Part 25

1K 68 0
                                    

Jam menunjukkan pukul 4 sore. Terlihat 3 orang wanita yang sedang berteriak-teriak tidak jelas di tepian pantai.

“Aku sembuh, Ya Allah …. Aku bahagia …!”

“Makasih, Ya Allah …. Semoga Fazha bahagia terus …!”

“Aaaaa, vibesnya kaya kita habis lulus kuliah dulu …!”

“Indah, ya,” lirih Fazha disertai senyuman yang kelihatannya terpaksa. Terlihat jelas bahwa ia sedang menahan tangis.

“Waktu berputar cepet banget, ya!” jawab Qayla.

“Kamu … beneran bahagia, 'kan?” Risa merangkul bahu Fazha.

“InSyaaAllah! Allah tidak akan menciptakan badai tanpa pelangi setelahnya. Aku selalu inget kata-kata itu.” Fazha langsung menyeka air matanya yang hampir jatuh.

“Aku nggak pernah terpuruk. Aku selalu bahagia! Siapa, sih, yang berani bikin seorang Al-Fazha jadi sedih? NGGAK ADA!” imbuh Fazha dengan menekan kata-katanya terakhirnya.

Risa dan Qayla yang sangat paham akan perasaan Fazha pun hanya bisa terdiam. Mereka tau bahwa Fazha hanya mencoba benar-benar bahagia untuk menutupi keterpurukannya.

“Hebat kamu, Za!” Qayla ternganga sembari bertepuk tangan.

“Oh, jelas! Udah alumni, nih. Masalah model apa yang belom pernah aku alami,” jawab Fazha.

“Mulai dari memendam rasa, perjuangan, orang ketiga, kehilangan, fitnah, gelandangan, udah kenyang aku!” imbuhnya. 

“Dan itu semua aku lakuin sendiri. Jatuh-bangun sendiri, support diri sendiri, itu semua kulakuin sendiri karena aku tau, nggak ada 1 orang pun yang paham tentang aku kecuali diriku sendiri dan Rabb-ku. Nyatanya teman terbaikku adalah diriku sendiri.”

“Sakit? Ya, memang! Tapi aku nggak pernah menjadikan rasa sakit itu sebagai alasan untuk terus terpuruk. Perjalananku masih terlalu panjang untuk menyerah gitu aja. Aku yakin, aku bisa menciptakan happy ending sendirian! Aku nggak butuh support system!”

“Za, maafin kita, ya, kalo kamu merasa selama ini kita nggak peka sama kamu. Yaa, seperti yang kamu bilang, nggak ada 1 orang pun yang bisa paham sama kamu. Mungkin itu termasuk kita. Maaf belom bisa jadi sahabat terbaik yang selalu peka dan selalu ada buat kamu. Mau gimana lagi, Za. Sekarang kita udah punya kesibukan masing-masing,” ucap Qayla.

“Iya, Za. Tapi walaupun gitu, aku masih punya amanah seumur hidup, lho. Aku dapet tugas dari seseorang untuk menjaga tuan putri Al-Fazha Humaira! InSyaaAllah, aku bakal selalu … menjalankan tugas itu sampe akhir hayatku!” Risa menatap wajah Fazha dalam-dalam, sontak membuat Fazha tertawa.

“Ih, ketawa! Emang, ya, kamu itu paling susah diajak ngobrol serius!”

“Jangan susah-susah buat hibur aku, Ris. Cukup dengan aku natap muka kamu yang ngancing aja udah mampu bikin aku ngakak!”



“Alhamdulillah, akhirnya beres juga. Semoga kamu nyaman, ya, sama rumah yang sederhana ini,” ucap Gus Azhmi disertai senyumannya. Sore itu ia bersama Ning Syafa mulai menempati rumah baru mereka.

“Ini nggak sederhana, Mas!” jawab Ning Syaf dengan tertawa kecil. Ia duduk di sebelah Gus Azhmi.

“Maafin aku, ya, kalo kemaren-kemaren udah kasar sama kamu,” ucap Gus Azhmi dengan halus.

“A-aku yang harusnya minta maaf, Mas. Aku durhaka banget,” jawab Ning Syafa.

“Aku ridho, aku maafin. Kita mulai semuanya dari awal lagi, ya. Eumm … oh iya, tadi siang aku ngajak Si kembar ziarah ke makam Mas Azhka. Sedih, tau!”

“Kasian, ya, Mas.”

Gus Azhmi meraih tangan Ning Syafa dan menggenggamnya, “Sayang! Kalo suatu saat aku pergi, aku pengen kamu tetep cinta sama aku, kaya cintanya Mba Fazha ke Mas Azhka, abadi dan nggak pernah hilang.”

Ning Syafa tersenyum getir, “Apa-apaan, sih. Kemanapun Mas Azhmi pergi, aku harus ikut!”

“Harus?”

“Iya, harus.”

“Kamu tau, nggak? Aku lagi kangen … banget sama seseorang.” Gus Azhmi hendak menyadarkan kepalanya ke bahu Ning Syafa, namun Ning Syafa langsung menepisnya dengan kasar.

“Siapa?!” bentak Ning Salwa.

“Astaghfirullah, galak banget,” lirih Gus Azhmi seraya mengusap kepalanya yang terasa sakit.

“Siapa, Mas?!”

“Kangen sama orang yang selalu nyebelin, nggak mau ngalah, sok-sokan, jail, nggak bisa diem. Dia selalu ceria, kalo dia tiba-tiba pendiem, berati habis baterai.” Gus Azhmi terkekeh di ujung perkataannya.

“Siapa itu?”

“Kepo!”

“Iih, Mas Azhmi! Siapa, lho?!”

“Anak cowoknya Kakaknya Umminya Erik.”

“MAS AZHMI! Perlu aku panggilan Khaby Lame buat memperjelas Mas Azhmi yang selalu mempersulit hidup?! Korban DEBM ya gini!” Ning Syafa melemparkan bantal dan mendarat tepat di kepala suaminya itu.

“Ya aku serius! Coba kamu pahami, deh,” jawab Gus Azhmi diiringi tawanya.

“Males!” ketus Ning Syafa lalu tidur membelakangi Gus Azhmi.

“Anak cowoknya Kakaknya Umminya Erik?” ucap Ning Syafa dalam hati. Tak bisa dipungkiri, ia akhirnya memikirkan itu juga.

“Bentar-bentar, Umminya Erik, alyas Ummi Khadijah punya Kakak. Nah, Kakaknya Ummi Khadijah itu … Ummi Fatimah, kah?! Nahhh! Terus Ummi Fatimah punya anak cowok, siapa itu? Lah, ya Gus Azhka sama Gus Azhmi, dong?” Ning Syafa terus membatin dalam hati. Mencerna setiap kata demi kata yang diucapkan Gus Azhmi.

“Mas,” lirih Ning Syafa.

“Hm?” jawab Gus Azhmi.

“Yang tadi itu … Gus Azhka, kah?”

Gus Azhmi hanya mengangguk pelan.

“Mas Azhmi demam?!” Ning Syafa sedikit terkejut saat tangannya tak sengaja menyentuh dahi Gus Azhmi.

“Enggak. Nanti juga sembuh sendiri,” jawab Gus Azhmi.

“Aku ambilin obat, ya.”

“Jangan! Aku nggak boleh sembarangan minum obat!”

“Lho, tapi ini nggak sembarangan, Mas. Emang kenapa?”

“Ah, a-ku … nggak papa. Cu-cuma nanti takutnya obatnya nggak cocok aja.”

“Apa, sih, Mas?!”

“Jangan, Sayang! Udah nggak usah, ah!”

“Terserah Mas Azhmi, deh!”

“Ya Allah, jika nanti giliranku, wafatkan aku dalam keadaan mencintai-Mu sedalam-dalamnya,” ucap Gus Azhmi dalam hati. Tangannya terus menggenggam serat tangan Ning Syafa.



Pagi itu Fazha dan Nyai Fatimah sedang menyiapkan sarapan di dapur, sesekali mereka bercanda ria.

“Ummi …!” teriak Ning Salwa yang berlari-lari menuju dapur.

“Apa teriak-teriak?!” tanya Nyai Fatimah dengan sedikit sewot.

“Ini, Ummi!” Ning Salwa menyerahkan ponselnya pada Nyai Fatimah.

“Hallo?”

******

Ning Salwa kenapa, ya?

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang