20 | Diskusi

1K 98 0
                                    

Nafas Dita masih naik turun tidak menentu, ketika Kiki sampai di luar sambil menggendong Riris yang tampak begitu histeris. Fandi segera melebarkan pintu mobilnya, agar Riris bisa ditempatkan di sisi Dita yang masih ditenangkan oleh Denis.


"Riris kenapa, Ki?" tanya Denis, tampak kaget dengan histerisnya Riris saat itu.

"Enggak tahu, Den. Mendadak dia teriak dan bilang tutup pintu kamar mandinya, nanti dia keluar," jawab Kiki.

Seno dan Vito menyusul mereka tak lama kemudian, setelah Seno mengambil tas milik Dita--yang biasa dibawa oleh wanita itu--pakaian dari dalam lemari, beserta ponsel yang tadi tergeletak di atas meja makan. Semua pakaian Dita Seno masukkan ke dalam paper bag yang tadi ada di kamar kedua.

"Ayo, sebaiknya kita pergi aja dari sini sementara waktu. Demi Allah keadaan rumah ini jauh lebih menyeramkan daripada suasana pemakaman Pasir Kunci," ajak Vito.

"Kita mau ke mana?" tanya Fandi.

"Ke rumah aku aja yang dekat, Fan. Biar Dita bisa mandi dan Riris bisa menenangkan diri dulu," jawab Seno.

Usul Vito dan Seno langsung disetujui oleh Fandi, Denis, dan Kiki. Dita benar-benar masih menangis setelah melihat darah yang begitu banyak di depan matanya. Dia tampak sangat shock dan sulit untuk membuka kedua matanya karena rasa takut tersebut. Riris sendiri saat ini masih terus membaca ayat kursi berulang-ulang, demi melupakan yang dilihatnya tadi di kamar mandi rumah Dita.

Mobil milik Fandi kini telah keluar dari area deretan rumah kontrakan dan berbelok menuju ke arah rumah Seno yang jaraknya sangat dekat. Mobil Fandi akhirnya tiba di halaman rumah Seno dan parkir di sana. Seno segera membantu Dita untuk turun dari mobil itu bersamanya. Semua orang mengikuti langkah Seno. Mereka memilih tidak banyak bicara dulu, agar Dita dan Riris bisa benar-benar tenang.

"Ini pakaian kamu, Dit. Aku ambil asal-asalan dari lemarimu tadi. Entah bisa kamu pakai atau tidak, nanti aku carikan solusi lain kalau memang pakaian itu tidak ada yang cocok dengan yang seharusnya. Kamu mandi di kamar mandi yang ada di kamarku aja. Kunci dari dalam biar enggak ada yang masuk selama kamu belum selesai," ujar Seno.

Dita--yang masih berusaha untuk berhenti menangis--kini menahan lengan Seno selama beberapa saat, sebelum pria itu benar-benar beranjak dari sisinya.

"Maaf ya, Sen. Tadi aku mendadak sehisteris itu di depan kamu dan bahkan mungkin aku enggak sadar udah bentak-bentak kamu. Aku takut banget tadi, Sen. Aku enggak bisa melihat darah sebanyak itu. Rasa takut akan menutupi akal sehatku, kalau aku melihat darah sebanyak itu," jelas Dita, yang tampak tidak mau Seno salah paham terhadapnya.

Seno memutuskan untuk duduk sebentar di sisi Dita dan menggenggam kedua tangan wanita itu dengan lembut. Yang lainnya sedang menenangkan Riris, sehingga tidak melihat apa yang sedang terjadi di antara Dita dan Seno.

"Hei, kamu enggak perlu minta maaf. Kamu tadi ketakutan, dan aku paham bahwa yang namanya takut pasti akan selalu menutup akal sehat manusia mana pun sehingga bisa bertindak berbeda dari biasanya. Enggak apa-apa, Dit. Kalau memang harus kamu tumpahkan perasaanmu itu, maka tumpahkan. Jangan tahan-tahan diri kalau memang kamu sedang ada pada titik yang membuatmu tidak nyaman. Kamu boleh ungkapkan rasa tidak nyamanmu, rasa takutmu, dan bahkan rasa lelahmu sama aku. Aku akan dengarkan, Dit. Aku enggak akan menutup mata," ujar Seno.

Pria itu berusaha meyakinkan Dita bahwa tidak akan ada yang berubah, meski Seno perlahan-lahan tahu bahwa terkadang Dita bisa menjadi sosok yang penakut. Seno sama sekali tidak merasa jengah dengan ketakutan yang terjadi pada diri Dita tadi. Ia justru merasa khawatir dan ingin segera menenangkan Dita.

"Sekarang kamu masuk ke kamarku, ya. Kunci pintunya dari dalam dan mandi dengan tenang. Jangan terus dipikirin kejadian yang tadi," bujuk Seno.

Dita pun mengangguk pelan, lalu segera menerima paper bag miliknya yang disodorkan oleh Seno. Setelah Dita masuk ke kamarnya dan mengunci pintu, Seno pun segera beranjak ke dapur untuk membuat teh hangat. Pagi itu semua orang jelas masih sangat shock setelah melewati keanehan yang terus terjadi di rumah kontrakan Dita. Ketika dirinya tiba di ruang tamu, Riris tampak sudah jauh lebih baik ketimbang tadi.

"Ayo semua, diminum dulu teh hangatnya. Oh ya, Vit, ada nasi goreng tuh di meja makan. Sarapan dulu sana, nanti kamu masuk angin kalau enggak sarapan. Atau kalau kamu mau ganti baju dulu juga boleh. Pakai aja bajuku yang ada di kamar penyimpanan," saran Seno.

Vito pun segera bangkit dari permadani yang menjadi tempatnya duduk sejak tadi. Semua orang kini benar-benar menikmati teh hangat yang Seno sajikan.

"Dita mana, Sen?" tanya Denis.

"Di kamarku. Biarkan dia mandi dulu dan mengganti pakaiannya yang basah. Dia mengunci pintunya dari dalam, kok," jawab Seno.

Riris terlihat kembali memejamkan kedua matanya. Kiki kembali menepuk-nepuk pundak Riris agar wanita itu bisa benar-benar tenang.

"Tadi ... aku dengar Vito bilang, 'isinya air, tuh'. Terus Seno bilang sama kamu, 'coba lihat lagi ke kamar mandi, Ki. Showernya masih keluar darah atau enggak?'. Aku pikir, jarak posisi aku ke kamar mandi itu lebih dekat daripada kamu. Makanya aku langsung berjalan cepat ke kamar mandi itu untuk memastikan showernya sekarang masih keluar darah atau udah berganti air. Tapi pas sampai di ambang pintunya, aku lihat ... aku lihat ... ada perempuan berdiri di bawah shower itu dan benar-benar lagi mandi darah. Wajahnya hancur, tangannya berusaha menggapai ke arahku, makanya aku langsung teriak dan berusaha lari," ungkap Riris, yang kini sudah kembali menangis seperti tadi.

Vito--yang baru saja muncul setelah berganti pakaian dan mengambil nasi goreng--tampak mendesah pelan.

"Fix! Berarti itu rumah kontrakan memang ada apa-apanya sejak awal," cetus Vito.

"Kalau memang rumah kontrakan itu ada apa-apanya, seharusnya rumah-rumah lain yang ada di jajarannya juga terkontaminasi. Tapi rumah-rumah lain yang terisi pada adem ayem aja, tuh. Enggak ada kita dengar keluhan yang aneh-aneh dari tetangga dekatnya Dita," ujar Fandi.

"Kamu udah coba nanya sama tetangganya Dita, Fan?" tanya Denis

"Belum, sih. Tapi 'kan kita bisa lihat sendiri bahwa mereka memang adem ayem aja selama tinggal di situ," jawab Fandi.

"Udah. Daripada kalian saling berdebat, mendingan kita pertemukan Dita sama pemilik kontrakannya secara langsung. Kita tanya deh, sebenarnya ada apa sama rumah itu," saran Kiki. "Kok bisa, baru empat hari ditempati udah bikin yang tinggal hampir kena serangan jantung."

"Iya, sih. Lebih baik memang begitu. Tapi kita juga harus tanya Dita lebih dulu. Kita harus tahu secara pasti, apakah sebenarnya udah sejak awal sering ada kejadian aneh di rumah itu atau baru sekarang-sekarang aja?" cetus Vito.

* * *

KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang