19. Konferensi Pers

80 32 0
                                    

Pagi sekali sebelum matahari terbit, aku telah rapi untuk menyambut hari baru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi sekali sebelum matahari terbit, aku telah rapi untuk menyambut hari baru. Bukan bangun dari tidurku yang sangat awal, tapi jujur saja, semalaman ini aku justru terjaga hingga pagi.

Tadi malam, Viani memang menemaniku. Tapi aku hanya berpura-pura tidur dalam beberapa waktu. Setelah memastikan bahwa dia benar-benar sudah terlelap, aku meminjam laptopnya untuk mencari informasi yang semakin menggunung menjadi beban di pikiranku.

Ya, aku menghabiskan waktu semalaman dengan terus mencari tahu tentang kondisiku, tentang mimpi itu, juga tentang peluang kemiripan seseorang. Tapi rupanya, usaha semalaman itu benar-benar tidak menghasilkan jawaban yang memuaskan untukku. Informasi-informasi itu tidak bisa menjawab segudang pertanyaan dalam benakku.

Mungkin, hanya satu jawaban yang setidaknya berhasil membuatku tenang untuk sementara waktu. 'Bahwa sebuah kemungkinan besar seseorang bisa sangat mirip. Karena katanya, seorang manusia mempunyai kembarannya setidaknya tujuh orang di dunia ini.'

Entahlah, mungkin mereka benar-benar sepasang kembaran itu. Yang jika memang benar, itu artinya mimpi yang kualami masih bisa dipertanyakan kebenarannya. Atau mungkin jika ternyata mimpi yang kualami selama ini memanglah sebuah mimpi di selang kondisi koma yang tidak ada artinya. Maka, lelaki itulah yang menjadi pertanyaan besar. 'Mengapa dia bisa serupa dengan seseorang yang ada dalam mimpiku?'

Aku benar-benar kalut saat ini. Di saat aku berusaha merelakan semua yang telah terjadi, lelaki itu justru hadir. Kemudian ia mematahkan harapanku lagi dengan mengatakan bahwa dia bukanlah orang yang kucintai selama ini.

'Lalu bagaimana aku bisa bertahan di hari-hari yang akan kulewati?'

~~
🍃🍃


Viani datang dengan membawa beberapa roti dan juga susu dalam nampan. Ia menaruhnya di atas meja dan terduduk di sebelahku.

"Ayo makan, habiskan juga susumu."

"Terima kasih," aku pun mengambil sepotong roti.

"Kamu kelihatan lesu sekali. Cepat habiskan sarapan ini agar kembali sehat. Jangan sampai Dokter justru mengundurkan jadwal kepulanganmu."

'Ah, benar juga. Aku tidak mau terus berada di sini.'

Tok..tok..

Seorang suster masuk ke dalam kamar, "Permisi, saya akan mengecek kondisi pasien dulu. Agar Dokter bisa memutuskan apakah nona Ziva bisa pulang hari ini atau tidak," ujarnya.

"Oh baik, silahkan," Viani mempersilahkan suster itu duduk di sampingku. Setelah mengecek suhu tubuh dan menyuntik tanganku, suster itu pergi.

A LongingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang