11 | Mendapat Laporan

1.2K 110 1
                                    

Seno dan Vito pun menatap tak percaya ke arah Kiki, setelah mendengar pria itu bicara demikian.


"Hush! Jangan asal ngomong kamu, Ki! Nanti kalau Dita dengar, dia enggak akan tenang tinggal di sini," bisik Seno.

"Itu benar, Ki. Lagi pula, masa iya sih rumah sebagus ini ada penghuninya. Rumah yang ada penghuninya itu seharusnya sudah lama tidak ditempati, sudah pernah ada kejadian buruk seperti pembunuhan atau bunuh diri, atau rumah yang sudah tidak layak ditempati alias rumah yang sudah rusak. Kamu 'kan tahu sendiri, bahwa kontrakan Permata Cemerlang ini baru dibangun setahun lalu. Mungkin tadi itu hanya ada yang sedang usil aja, bukan artinya rumah ini berpenghuni," tutur Vito, ikut berbisik seperti yang Seno lakukan.

"Tapi apa kalian tidak heran dengan kejadian-kejadian yang terjadi sejak kemarin malam? Pintu dapur itu terbanting sendiri sampai tiga kali dan bahkan Seno juga jadi terlempar ke lantai. Di tambah sekarang perkara rantang ini. Semuanya kejadian itu sangat janggal tahu," ujar Kiki yang kini berupaya memelankan suaranya.

Seno dan Vito pun saling pandang selama beberapa saat, ketika diingatkan mengenai kejadian pintu dapur kemarin malam. Bahkan mereka berdua pun jadi ingat tentang cerita Dita tadi pagi saat sarapan bersama, tentang batu asahan yang berpindah sendiri dari posisinya semula di bawah pintu dapur tersebut.

"Udah, sebaiknya sekarang kita panggil masuk aja yang lainnya. Kita doa bersama deh di sini, biar enggak ada lagi yang gangguin Dita pas kita pulang," usul Vito.

"Ya ... sebaiknya begitu," Seno setuju dengan apa yang Vito usulkan.

Dita, Fandi, dan Riris kini benar-benar masuk kembali ke dalam rumah itu. Denis juga ikut masuk karena masih menemani Dita dan berusaha membuatnya tenang. Mereka berkumpul di ruang tamu, seperti yang semalam mereka lakukan.

"Sekarang sebaiknya kita berdoa bersama, agar Dita bisa tinggal dengan tenang. Apa pun yang tadi terjadi, anggap aja sedang ada yang ingin usil terhadap kalian berempat," ujar Vito, menengahi semua orang.

"Menurutmu, apakah yang usil itu tidak akan kembali lagi? Masalahnya Dita tinggal di sini sendirian, Vit. Kalau ada apa-apa yang terjadi terhadap Dita, bagaimana?" tanya Riris, dengan wajah yang masih pucat.

"Sebaiknya kita semua berpikir positif. Insya Allah dengan pikiran positif, yang usil tadi itu tidak akan kembali lagi ke sini. Kalau manusia memupuk rasa takut di dalam dirinya, maka hal-hal yang tak kasat mata itu biasanya akan semakin senang dan mendekat. Kunci satu-satunya yang bisa kita jalani adalah dengan memupuk rasa berani," jawab Vito, sekaligus memberi saran.

"Teorimu itu gampang sekali, Vit. Sayang, prakteknya yang susah. Lebih susah daripada melakukan tindakan operasi terhadap pasien yang biasa aku tangani," sahut Fandi.

"Mau tidak mau, aku memang harus berupaya untuk berani, Fan," ujar Dita, setelah jauh lebih tenang. "Aku tidak punya pilihan lain selain harus memberanikan diri. Aku baru pindah ke sini dua hari dan proses pindahan itu benar-benar memakan waktu serta biaya yang tidak sedikit. Lagi pula Vito benar, kalau aku takut justru akan mengundang yang tak kasat mata hingga mendatangiku."

"Ya udah, sekarang kalian kembalilah pada kegiatan sebelumnya. Tadi kalian sedang makan malam, 'kan?" tanya Denis.

"Aku dan Fandi baru tiba di sini, Den, saat kejadian itu terjadi. Seno dan Dita yang lagi makan malam berdua, sebelum kejadian itu terjadi," jawab Riris.

Tatapan Kiki pun langsung tertuju kepada Seno. Seno pura-pura tidak tahu kalau Kiki sedang menatap ke arahnya, agar suasana tidak bertambah keruh. Dita segera bangkit dari sofa dan menghalangi tatapan Kiki ke arah Seno. Hal itu jelas membuat Kiki terlihat kaget, begitu pula dengan yang lainnya.

"Kenapa kamu mendadak menatap Seno setajam itu? Apa salahnya kalau dia makan di sini? Aku enggak meracuni makanan untuk dia, aku enggak akan menghasut dia buat benci kamu, bahkan aku enggak peduli dan enggak akan berkomentar atas keinginannya untuk terus bersahabat dengan orang seperti kamu. Jadi aku rasa, kamu enggak berhak menatap dia setajam itu hanya karena dia menerima tawaranku untuk makan di sini. Kamu kalau kurang kerjaan mending cari si Intan lagi deh. Intan selalu banyak cara untuk bikin kamu punya kerjaan di waktu luang. Jadi temui dia dan berhenti mengurus kegiatan orang lain!" tegas Dita.

Denis, Vito, Fandi, dan Riris langsung mencoba untuk tidak bersorak secara terbuka, setelah Dita menyerang Kiki secara langsung dengan ucapannya. Seno segera mendekat pada Dita dan menarik tangan wanita itu perlahan, agar tak perlu menatap ke arah Kiki lagi. Ia juga kembali mengusap-usap puncak kepala Dita untuk membuatnya tenang.

"Udah, jangan marah sama Kiki. Kamu tahu sendiri 'kan, kalau Kiki memang hobi mengomel padaku, Denis, maupun Vito. Dia tadi mungkin hanya sedang memikirkan cara untuk melancarkan protes kepadaku yang tidak bilang-bilang akan datang ke rumah kamu untuk makan malam," jelas Seno, agar Dita tak perlu berlama-lama marah pada Kiki.

Dita pun mengangguk pelan usai mendengarkan penjelasan dari Seno. Kiki mengepalkan tangannya di balik saku jaket yang ia pakai saat itu, karena hatinya merasa panas akibat melihat betapa penurutnya Dita jika Seno yang menenangkannya.

"Aku akan ada di posisi itu suatu saat nanti. Aku hanya perlu membuat Dita menjadi tidak menyukai kehadiran Seno di sisinya," batin Kiki, berencana.

* * *

Dita benar-benar masih memikirkan kejadian semalam saat tiba di Star Cafe. Wanita itu sampai harus memilih untuk menggantikan posisi Herman yang biasanya bolak-balik mengantarkan pesanan. Ia tak mau duduk di balik meja kasir sementara waktu, karena ia tak mau pikirannya terganggu akibat terus memikirkan kejadian mistis di rumah kontrakan barunya.

"Kak ... tadi pagi pas kami berdua baru buka Cafe, salah satu teman dekat Kakak datang ke sini. Dia beli earl grey hot tea untuk dibawa pergi. Tapi selama menunggu pesanan yang belum jadi, dia video call sama perempuan dan entah kenapa dia bilang sama perempuan itu 'Di sini Cafenya yang aku maksud. Pokoknya kamu harus datang ke sini tepat pada waktunya dan buat dia merasa malu di depan orang yang aku tuju', gitu Kak," lapor Helmi, berbisik-bisik.

Sesaat Dita menatap ke arah Herman yang sedang menghadapi pelanggan. Ia segera mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan sebuah foto pada Helmi.

"Yang mana orangnya?" tanya Dita, ikut berbisik.

"Itu, yang pakai jaket hijau lumut," jawab Helmi.

"Oke. Sekarang kamu tutup mulut aja. Jangan bilang-bilang sama Herman kalau kamu baru aja cepu-in teman dekatku. Aku enggak mau kamu dimarahi Herman. Urusan yang akan terjadi selanjutnya, biar aku yang tangani," pesan Dita, pada Helmi.

"Siap, Kak," tanggap Helmi, patuh.

* * *

KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang