Part 14

980 81 2
                                    

“Assalamu'alaikum,” ucap Fazha setelah sampai di taman.

“Wa'alaikumussalam,” jawab seseorang yang tak lain adalah Varo. Ia hanya menundukkan kepalanya tanpa berani melihat Fazha.

Kini Varo mulai belajar bagaimana cara memuliakan wanita dengan cara menjaga pandangannya. Ia sendiri merasa trauma jika mengingat masa lalunya, terlebih lagi tentang Ning Salwa. Ah, sudahlah!

“Ayo,” ucap Varo yang langsung masuk ke mobil, sementara Fazha duduk di belakang.

“Siap, 'kan?” tanya Varo dengan tersenyum simpul.

Fazha sedikit menghembuskan nafasnya lalu berkata, “In syaa Allah, siap. Allah selalu bersamaku!”

Varo mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

“Oh, iya! Pas udah sampe rumahku, pasti kamu bakal seneng … banget,” ucap Fazha dengan wajah sumringah. Tiba-tiba ia teringat akan Fathan. Ya, Fathan masih termasuk adik ipar Varo, 'kan?

“Oh, ya? Kenapa emang?” tanya Varo yang memang tak mengerti apa-apa. Selama ini pun ia tak tahu kabar apapun tentang Fathan.

“Udah … liat aja nanti,” jawab Fazha. 



“Semalem Abi mimpi Azhka sama Azi berantem,” ucap Kyai Faqih yang kala itu tengah bercermin.

“Apa iya? Gimana ceritanya, Bi?” tanya Nyai Fatimah.

“Abi inget detail banget pokoknya!”

“Emang gimana?”

Kyai Faqih mulai menceritakan mimpinya semalam, “Jadi Abi mimpi lagi duduk santai di sini. Nah, terus ada salah satu santri yang lari-lari manggil Abi, dia bilang Gus Azhka sama Gus Azhmi berantem di asrama putra.”

“Astaghfirullah! Kalian kenapa?! Ayo pulang! Semuanya bubar!” bentak Kyai Faqih yang langsung menyeret kedua putranya itu karena tak mau menjadi pusat perhatian para santri. Sesampainya di rumah, mereka didudukkan di ruang tamu.

“Nggak malu kalian, hah?!” bentak Kyai Faqih.

“Dia duluan!” jawab Gus Azhmi seraya menunjuk saudara kembarnya itu.

“Apa-apaan?! Aku ngomong baik-baik, tapi kamunya aja yang nyolot!” bentak Gus Azhka.

“Baik-baik dari mana?! Mas Azhka baru dateng langsung marah-marah nggak jelas!”

“Mas Azhka nggak marah, cuma kecewa sama kamu. Sumpah kecewa!”

“Ya kecewa kenapa?! Masalah Fazha?! Karena aku nggak jadi menikahi Fazha, gitu?!” tanya Gus Azhmi.

“Bukan, Azhmi!” jawab Gus Azhka.

“Ya terus apa?!”

“Mas Azhka kecewa karena kamu gagal mendidik istri kamu sehingga dia bikin Fazha menderita! Kamu jangan hanya melihat istri kamu itu dari sisi baiknya!”

“Maksud Mas Azhka apa?! Mau mojokin Syafa?! Justru Fazha yang udah buat Syafa dan aku menderita!” bentak Gus Azhmi. Perkataan Gus Azhka barusan membuatnya naik pitam.

“Kalo kamu nggak tau lebih baik cari tau,” jawab Gus Azhka singkat.

“DIAM!”

“Kalian berdua nggak punya sopan santun sama sekali, ya! Kalian nggak nganggep Abi ada di sini?!” bentak Kyai Faqih yang membuat mulut keduanya terkunci.

“Istriku berhak mendapatkan kembali kebahagiaannya,” ujar Gus Azhka.

“Gitu mimpinya. Masuk akal, sih. Apa jangan-jangan in–” ucap Kyai Faqih yang terpotong.

“Ah, udahlah! Ummi lagi nggak mau denger nama Fazha,” sahut Nyai Fatimah yang langsung melangkah pergi.

“Yakin banget kalo selama ini Fazha pasti ada masalah sama Syafa. Dan Syafa itu beda sifat kalo di belakang Azhmi,” ucap Kyai Faqih dalam hati. Ia keluar kamar mengikuti langkah istrinya.



“Ah, ya udah kalo gitu … saya pulang dulu, ya. Masih ada urusan penting yang harus saya kerjain,” ujar Erik.

“Iya, Mas,” jawab Riyan, sementara Gus Azhmi hanya mengangguk.

Erik mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia tak tau harus menuju kemana sekrang. Mau pulang pun ia takut mengecewakan Qayla dan Risa karena tidak pulang dengan membawa Fazha.

“Gimana Varo ini, malah nggak ada kabar,” gimana Erik. Ia terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan pemakaman umum. Ia niat berziarah lebih dulu di makam almarhum sepupunya itu.

“Assalamu'alaika, Yaa ahlil kubur,” ucap Erik saat memasuki gerbang TPU.

Ia berjalan menuju makam Gus Azhka, namun sesampainya di sana, ia melihat 2 orang yang tengah berziarah pula.

“Fazha?!” pekik Erik. Fazha pun terkejut dan langsung menghentikan bacaan do'anya.Ia membelalakkan matanya ketika melihat siapa yang datang.

“Mas Erik,” lirih Fazha.

“Kalian di sini? Kamu kenapa nggak ngabarin kalo Fazha ada sama kamu?” tanya Erik pada Varo.

“Fazha ngelarang aku,” jawab Varo yang terpaksa mengatakan yang sebenarnya.

“Ayo pulang, Za,” ucap Erik.

“Fazha mau pulang ke rumah orang tua Fazha, karena di sini udah nggak ada yang memihak Fazha!” tegas Fazha.

“Masih ada Qayla sama Risa, ada Mas Erik sama Riyan juga.”

“Fazha nggak mau kalian dimusuhi keluarganya Ummi karena kalian masih belain Fazha. Mendingan Mas Erik pulang aja.”

“Mas Erik nggak berani pulang kalo nggak bawa kamu. Nanti bisa habis sama Qayla sama Risa, Za!”

“Itu bukan urusan Fazha.”

“Ayo pergi,” ucap Fazha pada Varo. Fazha lebih dulu melangkah pergi.

“Aku mau anter Fazha pulang. Kalian semua tenang aja, Fazha bakal baik-baik aja,” lirih Varo.

“Awas kalo kamu berani nyentuh dia!” jawab Erik dengan tatapan tajamnya. Tak bisa dipungkiri, ia masih kurang yakin dengan perubahan seorang Alvaro.

“Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumussalam.”

Kini hanya Erik sendiri yang berbeda di tempat itu. Ia seperti orang linglung, tak tau harus berbuat apa. Ia duduk bersimpuh di samping makam.

“Maafin kita, Gus. Kita gagal menjalankan amanah terakhirmu. Kita gagal mengembalikan kebahagiaan Humairamu. Kita gagal menjaga berlianmu agar nggak tergores sedikitpun,” ucap Erik. Bulir bening lolos begitu saja dari pelupuk matanya.

“Besok hari ulang tahunmu, 'kan? Sejak kepergian Gus Azhka, aku belom pernah tertawa lepas kaya dulu lagi. Singkat banget, Gus. Padahal kita baru aja dewasa. Aku kangen sama tawa khasnya Gus Azhka, teriakannya pas takut kucing, wajahnya, suaranya, pokoknya semuanya!”

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang