Part 13

1K 74 0
                                    

“Gus Azhka?!” pekik Fazha yang hanya balas senyuman oleh Gusnya itu.

“Sini,” ucap Gus Azhka seraya menepuk sofa di sebelahnya, mengisyaratkan agar Fazha duduk di sampingnya.

“Be-beneran?” tanya Fazha. Ia masih tak percaya dengan apa yang berada di hadapannya saat ini.

“Iya, Humaira …,” jawab Gus Azhka. Fazha pun mulai mendekati Gus Azhka dan duduk di sampingnya.

“Gimana? Capek? Sedih banget, ya? Nggak papa, ya. Sabar dikit … lagi. Jangan merasa sendiri, ya. Tanpa kamu tau, saya selalu mengawasi kamu dan saya tau semuanya,” ucap Gus Azhka lalu memeluk istrinya itu.

Fazha tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Kini ia merasakan kembali sebuah pelukan hangat dari seseorang yang selama ini ia sangat merindukannya.

“Udah …,” bisik Gus Azhka.

“Mereka jahat!” ujar Fazha.

“Nggak papa. Masih banyak orang yang baik sama kamu,” jawab Gus Azhka.

“Kita bisa kaya dulu lagi nggak?” tanya Fazha lalu mendongakkan kepalanya, menatap lekat wajah Gus Azhka.

“Nggak sekarang,” jawab Gus Azhka yang membuat Fazha kembali lemas.

“Kamu wanita terhebat yang saya temui setelah Ummi.”

“Tapi Ummi juga jahat sama Fazha!”

“Bukan gitu. Ummi cuma salah paham sama kamu. Nanti setelah semuanya terungkap, sang tokoh utama pasti akan menang.”

Mendengar kata ‘Sang tokoh utama’ membuat Fazha kembali teringat momen bahagia di pantai pada sore itu. Semua kata-kata yang diucapkan oleh Gus Azhka mampu menyejukkan hatinya.

“Jangan terus terpuruk. Saya selalu ada. Humaira harus kuat. Bukan Fazha namanya kalo apa-apa cuma bisa nangis. Jadilah wanita keras dan bar-bar seperti dulu sebelum kamu mengenal saya. Nggak perlu terlalu halus,” lirih Gus Azhka yang mampu mengembalikan senyuman Fazha.

“Fazha ngerti!” jawab Fazha.

“Saya tunggu di syurga, ya.”

“Jangan pergi dulu, Fazha masih pengen cerita banyak sama Gus Azhka!”

“Nanti, Humaira. Kita bakal sama-sama lagi.”

“Maunya sekarang …!”



“Umma …!” Fazha membuka matanya, ia menangis histeris dan reflex memanggil Ummanya. Ternyata ia tertidur di sofa tadi malam.

“Gus Azhka mana, Ya Allah. Kenapa cuma mimpi?! Kapan mimpi ini jadi nyata …?!” teriak Fazha.

“Tidak ada obat bagi rindu kecuali pertemuan.
Lalu bagaimana caraku mengobati kerinduan dengan orang yang telah beda alam denganku? Sedangkan pertemuan tidak bisa didapatkan,” ucap Fazha dalam hati. Ia duduk dengan posisi memeluk betisnya. Ia menyandarkan kepalanya di kedua lututnya.

Fazha melihat ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 7 pagi. Ia melewatkan waktu subuh, untungnya ia sedang udzur, jadi tidak mengerjakan sholat.

“Tunggu Fazha di syurga, Gus,” ucap Fazha saat mengingat mimpinya barusan.

Kini ia benar-benar bingung harus melakukan apa. Ponsel, pakaian, bahkan uang sepeser pun ia tak punya.

“Aarrghh …. Sumpah aku nggak nyesel sama kejadian semalem! Aku nggak nyesel pergi tanpa bawa apapun!” teriak Fazha.

Tiba-tiba bel rumah berbunyi, ia pun beranjak dari sofa dan membukakan pintu, ternyata seorang kurir yang datang.

“Mba Fazha, ya? Ada paket, Mba.”

“Iya saya Fazha. Tapi perasaan saya nggak pesen barang, deh. Dan … saya juga nggak pesen makanan.”

“Kurang tau, Mba. Tapi ini alamatnya sama. Apartemen ***,  lantai 13, atas nama Al-Fazha Humaira.”

“Ya udah kalo gitu. Eumm … makasih, Mas.”

Fazha pun menerima paket itu. Satu box berisi barang, dan satunya lagi pizza, lengkap dengan minuman.

“Nggak ada nama pengirim,” gumam Fazha. Ia kembali duduk lalu membuka box tersebut.

“Ma syaa Allah … siapa ini yang ngirim,” ucap Fazha saat melihat isi box tersebut.

Terlihat sebuah abaya berwarna hijau army, lengkap dengan khimar berwarna senada. Kaos kaki, hand shock, serta beberapa perlengkapan muslimah lainnya. Selain itu, ia juga menemukan sepucuk surat di dalamnya.

“Buruan siap-siap. Bajunya di pakai, ya, shalihah. Aku tunggu di taman dekat apartemen. Oh iya, jangan lupa makanannya di makan dulu. Kamu harus pulang ke rumah orang tua kamu hari ini, dan ceritakan semua masalahmu ke mereka.”

Fazha tersenyum tipis setelah membaca isi surat tersebut. Tanpa dituliskan namanya, ia sudah tau siapa yang mengirim ini semua. Ya, pasti Varo!

“Makasih, Ya Allah. Ini pasti kehendak-Mu,” ucap Fazha dalam hati. Ia bergegas mandi dan bersiap-siap.



“Tadi Mas Erik kayanya pergi ke rumah sakit, Ris. Katanya mau nemuin Gus Azhmi. Nanti, ya, kalo Mas Erik udah pulang, kita cari Fazha lagi,” ucap Qayla.

“Yaah, Mas Riyan juga tadi pagi-pagi banget udah pergi ke rumah sakit,” jawab Risa dengan lesu.

“Kasian Reyna sama Muti, sampe nggak keurus karena dari kemaren kita sibuk banget,” ucap Qayla.

“Nanti mereka bawa ke pesantren aja, biar diasuh dulu sama Mba ndalem. Toh mereka berdua anaknya penurut,” jawab Risa.



“Ning Syafa gimana, Gus?” tanya Erik dengan wajah datarnya. Pagi itu ia nampak berbeda dari biasanya. Sikapnya pada Gus Azhmi sedikit dingin.

“Masih belom sadar, Rik,” jawab Gus Azhmi.

“Sendirian, Gus?”

“Iya. Abi sama Ummi pulang dari tadi subuh. Saya di sini cuma sama Riyan.”

“Maaf, Gus, nggak bisa nemenin.”

“Nggak papa, Rik.”

Perjalanan Al-FazhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang