Vito menatap ke arah display pada minimarket dan berusaha mencari apa yang tadi Denis pesan kepadanya. Malam itu rencananya mereka akan berkumpul di halaman antara rumah Denis dan rumah Kiki. Sudah agak lama mereka tidak berkumpul bersama, karena masing-masing dari mereka sudah bekerja serta punya kesibukan masing-masing. Tapi hari itu karena mereka sedang memiliki topik pembicaraan hangat, yaitu Dita, sehingga mereka akhirnya memutuskan untuk berkumpul seperti dulu lagi.
"Sabar, Riris Sayang. Aku masih cari keperluan untuk mengisi kulkas di rumah. Kamu kalau memang udah mau jalan menuju rumahku, ya jalan aja. Toh kamu 'kan jalannya sama-sama dengan Fandi, bukan sendirian," ujar Dita, melalui telepon.Vito jelas mengenali suara Dita yang sama sekali tidak berubah sejak masih SMP. Ia menoleh dan benar-benar mendapati sosok Dita di minimarket yang sama dengannya saat itu. Vito bergegas mengeluarkan ponselnya dan mengadakan video call bersama dengan ketiga sahabatnya yang lain. Ia ingin memperlihatkan sosok siapa yang dijumpainya saat itu.
"Eh ... itu Dita, Vit? Itu Dita, 'kan?" tanya Kiki, tampak bersemangat.
"Iyalah! Siapa lagi coba yang cantiknya natural begitu, kalau bukan Dita?" balas Vito, berbisik.
Vito mengikuti langkah Dita pelan-pelan agar tak ketahuan. Tak lupa ia memakai masker agar wajahnya tidak terlihat oleh wanita itu. Dita tampak sedang memilih tepung dan juga bumbu-bumbu bubuk. Ponselnya masih tersambung dengan telepon kepada Riris, hanya saja Dita memakai earbuds sehingga tak merasa kerepotan.
"Aku sebentar lagi selesai belanja, Ris. Semua kebutuhan kulkasku sudah komplit. Kamu mau dibelikan cemilan atau enggak? Kalau mau bilang, ya. Biar nanti di rumahku kamu enggak perlu main kungfu, akrobat, kayang, dan lain sebagainya. Aku lagi dalam mode capek banget hari ini. Jadi aku hanya ingin melihat kamu duduk manis di sofa sambil minum es teh dan ngemil," Dita tampak baru saja memberi peringatan kepada Riris.
Vito memperhatikannya sambil terus mengikuti pelan-pelan. Tangan Dita tampak meraih keripik tempe, keripik singkong, dan keripik ubi ungu dari display di minimarket itu. Seno, Denis, dan Kiki masih memperhatikannya melalui video call yang Vito lakukan.
"Aku baru tahu loh, kalau Dita ternyata bisa ngelawak," ujar Vito, masih berbisik-bisik.
"Ah, dulu perasaan dia kaku banget. Enggak ada tuh ciri-ciri kalau dia ternyata bisa ngelawak," ujar Kiki.
"Iyalah, kamu enggak tahu. Dulu kamu pacarannya sama Dita, perhatiannya malah sama Intan. Eh ... berujung selingkuh," sindir Denis, blak-blakan.
"Enggak usah ngungkit masa lalu, deh! Jangan bikin aku kesal!" geram Kiki.
"Enggak usah berantem! Kalian udah tua!" tegur Seno, yang sebenarnya sejak tadi hanya terpaku pada sosok Dita yang terlihat pada layar ponselnya.
Dita benar-benar terlihat jadi jauh berbeda dengan Dita yang ia kenal di SMP, dulu. Benar kata Kiki, kalau dulu Dita memang terkesan kaku. Sekarang tampaknya wanita itu sudah tidak lagi pernah menunjukkan dirinya yang kaku, dan kepribadiannya menjadi jauh lebih terbuka. Namun satu hal yang masih saja sama seperti dulu dari diri Dita, yaitu kesederhanaannya. Dita tidak pernah tampil berlebihan dan hal itu benar-benar bertahan sampai sekarang. Bagi Seno, itu adalah nilai plus untuk Dita dari semua hal yang bisa Seno nilai.
Vito akan menuju ke kasir. Dita ternyata ada di sampingnya dan ikut mengantri. Sebisa mungkin ia berusaha agar ponselnya tidak terlihat sedang terarah pada wanita itu.
"Totalnya sembilan puluh enam ribu tujuh ratus rupiah, Kak."
Vito membuka dompetnya dan melihat kalau uang tunai yang ia bawa ternyata kurang. Ia mencari-cari di mana kartu ATMnya, namun ternyata ia lupa membawanya.
"Aduh, maaf Mbak, belanjaan saya bisa dikurangi? Uang yang saya bawa kurang," pinta Vito.
"Aduh maaf, Kak. Tapi ini sudah terlanjur discan dan ditotalkan, jadi tidak bisa dibatalkan lagi."
"Tapi uang saya kurang sepuluh ribu, Mbak, dan saya sedang tidak membawa kartu ATM," Vito kembali memohon agar belanjaannya bisa dikurangi.
"Sayangnya tidak bisa, Kak. Ini sudah discan dan sudah ditotalkan. Seandainya pembatalannya diminta sebelum ditotalkan, itu masih bisa."
"Tapi, Mbak ...."
"Berapa kurangnya, Kak?" tanya Dita, memotong ucapan Vito secara tiba-tiba.
Vito pun menoleh ke arah wanita itu dengan perasaan terkejut. Begitu pula dengan Seno, Kiki, dan Denis yang masih mendengarkan melalui video call. Mereka ikut kaget karena mendadak mendengar suara Dita di samping Vito.
"Nanti biar aku yang tambahkan uangnya Kakak. Sistem di minimarket memang tidak bisa dibatalkan, jika belanjaannya sudah ditotal. Kasihan Mbaknya, nanti dia jadi ditegur oleh Manager di sini karena dianggap lalai dan tidak bertanya dulu pada pelanggan. Sebutkan berapa kurangnya uang Kakak, biar aku tambahkan agar permasalahannya selesai," jelas Dita, agar Vito paham dengan situasi serba salah itu.
"Uhm ... ku--kurang sepuluh ribu," ujar Vito, terbata-bata.
Dita pun mengeluarkan uang sepuluh ribu dari dompetnya, lalu memberikannya pada Vito. Vito pun segera membayar belanjaannya, lalu keluar dari minimarket itu dan menunggu Dita di luar. Saat Dita akhirnya keluar, Vito segera menghadang langkahnya.
"Hei, terima kasih atas bantuannya tadi," ucap Vito.
"Oh, iya Kak. Sama-sama," balas Dita dengan ramah, dan kemudian segera ingin beranjak menuju ke motornya.
"Itu ... bisa minta nomor rekening atau nomor aplikasi OVO? Aku berniat ingin mengganti uang kamu," ujar Vito.
"Enggak perlu, Kak. Aku ikhlas kok bantuin Kakak. Lupakan aja. Mari Kak, aku duluan," pamit Dita.
Vito tidak punya alasan lagi untuk menahan Dita lebih lama. Ia bahkan tidak punya keberanian untuk membuka maskernya agar Dita tahu, bahwa ia adalah teman lama wanita itu di SMP. Dita benar-benar pergi menaiki motornya dan menuju ke arah Desa Sukamanah. Vito segera menaiki mobilnya dan mengejar laju motor wanita itu.
"Vito ... Vito ... bisa-bisanya juga kamu pergi belanja tapi enggak bawa kartu ATM," gemas Denis.
"Udah, enggak usah ngomel. Jantungku ini dag-dig-dug waktu dia bicara di sampingku dan memberi bantuan. Kaget aku dengan sikapnya itu. Dia benar-benar enggak berubah sama sekali. Masih sama persis seperti yang dulu," ungkap Vito, seraya menjaga jarak antara mobilnya dan motor milik Dita.
Dalam hati, Seno membenarkan pendapat Vito saat itu tentang Dita. Dita benar-benar tidak berubah dan masih sangat baik hati seperti yang mereka kenal di SMP. Motor milik Dita berbelok ke kontrakan Permata Cemerlang. Mobil yang Vito kemudikan berhenti perlahan di depan gerbang kontrakan itu, dan Vito pun mengarahkan ponselnya yang masih terhubung dengan video call ke arah jalan masuk motor Dita tadi.
"Jadi gimana, nih? Ada yang mau silaturahmi ke rumahnya Dita, enggak?" tanya Vito.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] Memutuskan untuk pindah ke rumah kontrakan baru ternyata tidak berjalan lancar bagi kehidupan Dita. Rencana awalnya, ia ingin pindah agar pekerjaannya lancar karena rumah berdekatan dengan tempat kerja. Namun nyatanya rencana itu justru...