21 | Memikirkan Kenyataan

1K 105 4
                                    

Dita keluar dari kamar Seno setelah selesai mandi dan berpakaian. Semua orang telah menunggunya di ruang tamu, terutama Riris yang jelas ingin sekali memeluknya sejak tadi.


"Kamu udah enggak teringat sama yang tadi lagi, 'kan? Jangan diingat-ingat, ya. Kita sama-sama lupakan aja perihal kejadian tadi," ujar Riris.

Dita pun mengangguk di dalam dekapan Riris yang benar-benar selalu ia butuhkan sejak masih remaja, ketika dirinya sedang berada dalam sebuah masalah.

"Minum dulu tehnya, Dit," ujar Seno, yang baru membawakan satu cangkir teh lainnya dari dapur.

"Enggak usah repot-repot, Sen. Aku jadi enggak enak kalau kamu repot banget saat kita semua datang ke sini," ujar Dita.

"Repot? Mana lebih repot? Aku atau kamu, yang selalu aja masak untuk semua orang yang datang bertamu ke rumah?" tanya Seno.

"Ya tapi 'kan aku cewek. Kodratnya cewek memang harus ada di dapur dan semaksimal mungkin menjamu tamu yang datang ke rumah. Beda dong, sama kamu," jawab Dita.

"Udah, Dit, buruan minum tehnya. Kita jadi pergi atau enggak, nih?" tanya Denis.

"Iya, jadi kok. Tunggu sebentar lagi, Den. Intan juga enggak bakalan muncul di tempat yang kita tuju kalau belum waktunya," jelas Dita, yang kini mulai meminum teh hangat buatan Seno.

Wajah Dita mendadak tampak begitu kaget saat menikmati teh hangat tersebut.

"Hm ... tehnya enak banget, Sen. Kamu pakai air rebusan bunga lawang ya, saat menyeduh tehnya?" tanya Dita.

"Kok kamu bisa tahu? Dari tadi yang lainnya enggak bisa nebak, loh," jawab Seno.

Kedua mata Dita pun mendadak membola saat mendengar apa yang Seno katakan. Perlahan dirinya menoleh ke arah Riris yang ternyata benar-benar sudah memasang wajah sebalnya ke arah Dita--sesuai dengan perkiraan Dita sendiri. Dita pun tersenyum serba salah ketika menatap ke arah Riris saat itu.

"Itu, Ris ... anu ... maksudnya ...."

"Kamu kok bisa menebak dengan tepat, padahal baru satu kali meneguk teh itu? Menurutmu jam terbangku di dapur masih kurang ya, Dit, sehingga aku enggak bisa menebak kalau Seno menggunakan air rebusan bunga lawang untuk menyeduh teh buatannya?" tanya Riris.

"Uhm ... enggak gitu kok maksudnya, Ris. Ya ... namanya juga 'kan cuma air rebusannya aja, yang dipakai sama Seno. Kamu tahu sendiri 'kan, kalau aroma rempah-rempah itu terkadang sulit ditebak," jawab Dita, berusaha untuk meredam kekesalan Riris.

Fandi memberikan kode pada Denis, Vito, Seno, dan Kiki untuk keluar dari rumah itu lebih dulu daripada Dita dan Riris, sebelum mereka berlima terkena getah dari kekesalan yang sedang Riris alami. Namun malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Riris dengan cepat menangkap hoodie yang dipakai oleh Kiki, sehingga pria itu langsung terduduk kembali di tempatnya dan tak bisa menyusul langkah Fandi, Vito, Seno, serta Denis.

"Jangan ke mana-mana kamu, Ki! Aku ingin sekali meluapkan kekesalan sekarang juga dan kamu adalah yang aku pilih untuk menjadi sasaranku!" tegas Riris.

Pukul setengah sembilan akhirnya mereka segera berangkat menuju ke tempat yang akan Dita, Riris, dan Fandi tunjukkan kepada Kiki, mengenai keberadaan Intan serta apa profesinya selama ini sejak masih remaja. Kali itu mereka bertujuh berangkat menggunakan mobil milik Fandi yang kapasitasnya cukup besar untuk menampung mereka semua. Vito membajak kursi depan dan duduk di sana tanpa mau diganggu gugat. Riris duduk di kursi tengah tepat di bagian tengah, sementara kanan kirinya ditempati oleh Kiki dan Denis. Dita dan Seno kebagian duduk di kursi paling belakang, setelah memilih mengalah daripada menerima amukan Riris yang masih tidak terima dengan gagalnya dia menebak soal rebusan air bunga lawang yang Seno pakai untuk menyeduh teh.

"Memangnya jam berapa biasanya si Intan ada di tempat yang kita tuju, Dit?" tanya Denis.

"Jam sepuluh, Den. Tidak kurang, tidak lebih," jawab Dita.

"Oh ... dia jenis manusia on time ternyata," sahut Vito, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Iyalah, on time. Kalau dia telat satu menit aja, dia bakalan gagal dapat bayaran dan enggak jadi ...."

"Riris!" tegur Fandi dan Dita dengan cepat.

Riris pun buru-buru menutup mulutnya yang hampir saja keceplosan.

"Mulutmu itu loh, Ris. Mulutmu," gemas Fandi.

"Enggak usah dispill sekarang, Ris," mohon Dita. "Nanti juga Kiki bakalan lihat sendiri kalau kita udah sampai di tempat yang kita tuju."

"Ya, maaf... aku udah gemes banget soalnya dari kemarin-kemarin pengen kasih tahu Kiki soal itu. Geregetan aku tuh sama si Intan, kalau mengingat-ingat lagi apa yang pernah kita lihat, dulu," ungkap Riris, dengan jujur.

Kiki jelas semakin merasa penasaran di dalam diamnya. Pria itu tetap berusaha terlihat tenang, meskipun sebenarnya sedang sangat gelisah. Di belakang, Seno terus menggenggam tangan Dita dengan hangat. Membuat Dita merasa nyaman dan tidak ingin berjauhan dari sosoknya. Persis seperti harapannya saat masih remaja dulu, tentang Seno.

"Eh, by the way ... si Jaka bakalan ada juga enggak ya, hari ini?" tanya Fandi.

"Iya, tuh. Si Jaka enggak bakalan ada 'kan ya, hari ini? Kalau ada dia, udah jelas dong kita bakalan ketahuan mau mata-matain kelakuannya si Intan," tambah Riris, ikut gelisah.

"Si Jaka bakalan ada juga di tempat yang kita tuju?" tanya Kiki, tampak sedikit kaget.

"Kiki ... kagetnya nanti aja, ya. Kalau kamu kagetnya dari sekarang mengenai satu perkara, nanti kamu bakalan capek duluan setelah mendapatkan hal-hal mengagetkan lainnya di sana," ujar Dita.

"Udah, Ki. Ikutin aja dulu. Ini juga demi kebaikan kamu, biar enggak dibutakan lagi sama orang-orang toxic macam Jaka ataupun Intan," saran Seno.

Kiki pun mengangguk. Entah kenapa kali itu ia justru memilih setuju saja dengan saran dari Seno. Padahal biasanya ia paling tidak suka saat Seno memberikan saran untuknya, karena dirinya merasa tengah digurui oleh pria itu. Namun sejak semalam, ketika Dita mengutarakan yang sebenarnya bahwa wanita itu tidak pernah punya perasaan apa-apa terhadapnya, mendadak dirinya menjadi enggan memikirkan apa pun kecuali kenyataan yang ada.

Mobil milik Fandi tiba di halaman parkir sebuah hotel bintang empat. Dita meminta keenam sahabatnya untuk memakai masker, agar tak mudah dikenali oleh siapa pun sebelum waktunya tiba. Mereka semua masuk ke hotel itu dan langsung menuju restoran yang ada di lantai satu. Riris melakukan reservasi dan meminta pelayan mengatur meja untuk mereka bertujuh. Vito, Seno, Kiki, dan Denis diatur oleh Fandi agar membuka masker mereka tepat saat Intan sudah duduk pada salah satu meja di restoran itu dan melakukan sesuatu.

"Pokoknya kalian jangan lepas masker dulu sampai nanti kita kasih tanda. Paham, 'kan?" tanya Riris.

Dita tidak mengatakan apa-apa dan justru hanya memperhatikan Vito yang memakai masker, jauh lebih lama dari biasanya.

"Vit! Kamu yang waktu itu ketemu aku di minimarket dan kekurangan uang tunai sepuluh ribu, 'kan?" tanya Dita.

Vito pun tertawa geli saat melihat tampang Dita saat itu.

"Iya, itu aku. Kenapa? Kamu baru sadar sekarang? Udah lewat empat hari, Dit. Keterlaluan kamu, bisa-bisanya enggak ngenalin aku waktu itu," goda Vito dengan sengaja.

* * *

KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang