?! Nggak sopan banget tiba-tiba dateng terus marah-marah!” jawab Ning Syafa. Ia sebenarnya sangat panik, namun ia berusaha menutupi kepanikannya serapih mungkin.

“Ayo pulang, Ning!” Fazha langsung menarik tangan Ning Syafa, tetapi Ning Syafa memberontak dan berusaha melepaskan tangannya.

“Astaghfirullah!” geram Fazha.

“Dan kamu, emang kamu nggak tau kalo dia udah punya suami?! Mana lagi hamil gini!” Fazha beralih pada pria yang sedari tadi masih mematung di situ.

“Kenapa? Toh dia cintanya sama saya bukan sama suaminya yang sok alim itu!” jawab pria itu.

Fazha menatap tajam pria itu lalu kembali ke mobil. Dari pada terpancing emosi, lalu tak bisa mengendalikan diri, lebih baik ia pergi.

“Saya aduin ke Gus Azhmi …!” teriak Fazha.

Fazha melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju pesantren.

“Ah, aku 'kan mau ke pantai! Bodo amat, ah! Nggak ngurusin Syafa! Nanti aja pulangnya aku bilang ke Gus Azhmi,” gumam Fazha lalu memutar balikkan mobilnya ke arah pantai, ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke pesantren.



Beberapa menit perjalanan, akhirnya Fazha sampai di pantai. Ia langsung keluar dari mobil dan berlari menghampiri deburan ombak.

“Sepi banget. Kaya pulau nggak berpenghuni,” gumam Fazha.

“Happy birthday …!” teriak Fazha yang tiba-tiba menangis. Ia melontarkan pandangannya ke arah luasnya lautan.

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang