“Mba … Salwa nggak rela. Ini gimana pertamanya, Mba?” tanya Ning Salwa.
“Tadi itu ….” Ning Syafa mulai menjelaskan kejadian yang membuat dirinya sangat syok.
“Azhmi takut, Ummi. Azhmi takut,” lirih Gus Azhmi.
“Takut kenapa, Nak? Ummi di sini. Tenang aja, semua orang udah maafin kamu, kok.” Nyai Fatimah mengusap-usap dahi Gus Azhmi untuk menenangkannya.
“Maafin Azhmi, ya, Mi.”
“Iya, Nak …. Kamu nggak ada salah apa-apa sama Ummi. Kamu mau makan? Ummi suapin, ya, atau mau sama Syafa?”
Gus Azhmi tak menjawabnya dan hanya menggeleng pelan.
“Ummi, Azhmi pengen ketemu Si kembar.”
“Iya, nanti Ummi telepon Mba Fazha buat ke sini, ya. Sabar, ya ….”
“Mas Azhmi jangan kaya gini! Jangan bikin Syafa sedih. Lebih baik Syafa dengerin omelan Mas Azhmi tiap hari dari pada liat Mas Azhmi kaya gini!” Ning Syafa mencium tangan suaminya itu, membuatnya semakin terhanyut dalam tangis.
“Asyafa Nur Hafidzah.” Gus Azhmi menyebut nama lengkap istrinya sembari tersenyum walau terlihat jelas air mata yang tak berhenti mengalir.
“I-iya, Mas?” Ning Salwa mendekatkan wajahnya pada wajah Gus Azhmi.
“Cintai aku seperti Mba Fazha mencintai Gus Azhka yang telah pergi. A-aku tunggu di syurga. Kamu harus berhasil tanpa aku,” lirih Gus Azhmi di dekat telinga Ning Syafa.
Deg!
“Mas?!”
“Azhmi?!
“Mas Azhmi, sadar, Mas! Syafa nggak suka Mas Azhmi bercanda!”
“Azhmi, bangun, Azhmi! Kamu kenapa Azhmi?!”
“Azhmi …!”
“Mas Azhmi …!”
“Panggil dokter, Sya!”
“Aaaaa …! INI MIMPI, SALWA, INI MIMPI, 'KAN, SAL?!” Ning Syafa kembali menangis histeris.
“Mba, kok gini, sih, Mba …?! Salwa nggak rela, Mba! Ya Allah … kenapa ngambil Kakak Salwa dua-duanya …!” teriak Ning Salwa.
“Salwa, Syafa …. Ayo pulang, kalian duluan ke mobil, ya. Nanti jenazah dibawa ambulance,” ucap Kyai Faqih.
“Syafa mau tetap di samping Mas Azhmi, Bi!” jawab Ning Syafa yang sedari tadi terus memeluk jasad Gus Azhmi.
“Salwa juga!” timpal Ning Salwa.
•
•
•Di sisi lain, Fazha, Risa, dan Qayla berada di rumah Kyai Faqih yang kini telah ramai orang berdatangan, serta para santri yang pastinya sibuk menyiapkan ini itu.
“Ya Allah nggak nyangka aku, Za! Baru kemaren ketemu Gus Azhmi!” ucap Qayla.
“Aku juga, Qay,” jawab Fazha.
“Kasian Ning Syafa, ya,” lirih Risa dengan tatapannya yang sendu.
“Kenaoa dia harus ngerasain apa yang aku rasain dulu. Aku tau seberapa sakitnya dia,” ucap Fazha yang tiba-tiba menangis.
“Aku keinget Gus Azhka, Qay!” Tangisan Fazha semakin menjadi-jadi. Qayla memeluk erat-erat sahabatnya itu.
“Mas Erik udah nyampe sana belom, ya. Mas Riyan juga belom ngabarin, nih,” ujar Risa yang kelihatan sangat panik.
“Mereka pasti lagi sibuk, Ris,” jawab Qayla.
•
•
•“Angkat bareng, ya, tangan kiri di atas,” ucap Kyai Faqih pada Riyan dan Erik yang hendak mengangkat jenazah Gus Azhmi.
“Bismillah,” lirih mereka bertiga yang yang mulai memasukkan jenazah ke dalam ambulance.
“Syafa ikut di sini, ya, Bi,” pinta Ning Syafa.
“Iya, duduk di sini,” ucap Kyai Faqih.
“Ya Allah, Gus Azhmi …. Sumpah kaya mimpi rasanya. Baru kemaren, Gus, kembaranmu pergi. Kita semua bahkan belom sembuh sama luka yang kemaren,” ucap Erik dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Abah udah udah hubungi beberapa santri yang ikut bantu gali kubur, buat di makamkan berdampingan dengan makam almarhum Azhka,” ucap Kyai Faqih.
“Bah, baru kemaren kita ngomongin Gus Azhmi pas di ladang.”
“Iya, Rik. Rasanya hancur … banget, Rik. Rasanya kaya runtuh separuh jiwa. Kenapa dua-duanya pergi, Rik.”
“Abi tau, nggak? Tadi pas Mas Azhmi masih sadar, dia pengen banget ketemu Si kembar. Tapi belom sempet Si kembar dateng, Mas Azhmi malah ….” Ning Syafa tak melanjutkan kata-katanya.
“Innalillahi, keinginan terakhirnya itu,” jawab Kyai Faqih sambil sesekali menyeka air matanya.
“Ya Allah … apakah ini karma atasku? Aku pernah menghina, dan menyakiti Mba Fazha, dan sekarang … aku ngerasain sendiri. Ternyata memang sesakit ini, Ya Allah,” ucap Ning Syafa dalam hati.
•
•
•“Ma, Tante, ini kenapa kok rame-rame, sih? Mama kenapa nangis?” tanya Afkar dengan polosnya.
“Sayang … ayo ikut Tante ke depan, kita kumpul sama kakak-kakak santri di depan. Nanti Tante kasih tau,” jawab Qayla dengan halus, ia menuntun Akhtar menuju ruang tamu.
“Udah, Za, nggak usah nangis. Kamu nggak sendirian, okey? 'Kan kamu sendiri yang bilang kalo nggak ada siapapun yang bisa bikin kamu sedih! Kamu selalu … bahagia!” Risa mengelus-elus bahu Fazha untuk menenangkannya.
“Aku nggak tega ngebayangin Ning Syafa, Ris. Aku sendiri udah pernah ngerasain,” tangis Fazha.
“Iya, aku tau, Za …. Tapi namanya juga takdir, ya mah digimanain lagi,” jawab Risa.
“Kamu sama Qayla beruntung banget, Ris. Kenapa kalian berdua doang, ya? Padahal dulu kita punya harapan dan khayalan yang sama.”
“Kamu nggak boleh ngomong gitu. Allah itu adil, Za. Hal yang menurut kamu baik, belom tentu baik di mata Allah. Kamu jangan selalu mengira orang-orang itu hidupnya bahagia … terus. Karena kamu nggak akan pernah tau, kesedihan apa yang mereka sembunyikan rapat-rapat.”
“Aku tau, Ris. Tap–” Ucapan Fazha terhenti ketika mendengar suara sirine ambulance yang semakin dekat menuju rumah.
“Udah dateng, Za.”
“Ayo ke depan, Ris.”
“Tante Qay, kok ada ambulance? Emang siapa yang meninggal?!” tanya Afkar yang mulai menampakkan wajah cemasnya. Qayla tak menjawab dan hanya bisa merangkul Si kembar erat-erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Al-Fazha
Jugendliteratur[Follow sebelum membaca] Note: Cerita ini merupakan kelanjutan dari "Gus Halalku" ____ Al-Fazha Humaira, yang kini telah menjadi singel parents. Ia harus menjadi ibu, sekaligus ayah untuk kedua anaknya di usianya yang ke-21 tahun, itu masih sangat...