15 | Setuju

1.1K 97 6
                                    

Seno benar-benar tiba kembali di depan Star Cafe sekitar dua puluh menit kemudian. Dita segera keluar dari pintu Cafe saat melihat mobil pria itu tiba. Seno keluar dari mobil dan langsung mendapat sodoran helm dari Dita, yang menandakan kalau wanita itu tidak mau pergi menggunakan mobilnya. Seno sama sekali tidak membantah dan segera mengikuti langkah Dita menuju ke tempat wanita itu menyimpan motornya.


"Kamu akan biarin aku yang bonceng kamu atau enggak?" tanya Seno.

"Iyalah. Masa iya aku yang mau bonceng kamu. Meskipun kita perginya naik motorku, tapi harga dirimu tetap harus aku jaga, Sen. Takutnya ada yang bergunjing di belakangmu, kalau mungkin ada orang yang kamu kenal tidak sengaja berpapasan di jalan," jawab Dita.

Seno pun menahan senyum diam-diam. Dita segera memberikan kunci motornya kepada Seno, sehingga pria itu kini segera bisa menaiki motor milik Dita dan akan memboncengnya.

"Oke, kita mau ke mana sekarang?" tanya Seno sekali lagi.

"Ke tempat yang siang ini lagi sepi-sepinya, Sen. Lapangan Cakrawati," sebut Dita.

Seno tertawa pelan saat mendengar tempat yang Dita sebutkan. Motor itu kemudian melaju meninggalkan tempat parkir Star Cafe, menuju ke Lapangan Cakrawati. Mereka berdua sama sekali tak butuh waktu lama untuk tiba di tempat itu. Seno memarkirkan motor milik Dita di bawah sebuah pohon yang cukup teduh, di pinggir lapangan itu. Dita mengajaknya duduk di sebuah tempat duduk umum yang terbuat dari kayu. Lapangan itu benar-benar sepi saat siang--seperti yang Dita katakan--sehingga membuat mereka berdua bisa dengan jelas menatap dua buah sekolah yang terdapat pada dua sisi di seberang Lapangan tersebut.

"Pemandangan yang kita lihat beda dari yang lain, ya. Orang-orang biasanya kalau pergi ke suatu tempat itu tujuannya ingin melihat hal-hal berbeda, contohnya danau, pegunungan, atau setidaknya taman bunga," ujar Seno.

"Pemandangan yang kita lihat saat ini juga beda, kok. Jarang-jarang 'kan, ada yang ngajak kamu duduk berdua sambil lihat pemandangan anak sekolah lagi berkeliaran di tengah jam pelajaran?" balas Dita, tampak sangat santai.

"Iya, kamu benar. Jarang banget, bahkan enggak ada yang ngajak aku duduk berdua sambil menatap bangunan sebuah sekolah."

Mereka berdua terdiam selama beberapa saat, setelah tadi berusaha untuk menghilangkan perasaan canggung.

"Boleh aku jujur, Dit?" Seno kali ini meminta izin lebih dulu daripada Dita.

Dita pun mengangguk pelan.

"Kamu ... sama sekali tidak terlihat gugup saat ini. Padahal tadi aku baru aja mengungkapkan perasaan dan juga mengajukan pertanyaan yang serius kepadamu," ujar Seno.

Dita pun tersenyum.

"Kamu berharap apa, Sen? Kamu berharap aku akan bertingkah gugup seperti anak remaja, ketika kamu muncul?" tanya Dita.

"Ya ... seharusnya memang begitu, 'kan? Kamu seharusnya berekspresi gugup di depan seseorang yang baru aja mengutarakan perasaannya terhadap kamu?" Seno bertanya balik.

Senyuman di wajah Dita semakin terlihat jelas, usai Seno mengajukan pertanyaan atas pertanyaan yang diajukannya.

"Kamu tadi bertanya padaku soal apa? Kamu ingin aku jadi pacarmu atau jadi Istrimu?" tanya Dita lagi.

"Jadi Istriku, Dit. Aku bertanya apakah kamu mau menjadi Istriku jika aku memang menyatakan perasaan kepadamu," jawab Seno.

"Nah, itulah alasannya," ujar Dita.

"Alasan?" Seno tampak tidak mengerti.

"Iya, alasan mengapa aku tidak terlihat gugup di hadapan kamu. Karena pertanyaan yang kamu ajukan padaku, bukanlah pertanyaan yang main-main. Pertanyaanmu harus kuhadapi dengan serius. Karena diminta menjadi Istri oleh seseorang itu adalah perkara yang paling serius. Menjadi Istri seseorang akan dijalani oleh seorang wanita sampai wanita itu menua. Kalau aku menanggapi pertanyaanmu dengan menunjukkan sikap yang gugup seperti seorang anak remaja, maka itu tandanya aku mungkin tidak akan bisa menghadapi keseriusan yang kamu tunjukkan," jelas Dita.

Seno kembali mencoba menahan senyumnya. Ia tak ingin Dita merasa penjelasannya diremehkan oleh Seno, sehingga pria itu memutuskan untuk membenarkan penjelasan itu melalui diamnya.

"Sekarang biar aku yang bertanya sama kamu, Sen. Jawab dengan jujur, karena saat ini aku hanya ingin mendengar kejujuran dari kamu."

Seno pun tampak menunggu pertanyaan yang akan Dita ajukan kepadanya.

"Kenapa mendadak kamu mengutarakan perasaan padaku dan juga mengajukan pertanyaan yang sangat serius seperti itu? Aku yakin sekali, sejak kita masih SMP, kita tidak pernah sedekat sekarang. Kamu selalu tidak peduli kepadaku, bahkan saat aku ada di sampingmu. Kamu tidak pernah melihatku, bahkan saat aku ada di hadapanmu. Jadi kenapa, Sen? Kenapa bisa kamu mendadak ...."

"Karena aku mendadak punya perasaan lebih terhadap kamu, sejak kita bertemu lagi tiga hari yang lalu," potong Seno. "Aku juga enggak paham, Dit, kenapa bisa aku punya perasaan lebih terhadapmu. Padahal selama ini aku selalu cuek dan tidak peduli dengan wanita manapun. Kamu yang mendadak muncul lagi di dalam hidupku, mendadak membuatku tidak bisa berhenti memikirkan keberadaanmu. Kamu ... satu-satunya yang bisa kuajak duduk bersama tanpa bersikap berlebihan. Kamu tetap menjadi dirimu sendiri dan kamu terbuka soal bagaimana dirimu yang sebenarnya. Sampai akhirnya aku sempat berpikir, mungkin seharusnya aku menyadari betapa berbedanya kamu sejak kita masih SMP. Aku juga sempat menyesal karena baru menyadari itu sekarang, Dit."

Mereka kembali sama-sama terdiam seperti tadi. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka dan hanya ada sepi yang mewarnai sekeliling tempat itu.

"Tapi kalau kamu merasa ini terlalu canggung untuk kita berdua, kamu jelas boleh memberiku penolakan, Dit. Aku enggak akan menjauh meski kamu menolak. Aku tidak akan bersikap kekanak-kanakan. Kita akan tetap berteman seperti biasanya," Seno memberikan opsi, setelah menduga bahwa Dita mungkin merasa terbebani dengan pertanyaan yang ia ajukan.

"Aku enggak lagi mikirin penolakan. Aku lagi mikirin bagaimana caranya mengatakan pada Fandi, Riris, Denis, Vito, dan Kiki bahwa kita akan segera menikah," balas Dita.

Seno kembali menoleh dan menatap Dita begitu lekat dari arah samping.

"Ma--maksudnya ... maksudnya itu ... kamu ... kamu menerima pernyataan perasaanku dan bersedia menjadi Istriku, Dit?" tanya Seno.

Dita ikut menoleh dan menatap Seno sambil mengerenyitkan keningnya.

"Memangnya kamu pikir aku mengajakmu pergi dari Cafe dan bicara berdua seperti ini hanya untuk memberimu penolakan?"

"E--enggak, sih. Aku enggak mikir begitu, kok."

"Oke. Bagus kalau begitu. Sekarang bantu aku mikirin caranya bilang ke Fandi, Riris, Denis, Vito, dan Kiki," pinta Dita.

"Gimana kalau kita bicara to the point aja di depan mereka?" saran Seno.

"Dan membuat Kiki mendadak mencak-mencak sambil mengeluarkan sumpah serapah untuk kamu? No! Aku enggak mau kamu dicaci maki sama dia, karena aku sudah jelas akan membalas caci makinya kali ini sehingga kita mungkin tidak akan lagi punya hubungan baik dengan Kiki," tolak Dita.

"Mau bilang lewat surat, enggak?"

Dita menatap tak percaya ke arah Seno saat mendengar saran itu.

"Atau lewat chat di grup Whatsapp?" tambah Seno.

"Ah ... udah cukup, Sen. Ayo, kita balik ke Cafe aja dan biar aku yang mikirin caranya," ajak Dita, sambil menarik tangan Seno agar segera bangkit dari kursi yang mereka duduki sejak tadi.

"Ayolah, Dit. Saranku rasanya enggak buruk-buruk amat, kok," bujuk Seno.

* * *

KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang