031. When will I die?

1.8K 244 16
                                    

"Makasih Kak, karena Kak Lin, aku jadi bisa ketemu Ayah sama Ibu lagi"

"Sekala?"

"Jangan berantem lagi ya, aku titip Kak Bel"

Halilintar terbangun dari tidurnya dan ternyata sekarang dia tengah duduk di meja belajarnya, hari pun sudah berganti menjadi pagi.

Halilintar mengurut pundaknya yang terasa pegal karena posisi tidurnya, lalu dia beranjak dari duduknya dan menyambar handuk yang tergantung dibalik pintu.

Dia harus segera mandi dan segera kerumah sakit untuk menemani Taufan, karena Gempa harus sekolah sedangkan Aurora, katanya wanita itu akan menjemput temannya di bandara hari ini jadi dia tidak bisa menemani Taufan.

Halilintar membuka pintu kamarnya lalu melangkah pergi untuk melakukan ritual paginya, yaitu mandi.

Halilintar menyimpan handuknya, namun sebelum memulai mandinya dia lebih dulu bercermin lalu melepaskan plester di dahinya, dan terlihatlah sebuah luka yang didapatkan Halilintar saat disuruh meminta maaf pada Beliung tempo hari.

Lukanya sudah kering namun masih sedikit sakit jika ditekan.

"Gue matinya kapan ya?".


𓏲ּ ֶָ

Dan sekarang Halilintar sedang berada di rumah sakit, menemani Taufan yang sedang memakan bubur tanpa niat, bahkan sejak tadi bubur putih itu hanya diaduk–aduk saja.

Halilintar yang melihat itu pun langsung mengambil alih mangkok bubur lalu mulai menyendokan sesendok bubur dan diarahkannya pada mulut Taufan yang tertutup rapat.

"Makan!" titah Halilintar dan dibalas gelengan oleh Taufan, "makan Taufan!".

"Gak mau Lin!".

Halilintar menghela napas lelah lalu menyimpan mangkok bubur keatas nakas, "gue tau apa yang lo rasain ketika makan bubur khas rumah sakit" ucap Halilintar.

Taufan menoleh, "lo pernah sakit sampe dirawat dirumah sakit Lin?" tanya Taufan sambil menatap Halilintar.

"Shit".

"Alin" panggil Taufan, "Mama kemana ya? Kenapa sejak tadi malam gue gak liat Mama?" tanya Taufan lagi.

Daripada menjawab pertanyaan Taufan, Halilintar lebih memilih untuk menelungkupkan kepalanya dengan tangan yang dijadikan bantalan di atas bangsal rumah sakit yang digunakan Taufan.

"Alin!".

Halilintar tetap diam tak mengindahkan rengekan Taufan, hingga berakhir Taufan menjitak kepala Halilintar dan membuat Halilintar mengaduh kesakitan.

"Apa–apaan sih?" ketus Halilintar sambil menatap Taufan kesal.

"Jawab pertanyaan gue, Mama kemana?!"

"Ya mana gue tau".

Taufan mendengus kemudian dia merubah posisinya menjadi terbaring lalu tatapannya tak sengaja melihat darah keluar dari sudut bibir Halilintar.

"Lin?" tanya Taufan, namun bukannya menjawab pertanyaan Taufan, Halilintar malah bergegas pergi ke toilet sambil membekap mulutnya.

"Lo mau kemana woi?!" seru Taufan.

Dan sementara itu Halilintar tengah terduduk lemas di lantai dingin toilet, dengan baju yang dilumuri oleh darah.

Halilintar terbatuk hingga beberapa detik kemudian dia kembali memuntahkan darah dari mulutnya, sekarang napasnya mulai sesak, dadanya terasa sakit hingga rasanya seakan dihujami ribuan anak pedang.

"Shh..."

Halilintar mencoba berdiri dengan berpegangan pada watafel, tangannya yang gemetar mengusap darah tim yang berada dibibirnya namun lagi–lagi darah keluar dari mulut Halilintar membuat tangan pemuda itu merah terkena noda darah.

Tubuhnya lemas sekarang hingga membuatnya jatuh terduduk dilantai dingin toilet, napasnya tersengal–sengal.

"Akh... Sa–kit".

Halilintar memejamkan matanya menahan rasa sakit yang kian menjadi, sekarang bernapas pun sulit untuknya karena pasokan oksigen seolah sedang berbodong–bondong berlari menjauhinya.

Dengan pelan dia menyandarkan punggungnya pada pada dinding, tangan kanannya meremas dadanya kuat, dan perlahan air matanya meluncur membasahi pipi pucatnya.

"Pa–pa... Lintar, sa–kit".


𓏲ּ ֶָ

Taufan menatap pintu toilet yang sejak tadi tertutup, hingga membuat perasaannya dilanda kekhawatiran karena Halilintar belum keluar juga dari toilet, padahal sekarang sudah menit ke 15.

Taufan merangkak untuk turun dari atas ranjang lalu setelah menapakan kakinya dilantai dia mengambil tiang infus lalu berjalan kearah toilet dengan sedikit terseok karena masih merasa pusing.

"Lin" panggil Taufan pelan, tapi sampai beberapa saat kemudian Taufan tak mendapatkan sahutan dari Halilintar.

"Lo baik didalam?" tanya Taufan, dan masih tidak ada jawaban dari Halilintar.

"Lin jawab, jangan bikin gue khawatir!" seru Taufan, lalu Taufan memegang knop pintu dan ternyata tidak terkunci, dan tanpa menunggu lama lagi Taufan segera masuk kedalam toilet.

Mata Taufan membulat sempurna saat melihat kondisi Halilintar jauh dari kata baik–baik saja, tubuh pemuda itu terkulai lemas dilantai dingin toilet, bajunya juga dipenuhi oleh darah.

"Lin?" panggil Taufan sambil berjongkok untuk menyamai tinggi tubuhnya dengan Halilintar, "lo kenapa?" tanya Taufan.

Halilintar membuka matanya lalu menatap sayu Taufan, "per–gi! Jangan li–at gue sekarang!" usir Halilintar dengan suara pelan, hingga kemudian tenggorokannya tercekat lalu dia kembali memuntahkan darah.

Melihat itu Taufan mematung, menatap wajah Halilintar yang tampak pucat asi seolah tak memiliki darah, ini bukan pertama kalinya Taufan melihat Halilintar seperti ini, melainkan kali kedua.

"Lin–".

"Pergi Taufan... gu–e gak su–ka..." Halilintar tak sanggup melanjutkan ucapannya lagi karena dadanya semakin terasa sesak.

"Halilintar!".

"Pergi!" sentak Halilintar karena Taufan masih tak kunjung pergi juga.

Gue gak mau mati di depan lo Fan

—૮꒰˵• ﻌ •˵꒱ა—



[✔] 1. HIS LAST STOP Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang