Part 17

1K 80 1
                                    

Pagi itu mentari mulai terbit dari ufuk timur dan memancarkan sinarnya yang hangat. Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Kala itu Afkar sedang bermain di halaman belakang rumah Fathan bersama Zayan. Sementara Akhtar berada di rumah bersama Fazha. 

“Oy, dengerin Om Varo.” Varo membingkai pipi Afkar dengan kedua tangannya.

“Males, Om Varo jelek!” ketus Afkar yang langsung menghindar.

“Ahahah, ditolak!” sahut Fathan dengan tawa dibuat-buat, ia sedang sibuk menjemur pakaian saat itu.

“Ya udah, nggak Om kasih kado ulang tahun, lho!” ancam Varo.

“Afkar juga nggak ngarepin kado dari Om Varo,” jawab Afkar dengan santainya.

“Hiiih, ini bocil niru siapa, sih?!” batin Varo.

“Dia itu cuma mau sama aku, Bang …! Biasalah, aku 'kan orangnya ke-ayah-an. Emangnya Bang Varo, ngasuh anak kecil udah kaya ngasuh anak ayam,” sindir  Fathan.

Kedatangan Varo di rumah Fathan membuatnya sedikit terhibur dan tidak merasakan sepi. Karena bagaimanapun juga, Varo tetaplah ia anggap sebagai kakaknya.



Di sisi lain….

“Ini resep obatnya, Gus, nanti bisa diambil di apotek,” ucap Riyan. Hari ini adalah waktunya Ning Syafa pulang dari rumah sakit tempatnya di rawat.

“Ya,” jawab Gus Azhmi singkat. Sudah 3 hari ini sikapnya berubah. Rasa pedulinya terhadap keadaan semakin berkurang.

“Gus Azhmi kenapa?” batin Riyan.

“Ayo, Ummi,” ucap Gus Azhmi lalu berjalan lebih dulu.

“Kamu gimana, sih?! Bantu istri kamu jalan, dong. Biar Abi yang nyetir mobilnya,” jawab Nyai Fatimah, dan Gus Azhmi hanya menurut. Sebenarnya ia malas berdekatan dengan Ning Syafa, namun ia masih menahan semuanya.

“Ayo,” ucap Gus Azhmi disertai senyumnya, ia menuntun Ning Syafa masuk ke mobil.

“Sabar, Azhmi. Nggak sekarang,” batin Gus Azhmi.

Beberapa menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah. Gus Azhmi kembali menuntun istrinya itu masuk ke dalam. Sementara Nyai Fatimah yang membawa barang-barang.

“Ajak Syafa ke kamar. Kalian istirahat, ya,” ucap Nyai Fatimah. Tanpa menjawab ataupun sekedar mengangguk, Gus Azhmi langsung melangkah menuju kamar.

“Azhmi!” bentak Nyai Fatimah.

“Kamu kenapa, sih?! Perasaan Ummi perhatiin dari rumah sakit tadi, ekspresi kamu itu kaya nggak suka sama Ummi!”

“Enggak, kok! Azhmi udah biasa aja, emang mukanya kaya gini, 'kan?” jawab Gus Azhmi dengan sedikit sewot lalu melanjutkan langkahnya diikuti oleh Ning Syafa.

“Kamu istirahat, ya, jangan banyak gerak. Aku mau pergi ngajar,” ujar Gus Azhmi.

“Langsung pergi lagi?” tanya Ning Syafa dengan nada manjanya.

“Kasian Erik, dari kemaren gantiin aku terus. Assalamu'alaikum,” jawab Gus Azhmi yang langsung pergi begitu saja.

“Iih, Mas Azhmi kenapa, sih?!” gerutu Ning Syafa



Gus Azhmi yang baru saja hendak keluar dari pintu, ia berpapasan dengan Ning Salwa yang juga hendak masuk ke dalam.

“Apa liat-liat?!” bentak Ning Salwa dengan sorot mata mengerikan, bak seekor singa yang akan menerkam mangsanya.

“Nggak jelas banget,” gerutu Gus Azhmi.

“Yang nggak jelas itu hubungan Mas Azhmi sama cewek itu!” ucap Ning Salwa dengan lirih namun menekan kata-katanya.

“Nanti kuperjelas!” jawab Gus Azhmi lalu melangkah pergi.

“Lah, ngapa tu orang?” batin Ning Salwa.

“Kenapa, Sal?” tanya Kyai Faqih yang mengejutkan Ning Salwa.

“Ah, ng-nggak papa, Bi. I-itu … Mas Azhmi keliatannya cemberut mulu,” jawab Ning Salwa dengan terbata-bata.

“Nah, bener, 'kan? Ummi juga dari tadi udah marah-marah terus sama dia, gara-gara muka dia kusut banget,” timpal Nyai Fatimah.

“Mungkin dia capek. Akhir-akhir ini dia kurang tidur, 'kan?” ucap Kyai Faqih dengan halus.

“Eeehhh, hari ini Mas Azhmi ulang tahun, 'kan, ya?!” ucap Ning Salwa dengan hebohnya.

“Ummi, Salwa izin ke Mall boleh? Boleh, ya, Ummi. Salwa cuma pengen beli hadiah buat kado Mas Azhmi,” imbuh Ning Salwa.

“Tumben.”

“Hehe, sesekali.”

“Boleh. Pergi sendiri berani, 'kan? Tapi inget, jaga diri! Beli seperlunya, terus kalo udah langsung pulang, nggak usah mampir-mampir. Jangan lupa jaga ikhtilat juga!”

“Iya …. Salwa ngerti, kok.”



3 jam kemudian, Ning Salwa kembali ke rumah dengan membawa beberapa tote bag  berisi barang belanjaannya. Ia masuk ke dalam kamar dengan wajah cerianya sembari sesekali bersenandung.

“Hufftt … akhirnya!” gumam Ning Salwa.

“Sal … Ummi masuk, ya,” ucap Nyai Fatimah dari luar kamar.

“Iya, Ummi …,” jawab Ning Salwa.

“Wahh, udah belanjanya?”

“Hehe, udah, Ummi. Salwa beli baju koko, kopiah, sama sarung. Ini warnanya senada dan pasti cocok banget.”

“Lho, ini kamu beli dua style?” tanya Nyai Fatimah.

“Mana sama semua pula,” imbuhnya.

“Iya, dong! Semuanya harus sama. 'Kan satunya buat Ma–” Ning Salwa menghentikan ucapannya dengan keadaan mulutnya yang masih menganga. Dirinya terlihat lemas seketika.

“Mas Azhka,” imbuh Ning Salwa dengan sangat lirih hingga hampir tak terdengar. Buliran bening lolos begitu saja dari pelupuk matanya.

“Salwa lupa ….” Tangisan Ning Salwa semakin keras dan ia langsung memeluk Umminya itu.

“Salwa lupa udah nggak ada kakak kembar. Sumpah lupa! Tadi pas di Mall, Salwa happy-happy aja beli barang-barang yang serba sama.”

“Nggak papa, Nak … nggak papa. Udah, ah, jangan nangis! Nggak papa, nanti satunya bisa buat Abi. Biar mas Azhmi samaan sama Abi, ya.Tenang aja nanti Ummi gantiin uangnya.” Nyai Fatimah berusaha menenangkan putrinya itu, dan sekuat mungkin menahan air matanya.

“Nggak usah, Ummi. 'Kan buat Abi sendiri,” lirih Ning Salwa.

“Ini apa?” tanya Nyai Fatimah yang beralih ke tote bag satunya.

“Hmm, ini … kado buat Akhtar sama Afkar,” jawab Ning Salwa yang hanya di balas anggukan oleh Nyai Fatimah.

“Kapan mau ngasihnya?”

“Eumm … mu-mungkin nanti Salwa kirim dari sini aja.”

“Kalo aku pergi ke rumah Mba Fazha langsung, nanti Ummi malah nggak suka. Aslinya udah kangen banget sama Mba Fazha dan si kembar. Tapi mau gimana lagi. Barakallahu Fii Umrik, semuanya! Mas Azhmi, Akhtar, Afkar, dan … Mas Azhka,” ucap Ning Salwa dalam hati.

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang