20.Kagami Hiiro 皿.

89 8 0
                                    

Malam hari yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Langit yang luas terlihat polos dan bersih tanpa hiasan maupun setitik cahaya apapun yang menjadi penerang angkasa, bintang-bintang maupun bulan seakan enggan untuk menampakkan diri sehingga membuat suasana malam lebih gelap.

Di salah satu rumah terdapat seorang anak kecil kisaran umur 7 tahunan tengah mendongak menatap langit yang tengah gelap karena sudah malam, dinginnya malam seakan menyuruhnya untuk segera pergi tidur diatas ranjang dengan selimut tebal yang hangat.

Anak kecil itu bernama Hiiro, Kagami Hiiro lebih tepatnya.

Neneknya pernah bilang dulu ketika Hiiro berumur 4 tahun, ayah dan ibunya sangat menyayanginya namun setelah terjadinya kejadian yang tidak diinginkan yang menyebabkan pandangan dan sikap mereka pada Hiiro menjadi berubah 180 derajat.

Mata itu yang dulunya selalu memandang Hiiro dengan tatapan hangat dan kasih sayang kini telah berubah menjadi tatapan dingin dan tersirat kebencian yang memancar dari dua pasang mata tersebut.

Mereka menyalakan Hiiro.

Menurut mereka Hiiro merupakan sumber kesialan yang menyebabkan kejadian itu terjadi.

Hiiro tidak bisa masuk kedalam rumah karena pintu telah terkunci dari dalam.

Salahnya juga karena telah menjatuhkan piring hingga pecah berkeping-keping saat dirinya tengah mencucinya di wastafel.

Membuat sang ibu marah dan menghukumnya.

Dia dilarang masuk rumah untuk mengajarinya untuk introspeksi diri.

Tubuh kecilnya menggigil. Hiiro ingin menangis namun air matanya telah kering, matanya juga terasa perih karena sedari siang dirinya terus menangis dan berteriak meminta maaf tapi sayangnya sang ibu seakan-akan tuli dengan semua teriakan dan tangisannya.

Hari telah menjelang pagi.

Hiiro masih tertidur di lantai dengan posisi meringkuk. Sejak tadi malam ia kedinginan namun tidak ada apapun yang bisa menghangatkan tubuh kecilnya. Anak kecil itu diseret keluar hanya mengenakan pakaian yang jauh dari kata hangat jadi dia hanya tertidur dengan ditemani hawa dingin yang seakan menusuk ke seluruh tulang-tulangnya.

Byurr!!.

Hiiro terduduk tegak. Badannya basah kuyup, ia juga terbatuk-batuk karena hidungnya kemasukan air. Tubuhnya menggigil biar bagaimanapun ini masih pagi dan udara masihlah sangat dingin dan ia disiram air yang terasa seperti air es.

"Jangan malas, cepat bangun dan buatkan kami makan." Nada suara wanita itu terdengar dingin lalu berlalu begitu saja tanpa perduli jika sang anak akan mengalami demam setelah melewati malam yang sangat dingin di luar rumah.

"I-iya Kaa-san."

Hiiro langsung pergi ke dapur tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu karena dia tahu ibunya pasti sudah sangat lapar dan ia tidak ingin ibunya menuggu lebih lama lagi.

Anak manis itu memasak untuk kedua orang tuanya makan.

Ia hanya memasak menu sederhana saja. Sesekali jari mungilnya terkena irisan pisau yang tajam, terasa pedih namun dirinya sudah terbiasa. Ia hanya mengisap jarinya hingga darah yang keluar berhenti lalu melanjutkan masakannya.

Dalam beberapa menit masakannya telah selesai dan telah ia sajikan di meja makan.

Ayah dan ibunya sudah menunggunya di meja makan, kedua orang dewasa tersebut makan tanpa berkomentar. Setelah keduanya selesai makan mereka juga pergi tanpa bicara apapun bahkan hanya sekedar memuji masakannya.

Hiiro tidak ikutan makan karena dia tahu jika dia melakukannya ayah dan ibunya akan semakin membencinya.

Hiiro dan Emma kecil belajar memasak bersama, mereka belajar dari buku maupun video yang mereka tonton dari internet mengunakan handphone milik ibu Emma yang Emma ambil secara diam-diam.

Mivuldahapav! (Hĭatuš)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang