Part 16

1K 81 4
                                    

“Gus, saya mau bicara sebentar,” ucap Erik yang kala itu bertemu dengan Gus Azhmi yang berada di taman rumah sakit.

“Apa, Rik?” tanya Gus Azhmi.

Erik mengambil ponsel Fazha di sakunya, dan mencari video yang tadi.

“Liat, Gus. Puncak di mana sang tokoh utama akan menang!” ucap Erik dengan tersenyum smirk. Ia memberikan ponsel Fazha pada Gus Azhmi.

“Ini Syafa, kah?!” Gus Azhmi membelalakkan matanya.

“Ya,” jawab Erik dengan tatapan tajamnya.

Ternyata Fazha pintar! Saat perjalanan ke pantai, ia sempat merekam Ning Syafa kemarin sore, sebelum akhirnya Fazha menghampiri Ning Syafa dan mengomelinya.

“Nggak mungkin, Rik! Ini pasti orang lain yang mirip Syafa!” ujar Gus Azhmi.

“Liat bajunya. Punya Ning Syafa, 'kan? Kemaren sore juga Ning Syafa pergi, 'kan?”

“Syaa nggak tau, Rik! Kemaren sore saya pergi ngajar.”

“Wahh, pergi diem-diem dia, Gus.”

Erik semakin mengompor-ngompori Gus Azhmi.

“Iya ini Syafa,” lirih Gus Azhmi sembari terus memantengi ponsel Fazha.

Gus Azhmi mengembalikan ponselnya ke Erik dengan kasar. Ia beranjak dari tempat duduk dan berjalan masuk dengan terburu-buru namun Erik langsung menghadangnya.

“Jangan sekarang, Gus! Tunggu waktu yang tepat. Ini masih kacau soalnya, nanti aja kalo semuanya udah beres dan Ning Syafa udah pulang dari sini. Hehe, ini cuma saran saya, Gus,” ucap Erik.      

Dasar Erik, jika akhirnya dia mencegah Gus Azhmi, kenapa ia memberitahukannya sekarang? Ya, pastinya hanya untuk memperpanas suasana.

“Rasain! Bentar lagi sidang, nih. Tenang aja, aku siap jadi saksi,” batin Erik.

“Bener juga,” ucap Gus Azhmi salam hati.

“Jangan hapus tu video,” ucap Gus Azhmi lalu beranjak pergi.

“Fazha … Fazha! Kenapa coba nggak nunjukin video ini dari kemaren. 'Kan nanti kamu yang menang. Terlalu baik kamu,” ujar Erik.



“Ya Allah, Ning?! Ngagetin aja. Kenapa nggak kabar-kabar dulu kalo mau pulang, Ning?” tanya seorang Mba ndalem. Saat itu ia sedang menemani Reyna dan Muti bermain, namun tiba-tiba Ning Salwa datang dan menepuk pundaknya.

“Hehe, Maaf, Mba,” jawab Ning Salwa dengan cengengesan.

“Jangankan orang-orang, Abi sama Ummi aja nggak tau kalo Salwa pulang. Eumm, sengaja pulang nggak bilang-bilang, Mba, biar suprise,” imbuh Ning Salwa.

“Ning Salwa ada-ada aja. Ya udah, saya buatin minum dulu, Ning.”

“Makasih, Mba. Eh, ini pada kemana? Kok nggak ada siapa-siapa? Dan … ini Reyna sama Muti kok di sini?”

“Eumm, sebenernya … semuanya lagi di rumah sakit, Ning. Setahu saya, kemaren sore Ning Syafa kecelakaan.”

“Astaghfirullah!”



“Ekhem.” Gus Azhmi berdehem pelan saat memasuki ruangan di mana Ning Syafa di rawat.

“Kamu dari mana aja, Azhmi?” tanya Nyai Fatimah.

“Nggak dari mana-mana,” jawab Gus Azhmi dengan wajah datarnya. Ia menatap Ning Syafa cukup lama. Ia masih menunggu waktu yang tepat untuk membongkar semuanya.

“Abi mana, ya? Kok dari tadi pagi nggak ke sini?” tanya Nyai Fatimah.

“Kata Erik, Abi lagi ngisi tausiyah di pengajian. Entah tempatnya di mana,” jawab Gus Azhmi. Ia tak mengetahui bahwa Abinya itu pergi ke rumah Fazha.

“Assalamu'alaikum.” Suara ucapan salam membuat percakapan Gus Azhmi dan Nyai Fatimah terhenti, mereka beralih menatap seseorang yang berada di depan pintu.

“Salwa?!” ucap Nyai Fatimah dan Gus Azhmi yang sedikit terkejut.

“Iih, jawab dulu salamnya!”

“Wa'alaikumussalam ….”

“Kamu kapan pulang, Nak?! Kok nggak ngabarin dulu?” tanya Nyai Fatimah.

“Dua hari yang lalu, Mi. Baru … aja nyampe rumah,” jawab Ning Salwa.

“Ya Allah …. Mba Syafa kenapa?” tanya Ning Salwa. Meskipun ia tak suka dengan kakak iparnya itu, tetap aja ia masih mempunyai rasa empati.

“Nggak papa, Sal. Cuma insiden kecil,” jawab Ning Syafa dengan sedikit terkekeh.

“Lah, ini di sini cuma ada orang 3, yang lain pada kemana lagi? Di rumah pun nggak ada orang?” tanya Ning Salwa.

“Entahlah, pada mencar kemana-mana. Abi pergi ke pengajian, Erik ada di taman depan, Risa ada di rumah Qayla, Muti sama Reyna ada di pesantren,” jelas Gus Azhmi.

“Hmm, ada yang kurang, nih,” ucap Ning Salwa.

“Siapa?” tanya Nyai Fatimah, Ning Syafa, dan Gus Azhmi bersamaan.

“Mbanya Salwa kemana, nih? Kok nggak nongol?” tanya Ning Salwa dengan tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya.

“Mba siapa?” tanya Gus Azhmi.

“Mba Fazha, kemana dia?” jawab Ning Salwa yang kembali bertanya.

“Udah cukup! Jangan lagi nyariin Fazha. Dia jahat,” jawab Nyai Fatimah.

“Maksudnya?” tanya Ning Salwa yang tak mengerti apa-apa.

“Udah, Mi! Jangan nyalahin Mba Fazha lagi!” tegas Gus Azhmi.

“Kamu kenapa lagi? Perasaan semalem juga kamu marah-marah ke Fazha, 'kan?! Sekarang kenapa belain Fazha?!” jawab Nyai Fatimah.

“Ada apa, sih?! Emang Mba Fazha kenapa?!” bentak Ning Salwa. Tanpa menjawabnya, Gus Azhmi langsung menyeret keluar Ning Salwa.



“Gitu ceritanya,” jelas Gus Azhmi. Ia baru saja menceritakan secara detail kejadian kemarin pada Ning Salwa.

“Kenapa pada tega, sih?! Kalian nggak mikirin perasaan Mba Fazha?! Terus mas Azhmi berpihak ke siapa?!” bentak Ning Salwa.

“Ahhh, entahlah! Tunggu aja nanti!” jawab Gus Azhmi.

“Kasian Mba Fazha …,” rengek Ning Salwa sembari sesekali menyeka air matanya.

“Tenang aja, sebentar lagi semuanya selesai. Maafin Mas Azhmi, ya. Mas Azhmi janji, Mba Fazha pasti bakal balik ke sini lagi,” jawab Gus Azhmi.

“Kalian semua udah kena racunnya si Syafa itu!” ketus Ning Salwa lalu melangkah pergi. Gus Azhmi meneriakinya namun ia tak menghiraukannya.

“Ya Allah, ampunilah aku yang telah berperasangka buruk terhadap sesama mahluk-Mu. Ampuni aku karena telah membela kedzaliman. Aku nggak tau, Ya Allah,” ucap Gus Azhmi dalam hati.



“Demi Allah saya katakan, Pak. Ini hanya kesalahpahaman!” tegas Kyai Faqih yang saat itu tengah berbincang-bincang dengan Hafidz.

“Tolong berikan kami kesempatan, Pak. Toh walaupun semua orang salah paham sama Fazha, tapi tidak dengan saya! Saya percaya sama Fazha. Saya akan membuktikan ke semua orang bahwa menantu saya, Fazha, itu nggak salah!”

“Tolong maafkan keluarga saya yang udah bersikap ceroboh, Pak Hafidz. Maaf … banget. Sampai kapanpun, Fazha tetaplah bagian dari keluarga saya juga.”

Hafidz menghela nafasnya panjang. Rasa iba dan tak enak memenuhi isi hatinya, membuatnya bingung harus menjawab apa.

“Saya maafkan. Tapi tentang Fazha … mungkin dia butuh waktu untuk tinggal di sini dulu sementara. Biarkan dia menenangkan pikirannya,” ucap Hafidz.

“Nggak papa, Pak. Tapi karena sekarang Fazha nggak mau menemui saya, tolong sampaikan permintaan maaf keluarga saya ke Fazha. Demi Allah, saya berada di pihak Fazha!” jawab Hafidz.

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang