Part 11

981 75 6
                                    

“Ning Fazha …!”

“Stop panggil saya ‘Ning’! Saya bukan seorang Ning!” bentak Fazha tanpa membalikkan badannya.

“Ma-maaf, Za. Itu … tadi dicariin Risa,” ucap seseorang yang tak lain ternyata adalah Riyan.

“Saya lagi nggak mau bicara!” bentak Fazha yang kembali melanjutkan langkahnya.



Malam itu, Fazha, Risa, Qayla, dan Erik sedang berada di rumah Fazha. Mereka tampak sedang bermusyawarah.

“Ini kunci mobil, sertifikat rumah, ATM, dan semuanya! Aku kembalikan! Tolong Mas Erik kasih ke sepupu Mas Erik itu!” Fazha melemparkan barang-barang yang disebutnya tadi di hadapan Erik.

“Saya pergi dengan tangan kosong!” imbuh Fazha.

“Jangan gitu, Za. Ada jalan keluar, kok,” tangis Qayla.

“Nggak ada. Aku 'kan udah diusir dari sini. Jadi buat apa aku masih di sini,” jawab Fazha.

“Terus kamu mau kemana?” tanya Erik yang membuat Fazha seketika terdiam.

“Intinya aku pergi dari sini! Selanjutnya terserah Allah!” bentak Fazha yang langsung berlari meninggalkan rumahnya itu. Ia benar-benar pergi dengan tangan kosong. Bahkan ponsel pun tak ia bawa.

“Fazha …!” teriak Risa dan Qayla bersamaan.

“Mas Erik, kejar Fazha, jangan diem aja …!” rengek Risa.

“Kok bisa, ya, mereka setega itu,” lirih Qayla.

“Nggak ada Ning Salwa, sih!” jawab Risa. Ya, Ning Salwa telah kembali ke Yaman seminggu yang lalu.

“Mas, ayo cari Fazha!” desak Risa.

“Anak-anak gimana, Ris?!” jawab Erik yang kembali bertanya.

“Biar Reyna sama Muti aku bawa ke rumah. Kalian pergi aja,” sahut Riyan yang tiba-tiba datang bersama Reyna dan Mutiara.

“Ya udah. Reyna, kamu nanti ikut Om Riyan pulang, ya. Jangan nakal, ya. Papa sama Bunda ada urusan penting … banget,” ucap Qayla seraya memeluk Reyna.

“Mas Erik, ayo berangkat! Oh iya, Mas Riyan kalo mau pulang jangan lupa kunci pintu rumah ini, ya,” ucap Risa.

“Iya,” jawab Riyan.



“Kita cari Fazha kemana, Ris?!” tanya Qayla.

“Kemana aja kita cari, intinya dia harus ketemu! Jangan sampe dia bener-bener pergi. Kasian dia, ya kali dia mau hidup terlantar!” jawab Risa.

Kini suara tangisan memenuhi seisi mobil, membuat suasana semakin genting.

“Kalian berdua tenang, dong! Aku tau kalian sedih. Siapa, sih, yang nggak sedih. Tapi kita harus tetap tenang!” tegas Erik dengan matanya yang berkaca-kaca dan mulai menghentikan mobilnya.

“Kita ngerasa gagal jagain Fazha!” bentak Qayla.

“Gus Azhka …! Ini gimana …?!” teriak Erik.



Fazha berjalan di sepanjang trotoar. Ia memandangi langit malam, lengkap dengan gemerlap bintang dan cahaya rembulannya. Kini ia meluapkan air mata yang sedari tadi tertahan.

‘Simpan dulu air matanya, buat tangis bahagia nanti.’

Tiba-tiba perkataan Gus Azhka 3 tahun silam kembali terngiang di telinga Fazha.

“Gus Azhka …!” teriak Fazha yang menangis histeris. Ia tak mempedulikan dirinya yang kini menjadi pusat perhatian.

Fazha memandang ke arah jurang di bawah jembatan dengan tatapan kosongnya. ‘Lompat’,  itu yang kini memenuhi isi otaknya. Ia tak mempedulikan teriakan orang-orang di sekitar sana yang mencegahnya untuk melakukan hal tr4gis itu. Saat dicegah secara fisik, ia malah memberontak.

“Aku tadi disuruh pergi, 'kan?!” ucap Fazha dalam hati. Ia menutup matanya dan menghembuskan nafasnya dengan kasar, serta jari-jemarinya yang terkepal erat-erat. Kakinya melangkah semakin dekat dengan tepi jembatan.

Dan ….

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang