Terhitung hampir satu minggu sejak kepergian Revian, aku masih kalang kabut. tapi aku tetap berusaha mengontrol diri. Hari ini, setelah menepati janjiku untuk selalu datang ke pemakaman, aku lantas mengendarai mobil dan segera pergi menuju ke kantor.Aku akan memulai semuanya lagi. Seperti sebagaimana seharusnya. Hari ini aku kembali datang ke kantor untuk melanjutkan kisahku, walaupun hanya tinggal tersisa separuh, aku juga masih harus melanjutkannya. Karna aku percaya, Revian juga tidak mau jika kisah ini berakhir sebelum waktunya tiba.
Aku masih harus berjuang.
Dan benar, ‘Saat kita pergi, semua orang hanya akan bersedih di beberapa hari saja. Setelah itu semuanya akan kembali normal seperti semula. Lambat laun mereka hanya akan mengingat sebuah nama yang pernah hadir dalam kisah mereka. Dan pada akhirnya, nama itu akan terlupakan seiring berjalannya waktu.’
Aku menatapi cincin berlian yang masih melingkar di jari manisku, ‘Tapi itu tak akan berlaku bagiku. Karena dalam kisahku, kamu adalah tokoh utama pria-nya.’
Aku turun dari mobil. Viani tidak datang bersamaku, karena dia harus mengerjakan tugasnya di tempat lain hari ini.
Selagi berjalan, aku disambut oleh pemandangan itu lagi. Kupikir mereka juga sudah berada di sana sejak hari pertama. Rangkaian bunga yang berjajar hampir memenuhi halaman perusahaan. Hiasan bunga yang indah, tetapi tulisannya mempunyai makna yang lebih suram. Sebuah ucapan belasungkawa untuk seseorang.
Untuk rekan kerja kami.
Untuk kekasihku.
🌱🌱
Setibanya di Departemen, aku tetap berusaha memakai topeng itu, jangan sampai aku membebani yang lainnya di sini. Jangan sampai suasana Departemen ikut terpuruk seperti apa yang sedang kurasakan.Aku terduduk di meja kerjaku dan merapikan barang-barang.
“Ziva, kamu mau breakfast? Aku membawa beberapa kue,” rayu stevi.
“Oh, tak usah. Aku sudah sarapan,” jawabku tersenyum.
“Oh.. baik,” Stevi pergi dengan langkah berat.
“Ziva, mau kubantu untuk revisi naskahmu? Aku kebetulan sedang leluasa,” Oliv ikut mendekat.
“Terima kasih, tapi itu hampir selesai. Aku bisa melakukannya,” kataku.
“Tak apa, Ziva. Berikan saja tugas itu padanya. Lagipula Oliv sedang tak banyak dokumen hari ini,” timpal Erik dari kursinya.
Aku menyadarinya, sebenarnya mereka hanya sedang berusaha menghiburku saja. Tapi aku justru merasa sangat tidak enak jika harus seperti ini. Sampai kemudian aku mendapati Pak sutradara yang mengawasi kami dari ambang pintu ruangannya.
Ia mendekat, “Sudah kalian jangan mengganggunya, jangan sampai dia merasa tak nyaman.”
“Oh, iya maaf kalau begitu. Ziva, kalau butuh sesuatu katakan saja, ya?” pinta Stevi.
Aku mengangguk, “Terima kasih.” Mereka semua kembali ke meja masing-masing.
“Ziva, mau bicara denganku sebentar?” tanya Pak sutradara.
“Oh tentu.”
Pak sutradara mengajakku masuk ke dalam ruang kerjanya. Kami terduduk berhadapan di meja kerjanya seperti seorang atasan dan karyawan yang akan membahas pekerjaan. Tapi, kami tidak akan membahas hal itu.
“Jadi... apa kepala produser atau istrinya sudah mengabarimu tentang perkembangan kasus ini?”
Aku menggeleng, “Belum.”
Ia mengangguk, “Mereka sedang mengusut tuntas dulu kasusnya. Mereka masih berkabung, dan pasti istri kepala produser juga masih butuh waktu untuk sendiri.”
‘Benar, Mama juga belum mengirim pesan apapun padaku sejak hari pemakaman. Mungkin dia juga memang butuh waktu untuk menenangkan diri. Dia telah kehilangan putranya yang sangat ia sayangi. Kuharap, mama baik-baik saja.’
“Jika ada yang tak kuketahui, tolong beritahu aku, Pak,” pintaku.
“Benar, kamu sudah pasti harus tahu.”
“Menurut beberapa sumber yang melapor, dan otoriter, tersangka dari aksi bom bunuh diri itu ternyata adalah orang asing. Dia memang teroris, yang sedang menjadi buronan dalam sepekan ini. Aksi itu juga murni bom bunuh diri. Bukan bom yang dikendalikan dari jarak jauh.”
Aku menarik napas berat.
“Tentu... akan lebih sulit untuk mencari pertanggungjawaban dari kasus ini, karena ini aksi bom bunuh diri” lanjutnya dengan intonasi lebih pelan dari sebelumnya.
“Aku tahu, Pak. Tapi maksudku, kenapa sampai seperti ini?...” ucapku lirih.
‘JIKA INGIN MENGAKHIRI HIDUP, KENAPA HARUS MENGAJAK ORANG LAIN?!’ umpatku dalam hati.
“Kenapa Revian ikut terlibat...” lanjutku lagi.
Pak sutradara menghela napas dan mendekat, ia memegang bahuku, “Aksi bom bunuh diri memang seperti itu. Apalagi seorang teroris... mereka memang bukanlah manusia,” makinya.
“Mungkin setelah kasus ini tuntas, organisasi atau orang yang terlibat akan menerima hukuman dan membayarnya. Kamu tahu? Bahkan hampir 23 orang yang meninggal karena aksi bom bunuh diri itu. Belum lagi yang luka-luka.”
“Aku tak bisa memikirkan hal yang lainnya... Aku hanya bisa fokus pada Revian. Kekasihku meninggal karena tragedi itu, Pak! Hanya dia satu-satunya yang kupunya!” tekanku sembari menahan tangis.
“Iya-iya... aku mengerti.”
Pak sutradara hanya bisa terdiam, dia pasti tahu betapa sesaknya aku saat ini. Pak sutradara juga sudah menjadi orang terdekatku selama ini, dia tahu bagaimana kondisiku. Dia selalu memperhatikanku dengan baik.
“Tenangkan dirimu,” bujuknya sambil menepuk pundakku.
“Aku tahu ini semua sangat berat untukmu. Aku kenal dengan baik dirimu, Ziva,” lanjutnya lagi.
Aku menutup wajahku sambil menahan tangis, tapi isakkanku tetap tak bisa kukendalikan.
‘Aku butuh pelukan itu saat ini... Aku membutuhkanmu, Revian.’
*****
Stay tune guys.. bakal banyak kejutan di detik² akhir
And Jangan lupa klik vote & komen ya♡
KAMU SEDANG MEMBACA
A Longing
Teen FictionDia bilang, "Ketika kerinduan mulai menerpa, saat ia kian menyesakkan dada. Kamu hanya perlu menutup mata, menenangkan diri walau sekejap. Percaya, bahwa kabar baik pasti akan datang. Ya... sebuah pertemuan yang akan menebus semua lara. Ia pasti aka...