20. Upaya Menghindar

62 23 0
                                    

Aku menaiki tangga apartemen di lantai atas, menuju ruang favoritku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menaiki tangga apartemen di lantai atas, menuju ruang favoritku. Tempat sejuta inspirasiku bersemi, dan tempat ternyaman untuk bernaung dalam kesendirianku.

Cklek!

Mataku menyapu setiap sudut dari ruangan yang bernuansa elegan ini. Aku sengaja membeli ruangan ini untuk sekedar menjadi ruang keduaku untuk melepas penat. Bisa dibilang ini adalah gudang, tapi aku sudah mengubahnya menjadi tempat menulisku.

Jujur saja, daripada pergi ke tempat lain untuk menulis, aku justru merasa lebih nyaman berada di ruangan ini. Sendiri, berbaur bersama jutaan imajinasiku yang terbang ke langit-langit ruangan ini.

Aku terduduk di kursi dan jemariku menyisir semua buku-buku yang berjajar di atas meja. Lalu sesaat, aku terpikirkan ide itu. 'Tak ada salahnya aku melukis wajahnya bukan?'

Daniel, apapun kebenaran tentangmu, aku tidak akan membuatmu hilang dalam ingatanku.

Setelah menghabiskan beberapa waktu, aku merasa sedikit bosan juga. Sketsa wajah ini belum selesai, bahkan setengahnya. Aku meraih ponselku dan melihat potret bersama dengan orang-orang studio, dan aku merindukan masa-masa bersama mereka itu.

'Ataukah aku pergi ke kantor saja?' pikirku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

'Ataukah aku pergi ke kantor saja?' pikirku.

Aku pun segera meraih notebook tadi dan menuju ke apartemenku untuk segera bersiap.

"Ziva? Aku berangkat dulu ya," Viani muncul di balik pintu kamarku.

"Eh tunggu!" sergahku.

"Iya?" Ia melangkah masuk.

"Tunggu aku, aku akan pergi ke kantor juga."

"Kamu yakin?"

Aku mengangguk, "Aku sudah baik. Lagipula, aku merasa bosan jika harus di rumah sendiri."

"Oh baik. Tapi kamu harus jaga diri, ya? Tak usah banyak bekerja. Cukup diam saja. Aku yakin Pak sutradara dan yang lainnya pasti akan mengerti."

"Iya. Aku akan bersiap dulu."

"Oke."

🍁🍁

Setibanya di studio, aku sengaja tetap menitipkan kunci mobilku pada Viani. Bagaimanapun, dia lebih pasti untuk memakainya saat pulang. Karena untuk saat ini, aku masih merasa takut untuk mengemudi sendiri. Mungkin kami bisa pulang bersama lagi, atau jika tidak, aku bisa memesan taksi saja. Intinya, Viani lebih pantas memegang kunci itu.

A LongingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang