Part 12

971 74 3
                                    

“Jangan gil4, Fazha …!” teriak seseorang yang berlari sekencang mungkin menghampiri Fazha. Dengan sigap, ia menarik tubuh Fazha yang hampir terjun dari ketinggian itu hingga keduanya tersungkur di aspal.

“Fazha!” bentak pria itu.

Fazha perlahan membuka matanya. Belum sempat menetralkan penglihatannya, pria itu menarik tangannya dan mengajaknya ke sebuah taman yang tak terlalu ramai.

“Kamu kenapa, Za?!” tanya pria itu.

Tanpa menjawabnya lebih dulu, Fazha kembali menangis. Ia seperti menumpahkan semua beban hidupnya. Mulutnya seakan terkunci, sepatah katapun berat untuk ia ucapkan.

Sesaat kemudian, keadaan sudah cukup tenang. Fazha berhenti menangis dan mulai melihat pria yang duduk di sampingnya itu.

“Alvaro?!” lirih Fazha yang langsung mengalihkan pandangannya.

“Aku bukan sok jadi pahlawan kesiangan, ya. Tapi tadi kalo aku telat 2 detik aja, entah gimana nasib kamu,” ucap Varo. Ya, ternyata Varo yang menarik Fazha tadi.

“Seberat apa, sih, masalah kamu? Sampe-sampe kamu melakukan hal konyol itu?” imbuh Varo, dan lagi-lagi Fazha hanya terdiam.

“Mungkin butuh waktu 5 tahun buat nyeritain semua deritaku,” jawab Fazha dengan tersenyum smirk.

“Kamu nggak kasian sama anak-anak kamu? Kalo kamu nggak ada, gimana mereka, Za?! Sebenarnya seseorang yang bUnuh diri itu bukan mau mengakhiri hidupnya, tapi mereka cuman mau mengakhiri masalahnya. Tanpa mereka sadaru, bahwa hal itu justru malah nambah-nambah masalah doang. Jangan kaya Naura, Za. Udah cukup dia aja yang kaya gitu,” ujar Varo.

“Stop! Jangan samain aku sama Naura!” bentak Fazha. Ia benar-benar muak karena lagi-lagi mendengar nama Naura.

“Sebenernya aku tau semuanya. Tadi aku ketemu Erik sama adeknya sama istrinya. Mereka lagi nyariin kamu. Mereka pesen ke aku, kalo ketemu kamu, aku harus kasih tau mereka,” jelas Varo.

“Jangan!”

“Tapi kenapa, Za?!”

“Pokoknya jangan! Aku makasih banget karena kamu udah nyadarin aku. Tapi plis, nggak usah kasih tau siapapun tentang aku!”

“Tapi, Za—”

“Diem!”

“Ya Allah … ini gimana? Mohon turunkan pertolongan-Mu,” ucap Fazha dalam hati.

“Terus sekarang kamu mau kemana, Za?” tanya Varo dengan halus. Fazha tak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya.

“Pulang aja ke rumah orang tuamu, ya. Kasian juga anak-anakmu …,” ujar Varo.

“Aku nggak mau Umma sama Abi tau masalah ini,” lirih Fazha.

“Tapi mereka harus tau, Za!” tegas Varo.

“Aku nggak mau bikin persahabatan Ummaku sama Ummi Fatimah hancur,” jawab Fazha.

“Stop memikirkan orang lain, Za. Pikirin diri kamu sendiri! Kamu selalu bisa menenangkan dan menyembuhkan orang lain tanpa peduli sama diri kamu sendiri. Terkadang menjadi terlalu baik itu juga nggak baik.” Varo menatap lekat mata Fazha. Kini kedua mata mereka bertemu.

“Ahh, entahlah aku nggak tau …!” teriak Fazha.

“Oke, aku nggak akan ngasih tau Erik dan yang lainnya tentang keberadaan kamu. Tapi kamu harus pulang ke rumah orang tua kamu, aku anter!” tegas Varo.

“Aku takut!” bentak Fazha.

“Humairanya Azhka nggak boleh lemah!” jawab Varo yang membuat mulut Fazha seketika terkunci. Lagi-lagi ia teringat akan almarhum suaminya itu.

“Humaira …,” lirih Fazha dengan air mata yang kembali menetes.

“Pa-panggilan itu …,” imbuh Fazha.

“Humaira,” lirih Varo yang seketika mendapatkan sorot tajam dari Fazha.

“Ampun,” ujar Varo sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.



“Ini gimana, Mas?!” desak Qayla.

“Aku juga nggak tau!” jawab Erik.

“Jangan pulang kalo Fazha belom ketemu! Qayla nggak mau tau!”

“Ya kita harus cari kemana lagi?! Ah, bodo amat, lah. Capek, Ya Allah …!”

Risa yang tengah tertidur pulas pun terbangun karena mendengar perdebatan kakaknya itu.

“Astaghfirullah! Risa ketiduran,” pekik Risa.

“Gimana, Mas? Udah ada kabar tentang Fazha?” tanya Risa yang hanya di balas gelengan oleh Erik.

Erik melihat ke arah jam yang telah menunjukkan jam 11 malam.

“Pulang aja dulu, ya …. Besok lagi,” ucap Erik dengan halus.

“Terserah, deh!” ketus Qayla.



“Aku harus pergi. Nggak baik di sini sama kamu,” ujar Fazha lalu bangkit dari duduknya dan hendak melangkah pergi.

“Za, jangan gitu. Kalo kamu nggak mau aku anterin pulang, aku cariin apartemen dulu untuk sementara, ya,” ujar Varo.

“Nggak usah.”

“Lebih nggak baik lagi kalo kamu di jalanan malem-malem gini, Za. Kamu itu perempuan, Za. Tenang aja, aku yang cari dan bayar apartemennya, kok. Dan … tenang aja, lagipula … aku nggak bakal ikut tinggal juga, 'kan?”

“Pilih mana?! Pulang berdua bareng aku, apa tinggal sendiri di apartemen?”

“Ya mending di apartemen, lah!” bentak Fazha yang seketika membalikkan badannya.

“Nah, ya udah. Makanya nurut,” jawab Varo.



Fazha dan Varo telah menemukan apartemen yang akan Fazha tempati sementara.

“Segini cukup, 'kan? Aku tinggal, ya, takut jadi fitnah. Assalamu'alaikum,” ucap Varo lalu langsung melangkah pergi.

“Wa'alaikumussalam. Makasih …,” jawab Fazha dengan sedikit berteriak.

Varo menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah Fazha. Ia menebarkan senyumnya dengan tulus lalu berkata, “Aku yang makasih, karena akhirnya kamu maafin aku. Terima ini sebagai permintaan maaf.”

“Jangan kasih tau Ning Salwa tentang masalahku,” ucap Fazha yang hanya di angguki oleh Varo. Varo melangkah pergi setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya.

Fazha merebahkan tubuhnya di sofa. Buliran bening kembali mengalir membasahi pipinya.

“Ya Allah, semuanya bakal baik-baik aja, 'kan? Kuatkan aku agar bisa melalui segala ujian yang Engkau beri,” ucap Fazha dalam hati. Kini ia tak bisa berbuat apa-apa selain berharap pada Allah.

“Aku ingin kembali,” lirih Fazha.

“Humaira …,” ucap seseorang dengan lembut di dekat telinga Fazha. Sontak Fazha pun langsung berdiri karena terkejut.

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang