EPILOG

1.4K 94 3
                                    

SATU SETENGAH TAHUN KEMUDIAN ...

Mobil yang Seno kemudikan baru saja berbelok ke jalan Desa Sukamanah malam itu. Dita ada di kursi sampingnya dan sedang menggendong anak mereka yang baru saja lahir dua hari lalu. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit yang menjadi tempat Dita bersalin. Di belakang mereka ada beberapa mobil yang mengikuti, yaitu mobil milik Fandi, mobil milik Kiki, dan mobil milik Vito. Mereka sama-sama melintas di depan gerbang kontrakan Permata Cemerlang yang kini tampak sangat gelap dan menyeramkan setelah tidak ada lagi orang yang mau mengontrak di sana.

"Bisa lebih cepat, Yah? Ibu takut lihat ke arah sana," pinta Dita.

"Iya, Bu. Jangan lihat ke arah sana, ya. Lihat ke arah Indra aja," saran Seno.

Dita benar-benar menunduk dengan cepat dan menatap ke arah wajah bayi mereka yang telah diberi nama Indra Aditya Pratama. Mobil itu benar-benar telah melewati kontrakan Permata Cemerlang, ketika akhirnya Seno memberi tanda pada Dita untuk tidak menunduk lagi. Mereka tiba di rumah tak lama kemudian. Denis turun dari mobil milik Vito, Riris turun dari mobil yang Kiki bawa, sementara Fandi turun dari mobilnya paling terakhir.

"Hei, kalian tadi ada yang nengok ke arah rumah-rumah di kontrakan Permata Cemerlang?" tanya Fandi, setelah mereka semua masuk ke dalam rumah.

"Enggak, Fan. Enggak berani aku," jawab Riris dengan cepat. "Meski aku udah lumayan lama tinggal di Sukamanah sejak menikah sama Kiki, aku tetap tidak berani menoleh ke rumah-rumah kontrakan itu kalau lewat sana."

"Iya, aku aja yang warga asli Sukamanah enggak mau menoleh ke sana sama sekali, Fan. Mendingan langsung menoleh ke pemakaman Pasir Kunci deh. Rasanya enggak seram-seram amat kalau nengok ke pemakaman Pasir Kunci," tambah Vito.

"Memangnya kenapa, Fan? Kamu tadi nengok ke sana?" tanya Dita, usai meletakkan Indra pada boks bayi yang Seno keluarkan dari kamar.

"Iya, Dit. Enggak sengaja juga aku nengoknya," jawab Fandi.

"Terus? Kamu enggak sengaja juga lihat sesuatu?" tebak Denis.

Fandi pun mengangguk-anggukkan kepalanya dengan ekspresi takut yang sulit untuk disembunyikan.

"Ya mau gimana lagi, 'kan? Sejak Almarhum Pak Ridwan gila dan akhirnya memutuskan bunuh diri, udah enggak ada yang mau percaya untuk tinggal di kontrakan Permata Cemerlang itu, meskipun hanya rumah di blok D nomor tiga belas yang angker. Anak dan Istrinya Pak Ridwan juga akhirnya menyerah memasarkan rumah-rumah kontrakan itu agar ada lagi yang mau menempati. Semua orang terlanjur tahu kalau salah satu rumah di sana angker. Sekarang, anak dan Istrinya Almarhum Pak Ridwan udah enggak tinggal di Sukamanah lagi. Mereka benar-benar lepas tangan dan kontrakan Permata Cemerlang itu sekarang terbengkalai begitu aja selama delapan bulan terakhir," ujar Seno, yang saat ini sedang menatap wajah putranya dengan penuh rasa bahagia.

"Memangnya apa yang kamu lihat saat melintas tadi, Fan?" tanya Kiki.

"Aku lihat ada nenek tua di gerbang kontrakan itu. Tubuhnya agak bungkuk dan wajahnya seram, seperti ...."

"Meleleh, karena kulit di wajahnya tampak hampir terlepas sebagian di sebelah kiri?" tanya Dita, yang mendadak menyela cerita Fandi.

"Kok kamu tahu, Dit?" Fandi tampak sangat heran.

"Itu ... itu adalah nenek tua yang aku lihat terakhir kalinya di rumah blok D nomor tiga belas, Fan. Dia yang merasuki aku sampai kesurupan dan mencekik Riris tanpa sadar," jawab Dita.

Mereka semua kembali teringat dengan kejadian itu lagi, lalu merasa merinding pada waktu yang bersamaan.

"Tapi kalau aku pribadi, yang paling tidak bisa aku lupakan adalah saat ada yang mengetuk pintu rumah di blok D nomor tiga belas itu. Aku masih tidak bisa lupa bagaimana rupa dari pocong yang aku lihat bersama Kiki sampai detik ini," ungkap Vito dengan jujur.

Setelah Vito berkata begitu, pintu rumah itu pun terdengar diketuk oleh seseorang. Semua orang jelas merasa sangat kaget, sehingga terlonjak dari tempat duduk masing-masing. Fandi mengintip lewat jendela yang tertutup gorden dan tampak merasa lega setelahnya.

"Itu Anin yang datang," ujar Fandi.

Dita pun segera membukakan pintu untuk Aninda dan menyuruhnya segera masuk. Aninda hanya bicara seadanya, lalu segera beranjak ke dapur untuk menyimpan makanan yang dibawanya. Dita dan Seno membiarkannya, karena sudah terbiasa dengan kehadiran Aninda yang memang sering datang bersama Denis pada hari-hari biasa.

Ponsel Denis berbunyi tak lama kemudian, dan pria itu tampak mengerenyitkan kening saat melihat nama penelepon yang tertera pada layar. Ia tetap mengangkat telepon itu meskipun merasa ada yang janggal. Hanya saja, kali itu Denis menekan tombol loudspeaker agar suara Aninda bisa terdengar oleh yang lainnya.

"Halo, Anin? Kenapa kamu telepon Kakak? 'Kan Kakak ada di rumah Dita dan Seno juga. Kamu barusan enggak lihat Kakak, gitu?" tanya Denis, to the point.

"Hah? Maksud Kakak apa? Aku telepon karena mau tanya, Kakak kapan mau pulang ke rumah? Ini Anin masih di rumah, Kak. Ibu nanya terus kapan Kakak pulang," jawab Aninda.

"Hah? Kamu masih di rumah? Lah ... terus yang barusan datang ke sini siapa, Dek? Fandi lihat kamu melalui jendela dan Dita juga bukain kamu pintu. Bahkan Riris dan Kiki menyapa kamu barusan, sebelum kamu ke dapur. Jangan main-main, Anin!" omel Denis.

"Main-main apanya, Kak? Ini Ibu ada di samping aku dari tadi. Aku ada di rumah sama Ibu, dan belum ke mana-mana sejak pulang kerja," balas Aninda, ikut mengomel.

Semua orang kini menatap ke arah pintu dapur. Seno segera menggendong Indra dan mendekapnya agar aman. Vito memberanikan diri beranjak ke dapur bersama Kiki, Fandi, dan Denis--yang belum memutuskan sambungan telepon. Mereka ingin memeriksa apakah di sana ada Aninda atau tidak. Namun sesampainya mereka di dapur, satu sosok yang pernah dilihat langsung oleh Vito serta Kiki tampak berdiri di tengah-tengah dapur itu dan tersenyum ke arah mereka.

"Po--POCONG!!!" teriak Vito dan Kiki dengan kompak.

Dita langsung membuka pintu rumah agar Seno bisa keluar membawa Indra, sementara Riris segera mengikuti langkah Dita keluar dari rumah itu setelahnya. Pocong yang dilihat oleh Vito keluar dari dapur dengan melompat-lompat cepat, seakan sengaja mengejar mereka. Beberapa warga yang mendengar teriakan dari arah rumah Seno pun keluar dari rumah mereka dan memberi bantuan untuk bersembunyi sampai keadaan tenang. Pocong itu kini tampak melompat-lompat di teras rumah tersebut dan tidak mau pergi.

"Ini bukan pertama kalinya ada teror begitu. Ini udah yang kesekian kalinya dan kalian mungkin baru mendapatkan teror itu hari ini," jelas Pak RT yang baru saja tiba.

"Mungkin para penghuni gaib di kontrakan Permata Cemerlang itu udah kehabisan orang yang bisa diganggu, setelah kontrakan itu kosong semua. Makanya mereka sekarang jadi meneror kalian lagi," ujar warga yang saat itu tengah memberi mereka tempat bersembunyi.

"Ya, berarti tidak ada jalan lain. Rumah-rumah kontrakan itu harus dihancurkan dan diratakan dengan tanah, seperti yang Pak Ustadz pernah sarankan," sahut warga lainnya.

"Betul. Selama rumah-rumah kontrakan kosong itu masih berdiri di sana, maka tidak akan ada warga Sukamanah yang akan bisa hidup dengan tenang," tambah Pak RT.

[TAMAT]

Next story (BESOK)

Seri Cerita TELUH Bagian 1
TELUH BERAS KUNING

Seri Cerita TELUH Bagian 1TELUH BERAS KUNING

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang