5 | Gangguan Sebelum Tidur

1.5K 125 3
                                    

Mendengar teguran dari Dita dan Fandi kepada Riris, membuat Vito, Seno, dan Denis mendadak tertarik dengan pembicaraan itu.


"Kenapa? Toh Kiki sekarang juga udah enggak sama-sama si Intan, 'kan?" tanya Riris, begitu santai.

"Tapi bukan berarti mulut kamu bisa seenaknya mau bongkar rahasia orang lain. Kamu punya bukti yang bisa membuktikan mengenai hal yang kita lihat soal Intan, kalau Kiki akhirnya minta hal itu dibuktikan?" tanya Dita. "Kita cuma melihat dengan mata saat itu, Ris. Jadi jaga mulut kamu biar enggak sembarangan berucap."

Untuk pertama kalinya Dita benar-benar terlihat tegas terhadap Riris di depan banyak orang--kecuali Fandi yang memang sudah sering bersama dengan kedua wanita itu.

"Dita benar, Ris. Sebaiknya simpan saja kebenaran itu untuk diri kita sendiri. Mau baik ataupun buruk, toh Intan 'kan memang pilihannya Kiki," tambah Fandi.

"Terus kalau suatu saat Intan mau minta balikan lagi sama Kiki, kita bakalan diam aja dan bertingkah bodoh selamanya, gitu?" Riris masih berusaha ingin membongkar yang sebenarnya kepada Kiki.

"Itu terserah Kiki. Hidup, hidupnya dia. Urusan juga, urusan dia. Kalau dia pintar, ya cukup sekali aja dikhianati sama si Intan. Kalau dia bego, ya udah ... suka-suka hatinya," ujar Fandi, sangat santai.

Dita pun tersenyum miring selama beberapa saat, lalu kembali bersikap biasa. Seno bisa melihat senyum sinis itu dengan jelas, karena dirinya duduk sangat dekat dengan Dita.

"Kalian benar-benar serius enggak mau bilang apa-apa sama aku soal Intan?" heran Kiki.

"Enggak! Kamu enggak perlu tahu hal yang kami tahu! Makan saja makananmu sampai habis dan jangan banyak tanya," jawab Dita, lalu kembali menatap piringnya sendiri.

Riris pun segera melakukan hal yang sama, meskipun dalam hati ingin sekali membeberkan segalanya pada Kiki. Tapi karena Riris tahu bagaimana jadinya keadaan jika Dita marah besar, maka ia pun memutuskan menuruti apa yang Dita katakan.

"Kamu jadi lebih tegas ya, setelah dewasa," ujar Seno, yang entah kenapa benar-benar tidak bisa menahan komentar itu untuk dirinya sendiri.

Dita menatap ke arah wajah Seno seperti tadi usai mendengar apa yang pria itu katakan.

"Memangnya menurutmu dulu aku tidak pernah tegas?" Dita balik bertanya.

Seno tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena dulu dirinya tidak pernah memperhatikan Dita sama sekali, meskipun Dita pernah menjadi pacarnya Kiki.

"Dulu waktu SMP, kamu sama sekali tidak pernah dekat denganku, Sen, meski kita sering sama-sama di kelas. Kamu dan Vito tidak dekat denganku, lebih tepatnya. Sementara Fandi, Riris, Denis, dan bahkan Kiki yang perhatiannya cuma terarah kepada Intan ketika dia pacaran denganku pun tahu, kalau aku memang orang yang tegas, lugas, dan tidak suka berbasa-basi. Kalau aku tidak suka, maka aku akan langsung bilang tidak suka. Kalau aku suka, maka aku akan langsung bilang suka. Aku enggak pernah berubah, Sen. Kamunya aja yang tidak mengenal aku," jelas Dita seraya tersenyum.

Tenggorokan Seno mendadak kering, setelah Dita bicara dengan durasi yang lama kepadanya. Pria itu menandaskan air putih dan es teh di gelas miliknya. Kiki kembali memperhatikan hal itu diam-diam, ia kembali merasa panas dengan interaksi antara Seno dan Dita.

"Aku juga pemarah, Sen," tambah Dita, tiba-tiba.

Seno kembali menatap ke arah Dita seperti tadi, dan Dita pun balas menatapnya.

"Aku benar-benar pemarah dan kalau sudah tersulut oleh amarah, aku selalu sulit untuk berhenti. Siapa tahu kamu ingin tahu lebih banyak tentang aku, makanya aku beri tahu kamu lebih awal soal sifat pemarahku. Biar kamu lebih berhati-hati, ketika berkomentar tentang aku," jelasnya.

Pukul setengah sembilan, akhirnya semua tamu pulang dari rumah Dita. Dita segera menggulung permadani, membereskan meja di ruang tamu, menyapu, mengepel dan juga mencuci piring-piring kotor. Obrolan setelah makan malam jauh lebih menyenangkan setelah tidak ada lagi yang mengungkit soal masa lalu. Hal itu membuat Dita merasa jauh lebih nyaman daripada saat awal-awal tadi.

Setelah Dita selesai membereskan semua peralatan yang sudah dicuci ke dalam lemari piring, ia memastikan kalau di kulkas masih ada sisa bahan makanan yang akan dimasaknya untuk sarapan pagi. Ia segera beranjak dari dapur dan berjalan menuju ke kamar kedua untuk mengambil pakaian dari dalam lemari. Ia berniat akan mengganti baju yang tadi dipakainya dengan piyama. Tak lupa, ia juga pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi, usai berganti pakaian.

Setelah semua ritual malamnya selesai, Dita pun segera berjalan menuju kamar utama. Ia baru saja akan menutup pintu kamar itu, ketika melihat sekelebat bayangan hitam melintas di depan pintu kamar mandi. Dita segera membatalkan niatnya menutup pintu kamar utama dan kembali keluar untuk memastikan mengenai apa yang baru saja dilihatnya. Dita mendekat ke arah kamar mandi, lalu membuka pintunya untuk mengecek keadaan di dalamnya. Saat melihat tak ada apa-apa, Dita pun kembali menutup pintu tersebut.

"Apa aku salah lihat, ya?" tanya Dita, pada dirinya sendiri.

Dita pun hendak kembali berjalan menuju ke kamar utama, karena merasa sudah tak perlu khawatir lagi tentang bayangan hitam yang tak sengaja dilihatnya.

BRAKKK!!!

Dita kembali terlonjak akibat kaget, karena pintu dapur kembali terbanting dan terbuka sendiri seperti yang terjadi tadi.

"Astaghfirullah hal 'adzhim! Ini pintu kok bikin aku kaget melulu, ya? Ada masalah apa sih sebenarnya?" gerutu Dita, sambil melangkah menuju dapur untuk kembali melihat pintu tersebut.

Ketika tiba di dapur, Dita melihat batu asahan yang tadi dipakai untuk mengganjal pintu tersebut. Ia kini mengerenyitkan keningnya selama beberapa saat, karena sedang memikirkan sesuatu.

"Tapi dari tadi pintu ini terganjal sama batu asahan itu, 'kan? Kok bisa dia terbanting lagi padahal udah diganjal? Siapa yang menggeser batu asahan nya, ya? Aneh," gumam Dita, sambil menyimpan kembali batu asahan di bagian bawah pintu dapur tersebut.

Dita pun kini benar-benar masuk ke kamar utama setelah menyelesaikan persoalan pintu dapur. Ia menutup pintu kamar dan menguncinya sebelum naik ke tempat tidur. Dita sempat meraih ponselnya dan melihat semua kontak baru yang tadi mengirim pesan padanya dengan kompak. Siapa lagi kalau bukan kontak milik Vito, Denis, Kiki, dan Seno. Ia menyimpan semua kontak baru itu, lalu segera menyimpan ponselnya ke bawah bantal. Ia berdoa dan membaca ayat kursi seperti biasanya, lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Namun belum berapa lama Dita memejamkan kedua matanya, terdengarlah suara lirih dari arah depan rumah. Suara yang ia dengar kali itu begitu mirip dengan tangisan seseorang.

"Duh ... kenapa tetangga harus nangis malam-malam begini, sih?" keluh Dita, lalu segera menyumbat telinganya dengan bantal guling.

* * *

KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang