"Hei! Jangan sembarangan ngomong kalian berdua!" tegur Denis dengan keras.
"Apanya yang sembarang ngomong??? Kamu lihat aja sendiri lewat jendela itu!!!" bentak Kiki, yang kemudian berlari menuju ke bagian dalam rumah.Semua orang pun kemudian ikut berlari ke dalam termasuk Dita. Seno mendekap Dita dengan erat, agar wanita itu tidak semakin ketakutan. Suara ketukan pintu kembali terdengar dan kali ini semakin keras serta tidak ada jeda. Dita membiarkan semua orang ikut berdiam di dalam kamar utama, selama suara ketukan itu masih terdengar di pintu depan. Kiki seharusnya merasa marah saat melihat bagaimana Seno mendekap Dita untuk membuatnya tenang malam itu. Namun rasa takutnya setelah melihat sosok pocong di teras rumah Dita membuat ia lebih memikirkan rasa takutnya.
"Ya Allah ... bertahun-tahun aku tinggal di Sukamanah dan dekat dengan area pemakaman Pasir Kunci, baru kali ini aku lihat wujud pocong yang benar-benar nyata di depan mataku," ungkap Vito, sambil mengusap-usap dadanya yang masih berdebar hebat akibat ketakutan.
"Jelas? Kamu lihat pocongnya sangat jelas, Vit?" Fandi ingin memastikan.
"Iya, Fan. Demi Allah jelas banget kulihat itu pocong," jawab Vito.
"Wajahnya hangus total, Fan. Tapi yang mengerikan justru bukan wajahnya yang hangus itu, melainkan senyumannya. Ia senyum pas kita berdua melihat ke arahnya lewat jendela depan," tambah Kiki, yang kini tengah menyandarkan kepalanya pada pintu kamar Dita.
Dita semakin gemetar mendengar hal itu, membuat Seno segera mengusap-usap lembut puncak kepalanya agar jauh lebih tenang.
"Be--berarti yang tadi aku bukain pintu sampai tiga kali itu ... pocong, dong?" tanya Dita, kembali menangis.
"Ya ... udah jelas kayanya memang pocong, Dit," jawab Denis sambil memegangi tangan Dita yang masih sedingin es.
"Duh ... ada-ada aja sih yang suka usil di sini. Kita 'kan jadi was-was setiap kali keadaan udah malam begini," keluh Riris.
Keadaan kembali hening. Tak ada lagi suara ketukan di pintu depan yang terdengar oleh ketujuh orang di dalam rumah itu. Mereka kini tampak saling menatap satu sama lain, namun tak mengatakan apa-apa akibat masih merasa takut. Fandi memberanikan diri keluar dari kamar utama itu paling pertama. Langkahnya disusul oleh Vito, Kiki, dan Riris, sementara Denis, Dita, dan Seno keluar paling terakhir--karena Dita jelas jauh lebih shock daripada yang lainnya.
Fandi, Vito, dan Kiki kembali mengintip keluar melalui jendela depan. Keadaan di teras sudah benar-benar kosong dan tak ada lagi sosok pocong yang tadi dilihat oleh Vito dan Kiki. Mereka bertiga tampak sangat lega saat itu hingga memilih segera berbaring di lantai ruang tamu.
"Akhirnya dia pergi," ungkap Kiki.
"Iya. Kalau bisa jangan balik-balik lagi, deh. Usilin orang lain aja, jangan usilin Dita," harap Vito.
Seno kembali mendekap Dita dan kali itu Dita juga membalas dekapannya karena sudah merasa lega. Malam itu kembali berjalan seperti biasanya, meskipun mereka masih berusaha melupakan kengerian yang tadi mereka lewati.
"Lain kali kalau ada yang ketuk pintu jangan dibukain dulu, Dit. Tanya dulu, 'siapa?', kalau enggak jawab abaikan aja. Kalau kita-kita yang datang ditanya 'siapa?' otomatis pasti jawab. Beda lagi kalau yang kaya tadi," ujar Vito, berusaha untuk tidak menyebut kata 'pocong' di dalam kalimat yang diucapkannya.
"Udah, sekarang biarin Dit tenang dulu. Makan deh, habisin makanannya," saran Denis.
"Aku sampai lupa, kalau tadi aku lagi kelaparan pas datang ke sini. Mendadak kenyang pas lihat mukanya po ... mm ... mm ...."
Mulut Kiki langsung dibungkam oleh Riris dengan penuh keikhlasan.
"Enggak usah sebut, Ki. Contoh dong Vito. Dia aja paham kalau yang begituan enggak perlu disebut," omel Riris.
"Tahu, nih! Enggak peka banget sih jadi cowok!" tambah Fandi, ikut mengomel.
Dita menambahkan kari kentang telur puyuh ke dalam mangkuk milik Seno yang sudah hampir kosong. Tak lupa ia menambahkan juga ayam goreng ke piring pria itu.
"Kamu juga tambah makannya. Jangan cuma makan sedikit begitu," saran Seno.
"Iya, aku juga maunya begitu. Cuma aku udah enggak nafsu makan gara-gara kejadian tadi. Badanku rasanya lemas terus. Enggak tahu kenapa," ungkap Dita.
Denis pun segera menyodorkan jus semangka kepada Dita, usai mendengar keluhan dari mulut wanita itu.
"Minum yang manis, Dit. Biar mood kamu balik lagi," saran Denis.
"Iya. Denis benar. Minum jus semangkanya, biar perasaanmu jauh lebih enakan," dukung Seno, seraya mengusap-usap lembut puncak kepala Dita.
Kiki kembali memperhatikan interaksi antara Seno dan Dita, karena keadaan sudah jauh lebih tenang daripada sebelumnya.
"Kalian berdua tuh sadar enggak, kalau interaksi kalian sekarang udah terlalu dekat?" sindir Kiki, tak mau lagi menahan-nahan diri.
Semua orang tidak menatap ke arah Dita maupun Seno ketika mendengar sindiran dari Kiki. Tatapan mereka justru tertuju pada diri Kiki sendiri, sehingga membuat Kiki merasa jengah.
"Ki, kamu sadar 'kan, bahwa selama ini kamu belum pernah minta maaf satu kali pun kepada Dita atas perselingkuhan yang kamu lakukan saat masih jadi pacarnya di SMP?" tanya Denis, usai meletakkan piringnya ke atas permadani.
Dita pun langsung memegang lengan Denis untuk menahannya.
"Jangan halangi aku, Dit!" tegas Denis yang kemudian kembali menatap ke arah Kiki. "Kamu harusnya merasa beruntung, karena sekarang Dita masih mau berbaik hati sama kamu dan menerima kamu untuk jadi temannya. Kamu enggak perlu terus-menerus mengomentari interaksi antara Seno dan Dita. Kalau pun mereka sekarang menjadi lebih dekat daripada saat masih SMP dulu, seharusnya kamu merasa bersyukur. Enggak lucu kalau Dita sama Seno justru sering berantem, sementara mereka berdua adalah inti dari kita semua yang ada di sini. Bagi Riris dan Fandi, Dita adalah inti. Bagi aku, kamu, dan Vito, Seno adalah inti. Kalau mereka terpecah, menurutmu kita bisa berkumpul dengan tenang seperti yang terjadi akhir-akhir ini? Menurutku, Riris ada benarnya waktu memperingatkan kamu soal untuk tidak sok-sokan merasa seperti pria yang sedang mencemburui wanitanya. Saat ini dan selamanya, Dita hanya akan menjadi teman dan sahabat buat kamu, Ki. Apa yang udah terjadi di masa lalu benar-benar tidak akan bisa diperbaiki lagi sekarang. Hanya posisinya, Dita enggak bisa mengatakan itu secara langsung sama kamu, karena dia berusaha menjaga perasaan kamu agar kita tetap bisa bersahabat seperti sekarang. Kamu harusnya paham akan hal itu, Ki. Sekarang bukan lagi saatnya bagi kita untuk bertingkah seperti anak kecil. Kita udah mulai menua."
Kiki benar-benar diam ketika akhirnya Denis buka suara soal dirinya dan kesalahannya di masa lalu pada Dita. Pria itu hanya menatap ke arah piringnya saja, tanpa berani menoleh ke arah manapun.
"Lagi pula kalau boleh jujur ..." Dita buka suara, "... dulu aku enggak pernah benar-benar suka sama kamu, Ki."
"Dita," tegur Fandi, agar Dita segera berhenti bicara.
"Maaf, Fan. Kayanya kita memang harus jujur sama Kiki, biar dia berhenti salah paham dan sadar kalau dulu dia ada di lingkungan yang toxic," Dita memohon.
"Iya, aku setuju," tanggap Riris.
Tatapan Kiki kini terarah hanya pada Dita, Fandi, dan Riris.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] Memutuskan untuk pindah ke rumah kontrakan baru ternyata tidak berjalan lancar bagi kehidupan Dita. Rencana awalnya, ia ingin pindah agar pekerjaannya lancar karena rumah berdekatan dengan tempat kerja. Namun nyatanya rencana itu justru...