Besoknya, pagi-pagi sekali. Semua orang bersiap rapi untuk pergi ke istana untuk mengadakan pertemuan, sekaligus melakukan prosesi pemakaman untuk pejuang yang telah gugur di medan perang.
"Apa kamu sudah baik-baik saja?" tanyaku pada Daniel yang sedang menyetir mobil.
"Aku sudah cukup baik."
"Benarkah?"
Ia menoleh ke arahku, "Benar. Kamu tak perlu khawatir dengan kondisiku, aku tak apa-apa."
Aku mengangguk.
"Oh ya, terima kasih untuk semua yang kamu lakukan. Aku tahu, pergerakkan pasukan dari kediaman Tuan Felix juga berkat saranmu."
"Em... aku juga tak berbuat banyak," jawabku. "Aku hanya memancing peluang saja. Selebihnya, Mayor itu dan jasamu juga yang membuat Tuan Felix bersedia."
"Benar. Mayor juga sangat berjasa kemarin. Aku tak tahu bagaimana nasib para prajurit saat kami menunggu pasukan dari istana waktu itu, jika tanpa bantuan dari mereka. Aku benar-benar takut jika pasukanku akan gugur seluruhnya saat itu."
Aku menghela napas, "Syukurlah, semuanya sudah berakhir dengan baik."
"Benar. Aku juga sangat bersyukur bahwa hari itu benar-benar ditakdirkan menjadi milik kita."
"Lalu, katakan padaku kenapa kamu sangat berani untuk pergi ke medan perang kemarin?" lanjutnya bertanya.
"Aku... hanya ingin menemuimu. Itu saja."
"Apa kamu sama sekali tak merasa takut dan mual berdiri di medan luas dengan banyak jasad dan segala bau di sana?"
"Sedikit."
"Aku juga tak terlalu fokus akan hal itu," lanjutku lagi.
"Lalu, apa yang mengambil alih fokusmu?"
Hening.
Ia tersenyum dengan pandangan yang masih tertuju pada jalanan yang ramai.
🍃🍃
KAMU SEDANG MEMBACA
A Longing
Teen FictionDia bilang, "Ketika kerinduan mulai menerpa, saat ia kian menyesakkan dada. Kamu hanya perlu menutup mata, menenangkan diri walau sekejap. Percaya, bahwa kabar baik pasti akan datang. Ya... sebuah pertemuan yang akan menebus semua lara. Ia pasti aka...