Part 21

1.1K 78 4
                                    

“Ya udah, aku pulang dulu, Kak. Dada …!” teriak Afkar yang langsung hendak berlari, namun tiba-tiba Fathan memanggilnya.

“Nggak mau pamitan sama Om, nih …?” teriak Fathan. Afkar menghentikan langkahnya dan berbalik arah.

“Lupa …!” teriak Afkar yang langsung berlari menghampiri Fathan dan memeluknya.

Afkar sudah menganggap Fathan sebagai ayahnya sendiri, begitupula dengan Akhtar. Terlebih lagi, mereka memang belum pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah.

“Afkar mau pulang, Om. Nanti kapan-kapan Afkar ke sini lagi sama Mama, sama Kak Akhtar juga,” ucap Afkar.

“Iya …. Titip salam buat Mama, ya,” jawab Fathan.

“Cie,” lirih Varo yang hampir tak terdengar sama sekali. Fathan yang menyadarinya pun langsung mencubit pahanya, membuatnya meringis kesakitan.

“Siap, Om! Ya udah, Afkar pulang dulu, ya. Assalamu'alaikum.” Afkar menyalami Fathan dan Varo.

“Wa'alaikumussalam,” jawab keduanya.

“Aku mau lamar Al-Fazha!” Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba mulut Fathan melontarkan perkataan yang membuat Varo amat terkejut.

“Apa?!” pekik Varo.

“Ka-kamu bercanda, 'kan?” imbuhnya.

“Enggak, Bang. Ini serius. Sebenernya … aku emang udah lama suka sama Fazha. Entah kenapa aku ngerasa kagum gitu sama dia. Setiap kata-kata yang keluar dari mulut dia itu selalu penuh makna dan menenangkan. Apa lagi … pas aku lagi ada di titik terpuruk, pas aku baru tau kalo ternyata Naura udah nggak ada. Pas itu dia yang bisa nyembuhin aku,” jawab Fathan panjang lebar.

“Ya … ya wajar, dia 'kan psikolog,” ucap Varo.

“Tapi aku ngerasa dia lebih dari itu. Dan … aku tau banget sama kepribadiannya. Dari tingkah lakunya, kebiasaannya, pokoknya 70% tentang dia, deh. Kita dulu tetangga dari kecil, terus pernah pacaran pas kelas 6 SD, terus pas kelas 3 SMP aku pindah.” Fathan bercerita diiringi gelak tawa.

“Maaf, Bang,” lirih Fathan.

“Maaf kenapa?” tanya Varo.

“Bang Varo … suk–” ucap Fathan yang terpotong.

“Shttt! Siapa bilang?! Demi Allah, Abang nggak ada rasa apa-apa sama Fazha. Abang memang lagi suka sama orang, tapi bukan Fazha! Udah, ah, jangan bahas tentang ini. Udah, ya …,” sahut Varo.

“Kalo kamu emang niat mau serius sama Fazha, Abang dukung pokoknya!” imbuhnya seraya menepuk pelan pundak Fathan.

“Eumm … makasih, Bang. Tapi sebenernya aku udah bilang ke Om Hafidz sama Tante Suci tentang ini. Tapi Fazha nggak tau. Dan … Alhamdulillah mereka merestui. Jadi tinggal nunggu keputusan Fazha,” ucap Fathan.

“Untuk kedatanganku yang ke-2 kalinya ke rumah Fazha, aku bakal ditemenin sama Om Firman dan Tante Riyanti,” imbuh Fathan.

Firman dan Riyanti adalah Om dan Tante-nya Fathan. Merekalah yang mengasuh Fathan sejak menjadi yatim piatu.

“Bagus itu. Pokoknya … kita berdo'a yang terbaik aja, ya. Semoga semuanya lancar, dan kamu sana Fazha segera dipersatukan dalam ikatan yang halal,” ucap Varo dengan senyum tulusnya.

“Aamiin,” jawab Fathan.

“Ciee, cinta lama bersemi kembali.”

“Haha, mungkin takdir.”



“Udah?” tanya Fazha saat Afkar berlari menghampirinya.

“Udah, Ma! Ayo berangkat,” jawab Afkar.

“Ya ajak Kakek. 'Kan Kakek yang punya mobil.” Fazha mengusap pelan ubun-ubun putra kecilnya itu.

“Ya udah, ayo,” ucap Hafidz yang sedari tadi sudah berada di dalam mobil bersama Suci dan Akhtar.

“Oh iya, Ma. Tadi Om Fathan titip salam buat Mama,” ucap Afkar setelah berada di dalam mobil. Fazha hanya membalasnya dengan senyuman, sementara Hafidz dan Suci saling memberi kode.

“Fathan Hanif Qurtubi.” Fazha mengucapkan nama lengkap Fathan dalam hatinya. Tanpa ia sadari, bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman.

Hafidz mulai menancap gas dan mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, Fazha hanya melamun sembari memandang keluar melalui kaca jendela. Sementara si kembar tengah bercanda ria dengan neneknya.

“Nek, Akhtar haus,” ucap Akhtar tiba-tiba.

“Yahh, mana nggak ada air minum. Tadi juga nggak bawa dari rumah,” keluh Suci.

“Nanti brenti di minimarket depan sana, ya,” sahut Hafidz yang diangguki oleh Suci.

Tak lama kemudian, mereka sampai di depan sebuah minimarket. Suci dan si kembar pun turun untuk membeli minuman. Sementara Hafidz dan Fazha tetap berada di mobil.

Fazha melontarkan pandangannya ke arah seberang jalan raya. Terlihat bangunan bernuansa biru muda yang terlihat cukup megah. Ya, itu adalah kampusnya dulu. Ia tersenyum memandangnya. Tak terasa, waktu cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin ia menginjakkan kaki di tempat itu bersama kedua sahabatnya.

Fazha lalu melihat sebuah halte bus yang jaraknya tak jauh dari pintu gerbang kampus. Lagi-lagi pikirannya melayang ke beberapa tahun silam.

“Bi, dulu Fazha pingsan di halte itu. Eh, bangun-bangun udah di rumahnya Gus Azhka,” ucap Fazha dengan suara khas menahan tangis.

Hafidz menengok ke belakang untuk melihat putrinya.

“Kangen, ya, Nak?” tanya Hafidz disertai senyumannya.

Fazha mengangguk dengan air mata yang tak tertahankan.

“Sabar, ya. Kamu banyak-banyak kirim do'a aja buat Gus Azhka. Gus Azhka pasti bahagia … banget di sana, liat kamu hebat bisa berjuang sendiri. Kamu juga bisa bertahan sampai detik ini. Nanti kalian bakal dipertemukan lagi di syurga, percaya aja,” ucap Hafidz seraya menggenggam tangan putrinya itu.

“Umur kamu berapa?” tanya Hafidz. Sontak, Fazha pun membelalakkan matanya.

“Iihh, umur anak sendiri lupa!” protes Fazha. Ia mirip sekali dengan Suci ketika sedang marah begitu.

Hafidz terkekeh pelan sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali, “Hehe, faktor U.”

“24 tahun! Bulan depan 25!” ketus Fazha.

“Udah gede, ya. Tapi keliatannya kaya anak baru masuk SMA. Cocoknya jadi kakaknya Akhtar sama Afkar,” ledek Hafidz.

“Iih, Abi!”

“Duhh, ada apa ribut-ribut?” tanya Suci yang baru saja datang bersama si kembar.

“Ini Fazha, dibilang masih muda kok nggak mau,” jawab Hafidz.



“Ekhem, pokoknya hari ini Salwa yang masak! Hari ini Salwa mau masak semua … makanan favorit Mba Fazha!” ucap Ning Salwa dengan sengaja mengeraskan suaranya. Nyai Fatimah tersenyum melihat tingkah putrinya itu.

“Yaah, biasalah aku 'kan terlalu baik depan-belakang,” imbuhnya diiringi tawanya. Ia melirik singkat ke arah Ning Syafa yang duduk di meja makan bersama Nyai Fatimah.

“Iya-iya … percaya. Udah buruan masak,” jawab Nyai Fatimah.

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang