Riris dan Fandi tiba di rumah Dita setelah hampir setengah jam Dita tiba di rumahnya. Wanita itu bahkan sudah selesai menyusun isi kulkas dan kini hanya perlu menyajikan teh, cemilan, serta memasak makan malam. Sofa di ruang tamu benar-benar hanya bisa diduduki oleh Riris dan Fandi. Membuat Dita segera menggelar permadani turki yang lembut pada bagian ruang kosong yang ada di seberang sofa itu, agar dirinya bisa duduk setelah selesai memasak nanti.
"Eh, aku parkir mobil di rumah sebelah yang masih kosong. Enggak apa-apa gitu, ya?" tanya Fandi."Iya, enggak apa-apa. Kalau pun nanti akan ada yang menegur, biar aku yang bicara," jawab Dita.
Dita segera beranjak ke dapur dan membuat es teh. Tak lupa ia membawa toples yang sudah ia isi dengan cemilan berupa tiga macam jenis keripik, yang tadi ia beli di minimarket. Dita menyajikan es teh dan cemilan itu tak lama kemudian, bertepatan dengan munculnya wajah-wajah mengejutkan di ambang pintu rumah yang tidak tertutup.
"Assalamu'alaikum, warga baru. Kita mau silaturahmi!!!" ucap Denis, Vito, dan Kiki dengan kompak.
Tatapan Dita, Riris, dan Fandi tentu saja terlihat sangat kebingungan pada saat itu. Mereka jelas tidak menduga kalau akan melihat keempat wajah itu lagi, setelah bertahun-tahun berlalu.
"Wa'alaikumsalam," jawab Dita, mewakili Riris dan Fandi yang masih terpaku di tempatnya.
"Kita boleh bertamu, 'kan?" tanya Seno, sambil mengarahkan tatapannya kepada Dita.
Riris bereaksi.
"Oh, kita enggak keberatan kok kalau kalian mau bertamu. Cuma ... bisa enggak, cecunguk bernama Kiki Rajadi itu diusir dulu? Sumpah ... tanganku udah gatel banget nih pengen nyambit mukanya pakai gelas," ujar Riris, seraya meraih gelas berisi es teh yang baru saja disajikan.
Dita dengan cepat menahan tangan Riris dan memeluk tangan itu beserta gelasnya. Hal itu membuat semua mata mendadak menatap ke arah Dita.
"Jangan, Ris. Tolong jangan sambit mukanya Kiki pakai gelas," mohon Dita, yang kemudian meraih pot bunga hias dari atas meja ruang tamu. "Nih ... sambit aja mukanya pakai pot bunga hias. Aku sayang banget sama gelas ini, Ris. Tolong pahami betapa sayangnya aku pada semua perabotan yang aku beli perlahan-lahan dengan hasil keringatku."
Seno, Fandi, Vito, dan Denis pun langsung berupaya menahan tawa, usai mendengar lanjutan kalimat yang keluar dari mulut Dita. Awalnya mereka pikir Dita melarang Riris menyambit wajah Kiki dengan gelas karena masih memiliki perasaan terhadap pria itu. Namun ternyata, Dita melarang karena lebih menyayangi gelasnya. Wajah Kiki sendiri saat ini sudah bertekuk menjadi seratus lipatan. Pria itu tampak sangat kesal karena Dita lebih memilih mempertahankan gelas daripada dirinya.
"Kok kamu jadi lebih sayang sama gelas daripada sama aku, sih? Dulu kamu enggak pernah begitu loh sama aku, Dit," protes Kiki.
Riris pun langsung melempar Kiki dengan pot bunga hias yang dipegangnya saat itu. Membuat Seno, Vito, dan Denis melompat dengan cepat ke arah permadani di dalam rumah Dita. Wajah Kiki benar-benar terkena lemparan pot bunga hias itu, sementara wajah Riris tampak sangat marah dan penuh dengan kebencian terhadap Kiki.
"Enggak usah bahas-bahas masa lalu! Hatinya Dita udah dikunci, digembok, dirantai, dan bahkan udah dilas sama tukang las, biar elo enggak bisa lagi menempati ruang di hatinya!" serang Riris.
Fandi jelas berjengit ngeri saat mendengar serangan mulut lancip Riris terhadap Kiki yang masih berdiri di ambang pintu.
"Bro ... ada yang mau menyelamatkan aku dari sini, enggak?" desis Fandi, yang posisinya sedang terjebak di antara Riris dan Kiki.
Denis, Vito, dan Seno dengan kompak mengangkat kedua tangan mereka sambil menggeleng-gelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan yang Fandi ajukan. Riris dan Kiki masih saling menatap dengan sengit, sementara Dita lebih memilih beranjak ke dapur untuk membuat minuman tambahan untuk yang baru saja datang.
"Kalau kalian sudah selesai berantem, tolong bekas pertikaiannya diberesin, ya! Aku capek kalau harus membereskan rumah lagi seperti tadi pagi," pinta Dita.
Permintaan Dita itu membuat Riris dan Kiki segera mengakhiri pertengkaran sengit mereka. Kiki masuk ke dalam dan duduk di permadani, sementara Riris kini mulai menikmati cemilan yang diambilnya dari salah satu toples. Dita kembali lagi ke ruang tamu dan menyajikan empat gelas es teh untuk Seno, Vito, Denis, dan Kiki.
"Nah ... kalian reunian deh. Aku masak dulu, baru setelah itu kita makan malam sama-sama," ujar Dita.
"Mau dibantuin masak, enggak?" tawar Riris.
Dita langsung meringis di tempatnya.
"Enggak usah. Kamu selalu bikin rusuh kalau udah masuk ke dapur," tolak Dita dengan jujur.
Seno langsung bangkit dari permadani dan menyusul langkah Dita ke dapur. Pria itu akan membantu Dita memasak, agar pekerjaan Dita bisa lebih cepat selesai.
"Kalian apa kabar?" tanya Denis kepada Riris dan Fandi.
"Alhamdulillah, baik. Kabar kalian sendiri bagaimana?" Riris balik bertanya.
"Alhamdulillah kabar aku baik," jawab Kiki.
"Aku enggak nanyain kabarmu! Mau kabarmu baik kek, enggak kek, itu bukan urusanku! Sana ... kabarin aja Intan. Bilang sama dia kalau keadaanmu baik-baik aja!" sengit Riris dengan cepat.
Di dapur, Dita langsung terkikik geli ketika mendengar apa yang Riris katakan kepada Kiki. Seno menatapnya diam-diam dan ingin sekali tahu tentang apa yang sedang Dita pikirkan mengenai Kiki sekarang.
"Kenapa ketawa?" tanyanya.
"Enggak apa-apa, Sen. Aku ketawa karena Riris sekarang makin jago mulutnya, kalau udah berurusan dengan caci-maki," jawab Dita, jujur.
Seno pun tersenyum sekilas, lalu kembali fokus pada gorengan tempe dan tahu yang sedang dimasaknya.
"Kamu dulu paling sering membela Kiki kalau dia sudah mendapat caci-maki dari Riris. Sekarang kenapa kamu tidak membelanya seperti dulu?" Seno ingin tahu.
"Karena aku sudah malas berurusan dengan Kiki. Dulu dia 'kan udah memilih Intan. Jadi ... aku rasa enggak ada alasan lagi bagiku untuk membelanya, melindunginya, dan menjaga dia agar tidak salah jalan. Ketika dia memilih meninggalkan aku, itu tandanya dia udah bisa memilih jalan hidupnya sendiri. Entah itu pilihannya baik atau buruk, jelas bukan lagi urusanku," jelas Dita, seraya menatap wajah Seno dengan lebih berani.
Seno merasa pemikirannya benar, bahwa kepribadian Dita memang jauh lebih berkembang sekarang, ketimbang dulu. Dulu wanita itu sama sekali tidak berani bicara secara terbuka dan juga tidak pernah berani menatap wajah Seno saat bicara.
BRAKKK!!!
Pintu dapur mendadak tertutup sendiri dengan keras lalu terbuka kembali, sehingga membuat Dita merasa kaget setengah mati. Seno berusaha menenangkannya, sementara yang berada di ruang tamu langsung berlarian ke arah dapur.
"Hei ... siapa yang banting pintu dapur?" tanya Fandi.
"Enggak tahu, Fan. Pintunya terbanting sendiri barusan. Aku kaget banget," jawab Dita, sambil memegangi dada kirinya yang kini berdebar-debar.
Seno meraih gelas dan mengambil air dari dispenser agar Dita bisa minum. Ia mematikan kompor gas sementara waktu, agar masakan tidak ada yang gosong.
"Kok bisa pintunya terbanting sendiri?" heran Denis.
"Mungkin karena tertiup angin dari atas plafon yang terbuka itu," sahut Riris, sambil menunjuk ke arah plafon yang memang terbuka dan hanya tertutupi oleh jaring besi.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] Memutuskan untuk pindah ke rumah kontrakan baru ternyata tidak berjalan lancar bagi kehidupan Dita. Rencana awalnya, ia ingin pindah agar pekerjaannya lancar karena rumah berdekatan dengan tempat kerja. Namun nyatanya rencana itu justru...