Sebuah mobil berwarna hitam mulai memasuki area pesantren. Beberapa santri tampak berbisik-bisik saat melihat mobil itu berparkir di halaman rumah Kyai Faqih.
“MasyaaAllah, itu Ning Fazha, ya?”
“Iya itu Ning Fazha. Kemana aja, ya, kok baru ke sini lagi? Kangen, tau.”
“Mungkin Ning Fazha sibuk, atau di rumah orang tuanya.”
Di sisi lain…
“Ummi … ada tamu!” Ning Salwa sibuk berlari ke belakang mencari Umminya.
“Ya suruh masuk, lah!” jawab Nyai Fatimah.
“Malu!”
“Emang siapa?”
“Salwa juga nggak tau. Pake mobil warna item.”
Nyai Fatimah tampak terkejut dan bergegas keluar.
“Fazha!” ucap Nyai Fatimah dengan raut wajah girang saat melihat siapa yang berada di depan pintu.
“A-ayo semuanya silakan masuk,” ucap Nyai Fatimah, mereka semua pun masuk ke dalam.
“Ummi ….” Tangis Fazha yang langsung memeluk ibu mertuanya itu.
“Maafin Fazha, Mi.”
“Enggak, Za! Ummi yang minta maaf! Maafin Ummi, ya.”
“Fazha sayang sama Ummi. Fazha nggak mau kejadian kemarin terulang lagi.”
“Iya, Sayang. Ummi janji nggak bakal gegabah lagi. Kamu maafin Ummi? Ummi bener-bener tulus, Za!”
“Fazha juga tulus maafin Ummi.”
Fazha melepaskan pelukannya, belum sempat menetralkan nafas, Ning Salwa langsung menyeret Fazha ke dalam. Hafidz dan Suci serta Nyai Fatimah berbincang-bincang di ruang tamu.
“Mau kemana, Sal?” tanya Fazha.
“Ada dua orang yang harus minta maaf sama Mba Fazha!” jawab Ning Salwa dengan sewot.
“Mba Fazha,” panggil seseorang yang sedang menuruni anak tangga dari lantai atas. Ia menghampiri Fazha dan Salwa yang berada di ruang tengah.
“Saya minta maaf, Mba. Saya udah dzolim sama Mba Fazha. Saya udah salah paham dan … membela yang salah,” ucap Gus Azhmi.
Fazha terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “I-iya, Gus. Fazha ngerti. Fazha tau gimana rasanya kehilangan seorang anak. Sakit, Gus. Kita rela menyalahkan siapapun jika udah bersangkut paut sama anak kita.”
“Eumm … si kembar mana, Mba?” tanya Gus Azhmi.
“Ada di depan,” jawab Fazha.
“Oh ya udah. Saya ke depan dulu.”
“Iya sana.”
Ning Salwa berdiri di ambang pintu dapur. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ladang, mencari-cari sosok Ning Syafa.
“Mba Syafa …,” teriak Ning Salwa.
Ning Syafa pun menghampiri adik iparnya itu, “Iya?”
“Ada Mba Fazha,” bisik Ning Salwa.
“Mba,” lirih Ning Syafa yang duduk di samping Fazha. Tanpa berkata-kata lagi, Ning Syafa langsung memeluk Fazha dan terisak dalam pelukannya.
“Nggak aku jelasin pun Mba Fazha ngerti,” ucap Ning Syafa.
“I-iya, Ning. Aku ikhlas memaafkan. Allah aja maha mengampuni hambanya yang berbuat dosa, masa aku enggak,” jawab Fazha yang membalas pelukannya.
“Alangkah hinanya aku udah ngorbanin anak aku demi keegoisanku, Mba! Aku bener-bener nyesel!”
“Penyesalan nggak akan membuat semuanya kembali lagi, Ning. Tapi orang-orang yang menyesal itu berhak mendapatkan kesempatan ke-2.”
“Iya bener. Terkadang orang dengan masa lalu yang buruk, akan menghasilkan masa depan yang indah. Jadi kita nggak berhak menghakimi seseorang,” timpal Ning Salwa. Ia sudah sangat faham dengan ini karena ia juga pernah terlibat dengan seseorang yang buruk masa lalunya.
“Kenapa kalian semua pada baik? Nggak kaya aku! Aku malu, aku udah jahat, tapi kalian balasnya pake kebaikan. Mau ditaro mana mukaku di hadapan Allah nanti!” Ning Syafa mencaci dirinya sendiri.
“Ya karena … kalo ada orang yang jahat sama kita, terus kitanya bales jahat lagi, apa bedanya kita sama dia?” jawab Ning Salwa.
“Udahlah, Ning. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang jalani aja apa yang di depan mata. Kita semua maafin Ning Syafa. Ini kesempatan ke-2 untuk Ning Syafa. Nasuha, Ning. Jangan diulang, ya.” Fazha mengelus-elus bahu Ning Syafa.
“Mba Syafa beruntung punya suami sesabar Mas Azhmi. Udah ganteng, baik, kalem, nggak pemarah. Coba kalo Mas Azhka, wah, Mba Syafa udah habis,” ucap Ning Salwa yang membuat Fazha tertawa.
“Ini pun kalo Mas Azhka masih ada, entah apa jadinya,” imbuh Ning Salwa.
“Udah, ah. Mas Azhka-nya denger nanti,” jawab Fazha diiringi tawanya.
“Oh iya, Umma sama Abinya Mba Fazha nginep, 'kan?”
“Enggak, Sal. Nanti pulang.”
•
•
•“Om Azhmi ….” Akhtar berlari ceria menghampiri Gus Azhmi yang sedang duduk di ruang tengah.
“Haii. Gimana liburannya?” tanya Gus Azhmi lalu memangku Akhtar.
“Seru banget! Akhtar banyak temen baru di rumah nenek sana,” jawab Akhtar.
“Wahh, kapan-kapan ajak Om Azhmi, ya.”
“Iya, Om!”
“Mana Afkar?”
“Dia lagi makan.”
“Akhtar boleh nanya nggak, Om?” Akhtar menatap lekat wajah pria berusia 25 tahun itu.
“Ih, kenapa? Kok gitu banget ngeliatinnya. Emang Akhtar mau nanya apa?” Gus Azhmi kembali bertanya sambil tertawa kecil.
“Akhtar 'kan belom pernah tau Papa sama sekali. Nah, Papa itu orangnya kaya gimana, sih, Om?” tanya Akhtar yang membuat Gus Azhmi merasa iba.
“Wah, kaya gimana, ya,” jawab Gus Azhmi.
“Sebutin ciri-cirinya, Om,” pinta Akhtar.
“Oke-oke. Papa kamu itu namanya Azhka. Dia kembaran Om Azhmi. Ya … 97% ciri-cirinya sama kaya Om. Dia itu ganteng … banget, kaya kembarannya, hehe. Dia itu baik, lucu, suka menghibur orang, dan nggak bisa diem. Kulitnya putih, pipinya agak gemoyy kaya Akhtar!” jelas Gus Azhmi sembari mencubit pelan pipi Akhtar.
“Dulu 'kan Akhtar pernah liat HP Mama, ada banyak banget foto. Nah, Akhtar kira itu foto Om Azhmi, ternyata Papa. Dulu Akhtar nggak tau,” ucap Akhtar.
“Eumm … Akhtar mau ikut Om, nggak?”
“Kemana, Om?”
“Udah ikut aja. Tapi nanti, ya, nunggu Afkar selesai makan.”
“Iya, Om!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Al-Fazha
Teen Fiction[Follow sebelum membaca] Note: Cerita ini merupakan kelanjutan dari "Gus Halalku" ____ Al-Fazha Humaira, yang kini telah menjadi singel parents. Ia harus menjadi ibu, sekaligus ayah untuk kedua anaknya di usianya yang ke-21 tahun, itu masih sangat...