14 | Ditembak

1.1K 109 2
                                    

Kiki terus saja memukuli kemudi pada mobilnya karena merasa kesal dengan gagalnya rencana yang sudah ia susun. Ia kini sedang bicara dengan perempuan yang tadi datang ke Star Cafe dan malah membuat kegaduhan.


"Kamu itu penipu ternyata, ya!!! Andai aku tahu, aku enggak akan menyuruh kamu untuk muncul!!! Semua rencanaku jadi berantakan gara-gara kamu!!!" bentak Kiki.

"Aku bukan penipu, Ki. Aku juga heran kenapa bisa ada wajahku di papan iklan itu. Aku benar-benar bukan penipu," jelasnya.

"Ah, enggak usah banyak ngomong kamu!!! Pokoknya mulai sekarang aku enggak mau kenal sama kamu lagi!!! Jangan pernah hubungi aku lagi!!!" balas Kiki, yang kemudian langsung memblokir nomor telepon perempuan itu.

Di Star Cafe, Dita sekarang sedang melihat kalau poster pengumuman di papan iklan itu dicabut. Di internet, tingkah polah perempuan tadi sudah tersebar bersama poster buronan yang ia pasang. Tidak ada satu pun media sosial yang luput dari penyebaran video yang direkam oleh pelanggan Star Cafe.

"Mulai detik ini, perempuan itu tidak akan lagi mencoba mengganggu Seno. Aku tidak akan membiarkannya," gumam Dita, begitu pelan.

Ponselnya mendadak berbunyi. Dita segera meraih ponsel itu dari atas meja kerjanya. Kedua matanya menatap nama Seno tertera pada layar dan segera mengangkatnya.

"Halo, assalamu'alaikum, Sen," sapa Dita.

"Wa'alaikumsalam, Dit. Kamu lagi sibuk atau enggak? Aku boleh ngobrol sebentar lewat telepon? Tadi kita enggak sempat ngobrol sama sekali karena ada acara di Cafemu. Kamu sibuk, dan aku enggak berani ganggu," ujar Seno, terdengar sangat berharap bisa mengobrol dengan Dita.

"Boleh. Kebetulan aku lagi istirahat saat ini. Tadi aku udah banyak kerja, jadi sekarang waktunya bagiku untuk bersantai sejenak. Maaf ya, kalau tadi aku enggak sempat ngobrol banyak sama kamu. Kita cuma sempat ngobrol sedikit saat ada penipu yang berusaha memeras kamu. Oh ya, gimana tumbler-nya? Suka?" tanya Dita, berbasa-basi.

Seno meraih tumbler yang tadi ia menangkan dan tersenyum saat menatapnya.

"Suka, Dit. Mulai sekarang sepertinya tumbler ini akan kubawa ke mana-mana. Setiap lihat tumbler ini aku jadi ingat kamu, gara-gara ada tanda tangan dari kamu di bagian luarnya. Apakah jawabanku barusan terdengar konyol?" Seno bertanya balik.

"Enggak, kok. Sama sekali enggak ada yang terdengar konyol dari jawaban kamu. Aku senang karena kamu akan menggunakan tumbler itu mulai dari sekarang. Aku jadi merasa ... hadiah yang aku kasih itu sangat berguna buat kamu," jawab Dita, apa adanya.

"Berguna, Dit. Sangat berguna. Kamu enggak usah khawatir. Aku tadi cukup kaget saat mendengar nomor undianku disebut. Aku juga kaget karena kamu memeluk aku saat mengucapkan selamat. Aku ... baru aja merasa jadi pria paling beruntung di dunia," ungkap Seno.

"Hanya karena aku kasih kamu hadiah undian, pelukan singkat, dan ucapan selamat? Masa, sih? Memangnya menurut kamu tiga hal tadi sangat berkesan, gitu?" Dita mendadak penasaran.

"M-hm. Ketiga hal tadi sangat berkesan buat aku, Dit. Entah kamu mau berpikir aku sedang berbohong atau aku saat ini terlalu lebay dan baper, tapi kenyataannya memang begitu yang aku rasakan. Ketiga hal tadi ... dimulai dari menerima hadiah dari kamu secara langsung, mendapat pelukan singkat yang begitu hangat dari kamu, dan juga ucapan selamat yang sulit aku lupakan sampai detik ini ... semuanya sangat berkesan buatku dan aku tidak akan pernah bisa lupa akan hal itu," tutur Seno, sesuai dengan apa yang sedang dirasakannya.

Dita terdiam selama beberapa saat dan Seno paham kalau mungkin Dita merasa kaget serta sedikit merasa jengah, akibat dari apa yang baru saja ia katakan secara terbuka. Maka dari itu Seno sama sekali tidak memaksa Dita untuk menanggapi apa yang baru saja didengar oleh wanita itu.

"Ekhm! Sen ... boleh aku jujur?"

Dita meminta izin terlebih dahulu. Hal itu membuat Seno tersenyum kembali dan benar-benar merasa kalau Dita terlalu sopan, bahkan dengan teman seusianya sendiri.

"Boleh, Dit. Kamu mau jujur soal apa?"

"Uhm ... begini, Sen. Barusan tuh, entah kenapa, aku merasa kalau kamu seperti seorang pria yang sedang mengungkapkan perasaan pada calon pacar atau calon Istri. Apakah itu perasaanku aja yang berlebihan, atau memang kamu berniat mengutarakan perasaan sama aku? Kalau kamu mau jawab, silakan. Kalau kamu mau langsung tutup telepon ini juga silakan, Sen. Saat ini aku mungkin terdengar sedikit terlalu percaya diri, jadi aku akan menganggap wajar kalau kamu mendadak enggak mau lagi ngomong sama aku. Jadi ...."

"Kalau memang iya aku mau mengutarakan perasaan sama kamu, jawabanmu kira-kira bagaimana, Dit?" potong Seno, secepat mungkin.

"Hah? Gimana, Sen?" Dita berharap akan ada pengulangan dari mulut Seno, meskipun tadi dirinya sudah mendengar dengan jelas apa pertanyaannya.

"Kalau memang aku mau mengutarakan perasaan sama kamu, jawabanmu kira-kira bagaimana, Dit? Kamu mau terima aku atau enggak?" ulang Seno, dengan pertanyaan yang lebih lengkap dari sebelumnya.

Dita mendadak kembali terdiam, namun tak begitu lama.

"Untuk jadi pacarmu?" tanya Dita.

"Untuk jadi Istriku, Dita. Usiaku dan usiamu sudah tidak cocok lagi kalau baru mau mulai punya hubungan pacaran," jawab Seno, terdengar sedikit gemas karena Dita tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Sen ... kamu sehat, 'kan?"

"Sehat, Dit. Alhamdulillah, aku sehat wal 'afiat. Aku segar bugar, tidak sedang mengantuk ataupun sedang bermimpi. Jadi ... apa jawabanmu? Kamu mau terima aku atau enggak untuk jadi Suami kamu? Jawab ya, aku deg-degan banget sekarang gara-gara kamu," Seno semakin panas-dingin.

"Lah? Kamu yang nembak, kok kamu yang deg-degan sendiri? Harusnya aku yang bilang gitu, Sen. Aku deg-degan tahu dari tadi gara-gara kamu mengajukan pertanyaan mendadak begitu," protes Dita, tak main-main.

"Jadi ... apakah kamu butuh waktu untuk menjawab pertanyaanku?" duga Seno.

"Enggak. Aku butuhnya kita ketemu sekarang juga dan bicara secara langsung. Kalau memang kamu serius dengan pertanyaanmu tadi, kamu harus menanyakannya langsung di depanku. Bukan lewat telepon begini," tegas Dita.

"Oke. Aku akan jalan sekarang ke Cafemu lagi," sambut Seno, tanpa basa-basi.

"Tapi bicaranya enggak di sini, ya. Kalau kamu sampai, kita akan langsung pergi ke tempat yang aku pilih untuk bicara berdua."

"Oke. Aku akan serahkan pilihan tempatnya sama kamu," Seno langsung setuju. "Aku tutup dulu teleponnya karena mau nyetir. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut."

"Insya Allah, aku enggak akan ngebut."

Setelah sambungan telepon itu terputus, Dita pun langsung melompat dari kursinya dan membuka lemari berisi pakaian cadangan miliknya.

"Astaghfirullah!!! Aku harus pakai baju apa untuk ketemu sama Seno???" jerit Dita, cukup frustrasi dengan isi lemarinya sendiri.

* * *

KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang