15. Di Ambang Kematian

79 40 0
                                    

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hhh!!! Hhhh!!" aku merintih, sesak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hhh!!! Hhhh!!" aku merintih, sesak. Semuanya terasa hampa di sini.

Aku mulai membuka mata dan mendapati diriku berada dalam sebuah ruangan bercat hitam, pekat. Entah di mana ini.

Dadaku terasa perih, tapi bukan karena bekas peluru tadi. Melainkan seperti rasa pilu yang kian menggebu.

Aku bangkit walau tergopoh-gopoh. Berusaha mencari jalan keluar dari ruangan yang gelap ini. Namun tak peduli seberapa kerasnya aku berusaha mencari, aku tetap tak bisa menemukan jalan keluar, hanya ada kegelapan di sini.

Semuanya buntu.

Aku menyadarinya, 'Apakah semua ini adalah alam bawah sadarku?'

Perlahan, aku mulai terisak. Rasanya lelah sekali. Aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku.

"Aarkhhh!!!"  jeritan keputusasaanku menggema dalam ruangan ini. Terdengar memantul kembali untuk menemaniku yang tak berdaya dalam keheningan.

Sampai kemudian, samar-samar aku melihat Mama yang muncul dari kegelapan beriringan dengan siratan cahaya yang ikut menemaninya.

"Mama??"

Ia tersenyum penuh makna.

Aku lantas memeluknya, "Kumohon jangan tinggalkan aku! Aku sangat takut di sini."

"Kamu tahu? Semua takdir itu selalu baik," Mama berusaha melepas rangkulannya, lalu ia memegang kedua bahuku untuk menguatkanku. "Mama tahu, kamu pasti bisa."

Secara bersamaan, Papa muncul dari sisi yang lain.

Aku lalu menatap mereka, dan mulai menyadarinya. 'Ya, ini semua adalah ilusi!!!"

"Tidak! Aku membutuhkan kalian! Aku benar-benar tidak bisa!!!" pekikku, dengan air mata yang perlahan mengalir, "AKU TAK BISA!"

"Tolong biarkan aku untuk mempertahankan kalian! Kali ini saja... aku mohon..."

"Hiks..."

Beberapa saat kami terdiam. Hanya isakkan dariku yang terdengar di antara kami.

"Relakan kami," suara rendah Papa yang menggema membuat bulu kudukku semakin berdiri.

"Kita semua pasti akan berkumpul kembali. Tapi bukan saat ini..." lanjutnya lagi.

Napasku tersendat, "Tidak, Pa! Bahkan jika semua ini memanglah sebuah ilusi, aku bersedia untuk terjebak di sini selamanya!!!"

Mereka memelukku, dan memberi sebuah kecupan di keningku, "Ini bukan waktumu sayang." Tanpa berkata banyak, mereka mulai berjalan menjauh, tenggelam dalam kegelapan. Meninggalkanku seorang diri di tengah kebingungan ini.

Entah kenapa tanganku benar-benar tak bisa menggapai mereka. Kurasa seperti ada sebuah pembatas yang menghalangiku agar tidak melangkah lebih jauh lagi.

"Aarghh!!!"

"Hikss... hikss..."

Aku menangis sejadi-jadinya, aku tak kuat menahan derita ini lagi! Aku tak bisa!!

Lalu beberapa saat, di sela tangisku terdengar kembali derap sepatu yang tak asing.

'Daniel?!'

Ia berdiri tepat di hadapanku. Masih seperti biasanya. Dengan setelan jas formal berwarna navy yang membungkus tubuh itu.

Tangannya menyentuh wajahku, menyeka air mata yang sudah tak terkendali dari pelupuk mataku. Aku tertunduk pasrah.

"Kadangkala takdir memang cukup menyakitkan. Ia menoreh luka bagi orang yang ditujunya," ucapnya. "Tapi apa kamu tahu? Justru terkadang, luka itu juga lebih berharga."

"Semesta ini tak kekal. Semua akan kembali sirna pada akhirnya. Tak semestinya kamu menahan sebuah kepergian itu, yang lambat laun berubah menjadi derita yang tak kunjung sudah dalam hatimu. Tenangkan dirimu, relakan semua takdir yang telah terjadi, dan tetaplah bertahan dalam menunggu kabar baik itu."

"Sebuah pertemuan, yang kelak akan menggembirakanmu," lanjutnya lagi.

Aku hanya terdiam dengan isakkan.

"Tetaplah kuat." Ia menyiratkan senyum manis itu lagi untuk yang terakhir kalinya.

Aku tak bisa berkata apapun lagi saat ini. Tapi mungkin benar, aku hanya harus menenangkan diri dan merelakan semuanya, 'Kita tak bisa mengatur Takdir 'kan?'

"Terima kasih...kamu benar-benar telah menghadirkan ketenangan untukku selama ini," ucapku di tengah isakkan yang perlahan mereda.

Ia tersenyum, lalu berjalan ke arah belakangku.

Aku berbalik dan menatapnya yang pergi menjauh. Aku mulai mengikuti sarannya dan menenangkan diri lagi. Sampai tak lama, aku melihat ada setitik cahaya yang perlahan mendekatiku.

Dengan kesadaran penuh, aku memutuskan untuk memejamkan kedua mataku. Untuk yang kesekian kalinya.

*****

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Siap-siap guys!

A LongingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang