Part 5

1K 62 1
                                    

“Aku manusia bukan malaikat, Qay …! Coba kamu ngerasain jadi aku. Kalo buNuh diRi itu nggak haram, mungkin udah kulakuin dari dulu, Qay! Kenapa harus Gus Azhka yang m4ti, kenapa nggak aku aja …?!” teriak Fazha.

“Astaghfirullah!” pekik Erik yang langsung mengerem secara mendadak.

“Ning Fazha!” bentak Erik.

“Pikirkan mental anak-anakmu, Ning! Jangan buat Gus Azhka kecewa!” ucap Erik dengan tegas, ia menatap Fazha dengan tatapan tajamnya membuat Fazha langsung tertunduk.

Fazha menutup matanya dan menghela nafas dalam-dalam.

“Astaghfirullah,” gumam Fazha yang hampir tak terdengar sama sekali.

“Jalan lagi, Mas,” titah Qayla, dan Erik pun kembali mengemudikan mobilnya.

“Santai … jangan bawa stres, di luar sana banyak banget orang-orang yang lebih susah dari kamu, yang ujiannya lebih berat dari kamu,” ujar Qayla yang membuat Fazha sedikit tenang.

“Mama kenapa, sih? Kok marah-marah mulu?” tanya Akhtar dengan polosnya, sementara Afkar tidak peduli dengan keadaan, dan asyik sendiri.

“Mama nggak marah …,” jawab Fazha dengan tersenyum simpul.

“Tapi tadi Ma—” ucap Akhtar yang terpotong.

Fazha langsung memeluk anaknya itu seraya berkata, “Maafin Mama, ya, Sayang.”

“Ya Allah … ampuni aku yang telah melalaikan anak-anakku. Apakah mereka sudah cukup mendapatkan kasih sayang dariku, Ya Allah?” ucap Fazha dalam hati.

“Mama jangan pergi, ya. Akhtar sama Afkar nggak mau sendirian.”

“Mama nggak akan pergi. Mama bakal di sini terus nemenin kalian berdua sampe kalian besar!”

“Janji, ya Ma.”

“Janji!”



Di sisi lain….

“Iya, Mba, kadang kasian banget sama Mba Fazha,” ucap Ning Salwa yang saat itu tengah berbincang-bincang dengan Risa di teras depan rumah. Mereka baru saja selesai mengajar siang itu.

“Kalian kayanya perhatian banget, ya, sama Fazha,” ujar Ning Syafa yang tiba-tiba datang.

“Oh ya jelas! Soalnya 'kan Salwa sayang banget, ya, sama Mba Fazha. Dan … yaa, Salwa juga nganggep Mba Fazha sebagai kakak kandung Salwa,” jawab Ning Salwa tanpa menatap wajah Ning Syafa.

“Mba Fazha memang prefect, deh. Orangnya sederhana, akhlaknya bagus pula. Terus selalu menjaga lisannya supaya nggak menyakiti hati orang lain! Nggak salah almarhum Mas Azhka menjadikan Mba Fazha sebagai istrinya,” imbuh Ning Salwa dengan menakan kata-katanya, ia seperti sedang menyindir Ning Syafa.

“Ning Salwa kenapa, sih,” batin Risa.

“Fazha, Fazha, Fazha, muak dengernya!” ucap Ning Syafa dalam hati.

“Tapi Gus Azhka sedikit salah, sih. Dia seorang Gus, harusnya dia juga bersanding dengan seorang Ning,” ucap Ning Syafa.

“Oh, siapa bilang Mas Azhka salah? Lagian ini 'kan bukan kehendak Mas Azhka. Yang mengatur jodoh itu Allah,” jawab Ning Salwa.

“Jangan menilai orang hanya dari luarnya. Itu si Fazha keliatannya baik, belom tentu aslinya baik juga. Kita nggak ada yang tau, 'kan?” cibir Ning Syafa yang terkesan merendahkan.

“Yaah, kalo Salwa 100% yakin sama Mba Fazha. Lagipula … Mba Syafa kenapa, sih? Nggak suka sama Mba Fazha? Iri, ya?” tanya Ning Salwa tanpa keraguan sedikitpun.

“Salwa!” bentak seseorang yang mengejutkan mereka semua. Ning Salwa sontak menoleh ke seseorang yang ternyata berdiri di ambang pintu.

“Mas Azhmi?!”

“Kamu kok gitu sama Mba Syafa?! Nggak sopan!”

Ning Salwa tak menjawabnya, ia hanya menatap tajam kakaknya itu.

“Ah, nggak papa, Mas. Kita tadi cuma lagi bercandaan kok,” ucap Ning Syafa.

“Ihs, sok polos,” batin Ning Salwa.

“Sekali lagi kamu kayak gitu, Mas Azhmi aduin ke Abi,” ancam Gus Azhmi yang hanya mendapat ekspresi masam dari Ning Salwa.

“Ooh, jadi ceritanya lagi terjadi cekcok di keluarga ini. Kenapa Fazha nggak pernah cerita, ya?” batin Risa.



2 hari kemudian….

Fazha kini berada di rumah orang tuanya. Ia berniat akan lama di sini.

Pagi itu, Fazha dan Suci sedang melakukan ritual masaknya di dapur. Mereka memasak sembari bercengkrama hingga sesekali menimbulkan gelak tawa.

“Tau nggak sih, Za?! Tetangga kit—” ucap Suci yang terpotong.

“Kalo masak … jangan sambil gibah. Nanti nggak enak masakannya,” sahut Hafidz yang membuat Suci dan Fazha terkekeh.

“Apaan, sih, Abi! Orang kita nggak gibah,” ujar Fazha.

“Tetangga kita kenapa, Umma?” bisik Fazha.

“Ooh, lagi ngomongin si Fathan ya?!” Lagi-lagi Hafidz menyela pembicaraan mereka.

“Abi apaan, sih, ikut campur aja, deh!” jawab Fazha.

“Ngomong-ngomong … emang ada tetangga kita yang namanya Fathan? Siapa dia? Tetangga baru? Dari mana? Emang kenapa Umma mau nyeritain dia?” Fazha mengajukan sederet pertanyaan.

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang