Part 10

978 69 0
                                    

“Fazha hebat banget, 'kan? Sekarang Fazha udah nggak Ceneng! Fazha nggak gampang nangis pokoknya! Gus Azhka harus bangga pernah punya istri kaya Fazha! Udah alim, cantik pake banget, cool pula, nggak pernah berulah. Huaaa …!” teriak Fazha seraya menyeka air matanya.

Ia berusaha sekuat mungkin agar tidak menangis. Namun siapapun yang melihatnya, pasti merasa gemas karena tingkahnya. Meski sedang sedih, tapi tetap saja ia terlihat bar-bar.

“Fazha pengen ketemu sama Gus Azhka. Fazha kangen … banget! Kangen banget pokoknya! Gus Azhka kangen Fazha?! Kalo Gus Azhka masih ada, pasti kita sering banget ke tempat ini sama bocil kembar kita,” ucap Fazha.

“Gus Azhka bohong. Dulu Gus Azhka bilang mau mendampingi sang tokoh utama menyelesaikan kisahnya dan menua bersamanya. Tapi mana? Sang tokoh utama masih ada di sini, tapi Gus Azhka malah pergi!”

“Dulu juga Gus Azhka pernah bilang, Fazha nggak boleh nangis. Kata Gus Azhka, simpan dulu air matanya buat tangis bahagia. Tapi mana bahagianya?!”

“Kenapa sebentar banget, sih, Gus? Apa perlu Fazha pingsan di halte lagi biar ketemu Gus Azhka terus dibawa pulang kaya dulu itu?! Ahhhh, Fazha gila …! Mana bisa kaya gitu …!”

“Alah bodo amat! Bisa gila kalo di sini terus. Nggak ada yang dengerin Fazha! Percuma, Gus Azhka pun udah nggak ada!” ketus Fazha lalu bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju mobil. Saat baru saja ingin memasuki mobil, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya, sontak membuat dirinya berteriak.

“Aaaaaaaa …! Hantu, ya?! Jangan muncul beneran, Gus! Fazha bercanda …! Fazha memang kangen sama Gus Azhka, tapi kalo ketemu Gus Azhka beneran ya Fazha takut …!” teriak Fazha dengan histeris.

Sontak terdengar suara tawa yang terbahak-bahak.

“Woy, Al-Fazha! Mana ada Gus Azhka …!” teriak Risa.

“Iih, Risa! Ngagetin aja, deh. Untung jantungku nggak copot!” bentak Fazha.

“Ya maaf, habisnya kamu lucu,” kekeh Risa.

“Kamu ke sini sama siapa?”

“Tuh, Pak Su.”

Risa menunjuk ke arah Riyan yang tengah bermain bersama Mutiara, putri kecil mereka.

“Hufftt … sumpah aku kaget,” lirih Fazha.

“Aku pulang duluan, ya,” imbuh Fazha yang langsung masuk ke mobil.

“Yaahh, kok pulang?!” protes Risa.

“Kamu 'kan nggak sendiri di sini …,” teriak Fazha seraya menjulurkan lidahnya.

“Aah, Mas Riyan! Ayo kita pulang juga,” rengek Risa.

“Kok pulang? Baru nyampe, 'kan?” tanya Riyan.

“Firasatku buruk. Ayo pulang!” ketus Risa yang membuat Riyan terkekeh.

“Sok-sokan ngeramal,” gerutu Riyan lalu kembali masuk ke mobil.



Fazha mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, dan sesekali ia memgebut. Ia begitu menikmati pemandangan kota pada sore itu. Tanpa ia sadari, mobil Riyan juga tengah berkendara di belakangnya. Saat tengah asyik berkendara, tiba-tiba ….

“Astaghfirullah!” pekik Fazha saat melihat seorang wanita tiba-tiba menyeberangi jalan.

“Awas, Mba …!” teriak Fazha.

Fazha menekan klakson sembari menginjak rem.

Tiba-tiba ….

“Brukk!”

“Mas Riyan!” bentak Risa.

Riyan juga turut mengerem mendadak karena hampir menabrak mobil Fazha. Hanya berjarak 5 cm saja dengan mobil Fazha.

“Ya Allah …!” Fazha berteriak hisreris dan langsung keluar dari mobil. Ia menghampiri wanita yang tak sengaja ia tabrak tadi.

Riyan dan Risa pun turut keluar dari mobil danenghampiri Fazha. Kini banyak warga yang juga ikut berkerumun.

“Kok bisa, sih, Za?!” bentak Risa.

“Ning Syafa, Ris!” tangis Fazha. Ya, ternyata Ning Syafa yang ia tabrak tadi. Ia memeluk tubuh Ning Syafa yang tak sadarkan diri dan berlumuran darah di mana-mana

“Mba kalo bawa mobil yang bener!” bentak salah satu warga pada Fazha.

“Ta-tapi, tadi dia nabrakin dirinya sendiri, Pak! Padahal saya udah mau brenti tadi!” jawab Fazha.

“Risa, kamu percaya sama aku, 'kan?!”

“I-iya, Za. Aku percaya. Udah, kita jelasin lagi nanti, ya.”

“Udah-udah! Masuk ke mobil, kita bawa ke rumah sakit.” Riyan berusaha menenangkan suasana.



*Rumah sakit

“Kok bisa, sih, Za?!” bentak Nyai Fatimah.

“Tadi Fazha udah brenti, Ummi! Fazha juga udah mau minggir, tapi Ning Syafa kaya sengaja gitu biar ketabrak!” bentak Fazha.

“Plakk!”

Sebuah tamparan mendarat di pipi Fazha.

“Mana mungkin Syafa mau nabrakin dirinya sendiri! Jelas-jelas kamu sengaja nabrak dia!” bentak Nyai Fatimah. Ini adalah kali pertamanya ia berbuat kasar pada Fazha.

“Kamu tau dia lagi hamil, 'kan?! Janinnya nggak selamat, Za! Dia kehilangan calon anaknya! Dan sekarang Syafa koma. Kamu kenapa, Za?! Kamu iri sama kebahagiaan Syafa?! Ummi perhatikan, sejak kedatangan Syafa di keluarga kita, sikap kamu sedikit berubah. Kamu jahat, Za! Dasar pembunuh!”

“Fazha nggak sengaja, Ummi. mana mungkin Fazha sengaja mau nabrak Ning Syafa! Demi Allah!”

“Kita semua nggak nyangka kamu bakal gini. Munafik ternyata, ya. Mentang-mentang Mas Azhka udah nggak ada, jadi bebas mau berbuat apa aja,” timpal Gus Azhmi.

Kini Fazha benar-benar tersudutkan, baru kali ini ia diperlakukan kasar oleh keluarga dari almarhum suaminya.

“Udahlah, jangan ribut di sini!” Kiyai Faqih berusaha melerai perdebatan itu.

“Pergi, Za! Menantu saya hanya Syafa, bukan kamu!” celetuk Nyai Fatimah.

“Ta-tapi—,” jawab Fazha yang terpotong.

“PERGI!”

“Oke, saya pergi! Kalian nggak akan melihat wajah saya lagi! Dan saya nggak akan menginjakkan kaki di depan kalian lagi! Tapi akan saya pastikan, Gus Azhka kecewa sama kalian semua terutama sama kamu!” Fazha menatap Gus Azhmi, sorot matanya seperti menyimpan sebuah dendam.

“Kesalahan terbesar kembaran saya salah memiliki istri seperti kamu!” bentak Gus Azhmi.

Deg.

Fazha seketika menghentikan langkahnya. Hatinya terasa sakit bak tersayat saat mendengar perkataan Gus Azhmi. Fazha langsung membalikkan badannya.

“Saya juga pernah kehilangan calon anak saya! Tapi apa kalian semua se-peduli ini? Enggak! Kalian semua mana ngerti apa yang saya rasain! Kalian cuma bisa menilai saya dengan mulut jahat kalian itu!” bentak Fazha seraya menatap tajam Gus Azhmi, sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tanpa berkata-kata lagi, Fazha langsung pergi meninggalkan mereka semua.

“Ning Syafa pasti sengaja menabrakkan diri karena takut kalo aku keburu ngadu ke Gus Azhmi tentang perselingkuhannya,” ucap Fazha dalam hati.

Ia berlarian di lorong rumah sakit. Namun, suara panggilan dari seseorang membuatnya menghentikan langkahnya.

“Ning Fazha …!”

“Stop panggil saya ‘Ning’! Saya bukan seorang Ning!” bentak Fazha tanpa membalikkan badannya.

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang