Part 4

1K 59 0
                                    

Keesokan harinya….

“Ya Allah, Za, kamu serius mau nyetir sendiri. Ini 'kan perjalanan jauh?” tanya Nyai Fatimah yang pagi itu sedang berada di rumah Fazha, diantarkan oleh Ning Salwa.

“Fazha bisa kok, Ummi. Nggak perlu khawatir, deh,” jawab Fazha.

“Kenapa nggak minta dianterin, atau naik taxi aja?” tanya Ning Salwa.

“Nggak usah …. Mba Fazha beneran bisa,” jawab Fazha.

“Ya udah, pokoknya … kamu hati-hati, ya. Jangan kebut-kebutan, patuhi lalulintas! Biar lambat asalkan selamat!” tegas Nyai Fatimah seraya memeluk menantunya itu.

“Ummi takut, Za!” lirih nyai Fatimah, tak terasa air mata telah membahasi pipinya.

“Pasti Ummi inget almarhum Mas Azhka dulu,” batin Ning Salwa.

“Ummi berbah pikiran. Pokoknya kamu nggak boleh nyetir sendiri! Dianterin Azhmi aja, ya!” tegas Nyai Fatimah.

“Nggak mau!” pekik Fazha yang langsung membelalakkan matanya.

“Dari pada dianter Gus Azhmi mending sama Mas Erik! Yang ada aku bisa dilabrak nenek lampir nanti kalo sama Gus Azhmi,” ucap Fazha dalam hati.

“Kenapa? Toh nanti ditemenin sama Syafa, nggak cuma berdua sama Azhmi,” tanya Nyai Fatimah.

“Y-ya … pokoknya Fazha nggak mau,” jawab Fazha.

“Oh ya udah, minta tolong Mas Erik aja,” ucap Ning Salwa.

“Nahh, gitu ngapa. Ahh, peka banget punya adek ipar,” batin Fazha.

Tak ada pilihan lain, Fazha pun terpaksa pulang dengan diantar oleh Erik dan Qayla karena dilarang menyetir sendirian.



“Senyum, Za. Cemberut mulu,” ujar Qayla karena sedari tadi Fazha hanya memandang suasana jalan melalui kaca mobil dan tak berbicara sepatah kata pun.

“Nggak mood banget pagi ini!” ketus Fazha.

“Dari tadi pagi Mama ngomel-ngomel terus, Tante,” timpal Afkar yang langsung mendapat tatapan tajam dari Fazha.

“Kenapa, Za?” tanya Qayla dengan tertawa kecil.

“Gara-gara dimarahin sama nenek,” sahut Akhtar.

“Untung anak sendiri,” batin Fazha.

“Emang kenapa, Za?”

“Ya gara-gara aku mau nyetir sendiri!”

“Lagian kamu aneh-aneh. Kaya bisa aja.”

“Ya bisa, lah! Orang aku udah pro!”

“Mas Erik, mampir ke makam, ya, kita ziarah dulu,” punya Fazha.

“Iya, Ning,” jawab Erik.



Erik melajukan mobilnya menuju pemakaman umum untuk berziarah di makam Gus Azhka. Sesampainya di sana, mereka pergi ke makam yang di tuju. Namun, mereka dikejutkan oleh keberadaan seseorang.

“Assalamu'alaikum …,” ucap Erik pada pria yang tengah duduk dekat makam Gus Azhka itu.

Pria itu menengok dan menjawab salam Erik, “Wa'alaikumussalam.”

“Kamu?!” pekik Erik, Qayla, dan Fazha bersamaan.

Pria itu hanya menunduk, seolah tak berani menatap wajah-wajah mereka.

“Kamu ngapain?” tanya Erik dengan menampakkan wajah masamnya.

“Alvaro, 'kan? Bukannya kamu masih di penjara?!” bentak Fazha.

“Maafin gw,” lirih pria itu yang tak lain adalah Varo. Ya, Varo! Kalian ingat, 'kan?

“Salwa mencabut tuntutannya. Dan gw nyesel. Maafin gw. Kalian boleh balas dendam ke gw dengan cara apapun yang kalian mau,” ucap Varo dengan terus menunduk.

“Drama apa lagi ini?” tanya Erik dengan tersenyum smirk. Qayla langsung menyenggol pelan siku suaminya itu.

“Gw nggak drama! Gw bener-bener nyesel! Dan yang bikin gw lebih nyesel lagi, gw belom sempat mendapatkan maaf dari Azhka, yang sekarang ternyata dia udah nggak ada!” ujar Varo dengan wajah yang berderai air mata.

“Kenapa kalian nggak ngasih tau gw?!” bentak Varo.

“Afkar sama Akhtar, ayo ikut Tante. Kita tunggu di mobil, ya,” ujar Qayla lalu mengajak kedua keponakannya itu masuk ke mobil.

“Za, aku duluan,” lirih Qayla yang diangguki oleh Fazha.

“Gw nggak minta apa-apa sama kalian semua. Gw cuma minta maaf!” bentak Varo.

“Apa orang yang paling kamu sakiti udah maafin kamu?” tanya Fazha.

“Udah, kalian masih nggak percaya? Silahkan tanya aja ke Salwa!” jawab Varo.

“Ning Salwa berhati emas,” batin Fazha.

“Dan … maafin Naura …!” teriak Varo yang tangisannya semakin menjadi-jadi. Ia berlutut di hadapan Fazha.

“Telat …!” sahut Erik.

Fazha hanya bisa mematung dengan tatapan kosongnya. Ia kembali teringat akan kejahatan Naura dulu.

“Hal paling menyakitkan sebelum kepergian Gus Azhka adalah kepergian calon anakku!” ujar Fazha, jari-jemarinya terkepal erat seperti sedang menahan amarah.

“Saya maafkan, tapi luka itu bakal terus membekas dalam hati dan ingatan saya!” imbuh Fazha.

“Za! Orang jahat itu berasal dari orang baik yang tersakiti. Makanya itu gw—” ucap Varo yang terpotong.

“APANYA YANG TERSAKITI?!” bentak Fazha. Kini amarahnya benar-benar memuncak. 

“Gw lebih tersakiti dari pada lo! Banyak banget hal-hal yang bikin gw sakit, udah terlalu banyak malah! Tapi apa gw berubah jadi jahat? Enggak! Gw tetap jadi orang baik!” imbuh Fazha.

“Iya gw emang jahat, Za! Tapi apa orang jahat kaya gw nggak punya hak buat berubah jadi baik?! Izinin gw hidup tenang dengan cara kalian semua maafin gw! Gw janji bakal pergi jauh-jauh dari kehidupan kalian setelah ini! Toh lagipula gw udah nggak punya siapa-siapa! Hidup gw sebatang kara setelah kepergian Naura!” ujar Varo.

“Udah, gw nggak bakal peduli sama semua omong kosong dan drama lo itu!” jawab Fazha yang langsung melangkah pergi diikuti oleh Erik.



Fazha masuk ke mobil dan menutup pintu mobil dengan kasar.

“Rumit,” ujar Fazha seraya menyeka air matanya.

“Ini serius Ning Salwa nyabut tuntutannya?! Gimana, sih?! Kalo ternyata Varo nggak berubah gimana?” ujar Erik dengan sewot.

“Aahhh, entahlah! Kenapa masalah nggak ada selesainya, sih?!” teriak Fazha.

“Za … sabar. Jangan ngeluh di depan kedua anakmu. Kamu kuat, kamu bisa. Bersihkan hati kamu dengan cara jangan menyimpan dendam, ya. Walaupun itu ke seseorang yang udah bikin hidup kamu hancur,” lirih Qayla.

“Aku manusia bukan malaikat, Qay …! Coba kamu ngerasain jadi aku. Kalo buNuh diRi itu nggak haram, mungkin udah kulakuin dari dulu, Qay! Kenapa harus Gus Azhka yang m4ti, kenapa nggak aku aja …?!” teriak Fazha.

“Astaghfirullah!” pekik Erik yang langsung mengerem secara mendadak.

“Ning Fazha!” bentak Erik.

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang