4 | Terbanting Ke Lantai

1.6K 142 3
                                    

Setelah perasaannya tenang, Dita pun kembali meneruskan kegiatan memasak yang tadi ditundanya bersama Seno. Di ruang tamu terdengar semua orang kembali mengobrol seperti tadi. Sesekali Dita kembali menatap ke arah pintu dapur, namun kemudian berusaha melupakan yang tadi terjadi.


"Udah, enggak usah terlalu dipikirin. Mungkin benar kata Riris, kalau tadi pintunya terbanting karena tertiup angin dari plafon," ujar Seno, mencoba membuat Dita tenang.

"Iya. Mungkin Riris benar," sahut Dita, yang baru saja menyajikan sambal goreng terong ke atas piring.

Semua masakan sudah matang. Seno pun membantu Dita membawa semua menu tersebut ke ruang tamu. Meja makan di rumah itu terlalu kecil, jadi Dita memutuskan sebaiknya mereka makan saja di atas permadani.

"Wah ... perutku mendadak missed call," ujar Fandi.

Denis dan Vito kompak langsung meraba perut Fandi dengan ekspresi bingung.

"Kamu habis makan ponsel, Fan? Kok bisa bisa ada yang missed call dari dalam perut?" tanya Denis.

Dita langsung mengerenyitkan keningnya, lalu memukul bahu Denis dan Vito menggunakan serbet.

"Bukan itu yang dimaksud Fandi. Itu cuma kiasan aja. Ya Allah ... pikiran kalian tuh selalu aja nyasar ke mana-mana," omel Dita, akibat merasa gemas.

"Udah, maklumin aja. Kamu kaya enggak pernah kenal Vito sama Denis. Mereka memang selalu begitu dan tidak memandang tempat kalau kumat errornya," ujar Seno.

Denis dan Vito pun tertawa geli saat berhasil memancing darah tinggi seseorang. Meskipun awalnya target mereka bukanlah Dita, melainkan Riris, namun hal itu jelas sangatlah memuaskan bagi keduanya. Acara makan malam itu pun dimulai. Dita merasa bersyukur, karena tadi ia memasak nasi dalam takaran yang jauh lebih banyak daripada biasanya. Ia benar-benar tidak menduga kalau akan ada tamu tambahan yang datang ke rumahnya.

"Wah ... tempe sama tahu gorengnya enak. Bumbunya berasa. Yang masak ini benar-benar idaman aku banget dan udah bisa aku nikahi kayanya," puji Kiki sambil menatap ke arah Dita.

Dita pun langsung menepuk pundak Seno dan membuat pria itu menatap ke arahnya.

"Sen, kata Kiki tempe dan tahu goreng buatanmu enak, tuh. Katanya kamu juga idamannya dan udah bisa dia nikahi. Kasih jawaban sekarang juga untuk Kiki. Biar dia tenang dan tidak merasa digantung," saran Dita.

Seno mendadak tersedak sambal goreng terong, sementara wajah Kiki kini sudah memerah dengan sempurna. Yang lainnya hanya bisa tertawa pelan-pelan, karena saat itu mulut mereka tengah terisi penuh dengan makanan.

"Astaghfirullah hal 'adzhim, Dita! Bisa-bisanya kamu menjodohkan Kiki dan Seno. Kamu tuh dari dulu memang paling jago kalau udah nyomblangin orang," puji Fandi setelah minum air putih.

Kiki dan Seno kini saling menatap, lalu setelahnya mereka saling melempar batang daun kemangi yang sudah tidak berdaun karena dijadikan lalapan.

"Hush! Jauh-jauh kamu dari aku!" usir Seno.

"Kamu juga! Jangan pernah dekat-dekat denganku lagi!" Kiki ikut mengusir.

BRAKKK!!!

"ASTAGHFIRULLAH HAL 'ADZHIM!!!" teriak Dita, Riris, Fandi, dan Vito.

Pintu dapur kembali terbanting dan terbuka sendiri seperti tadi. Hal itu membuat semua orang menjatuhkan tatap ke arah yang sama.

"Itu pintu dapur lama-lama bakalan aku smackdown, deh!" geram Dita.

Seno langsung mengusap-usap puncak kepala Dita usai mendengar niatan dan ekspresi kesal wanita itu.

"Diganjal dong, Dit. Masa pintu terbanting malah mau dismackdown. Udah ... kamu lanjut makan lagi. Biar aku yang ganjal pintunya," ujar Seno.

Seno pun bangkit dari atas permadani dan berjalan menuju ke arah pintu dapur. Pria itu benar-benar ingin mengganjal pintu tersebut, agar tidak lagi terbanting sendiri. Dita mengawasinya, meskipun Seno sudah menyuruh agar dirinya kembali melanjutkan makan. Seno baru sampai di ambang pintu dapur, ketika Dita melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa pintu itu kembali berayun ke arah pria itu.

"Seno awas!!!"

BRAKKK!!!

Seno pun terlempar dari ambang pintu dan terbanting ke lantai. Dita dengan cepat bangkit dan meraih tubuh Seno ke dalam pelukannya.

"Sen ... kamu enggak apa-apa, 'kan? Ada yang sakit? Ada yang luka?" tanya Dita, khawatir.

Yang lainnya segera membantu memeriksa tubuh Seno, karena pria itu terdengar sedikit meringis. Fandi mendekat ke arah pintu dapur perlahan-lahan, karena takut akan merasakan terbanting di lantai seperti yang Seno alami.

"Kok kamu bisa sampai terbanting sih, Sen?" tanya Denis.

"Pintunya tadi bergerak sendiri, Den. Aku lihat dengan jelas, kalau pintunya bergerak dan terbanting sendiri ke arah Seno," jawab Dita, membantu Seno menjelaskan.

"Apa karena tertiup angin lagi, ya?" tanya Fandi, yang kini sedang mencoba menahan pintu dapur.

"Tadi sama sekali enggak terasa ada angin kok, Fan. Demi Allah, enggak ada," jawab Seno.

"Ya, udah. Positif thinking aja. Mungkin pintunya memang engselnya rusak sehingga harus selalu diganjal biar enggak kebanting sendiri," saran Vito.

Dita pun segera membantu Seno agar bisa kembali berdiri. Seno jelas ingat kalau tadi Dita adalah yang pertama meraihnya dan memeluknya karena khawatir. Hal itu membuat wajah Seno memerah di dalam diamnya. Semua orang kembali ke ruang tamu dan melanjutkan makan, setelah pintu dapur benar-benar diganjal. Kiki mengawasi Seno dan Dita, setelah sejak tadi dirinya tidak ikut campur dengan urusan pintu dapur dan hanya memperhatikan gerak-gerik kedua orang tersebut. Mulai dari Seno yang mengusap-usap puncak kepala Dita, Dita yang terus memperhatikan Seno dan teriak paling awal untuk memperingatkan, sampai pada akhirnya Dita yang meraih tubuh Seno setelah terbanting ke lantai dan memeluknya karena khawatir. Perasaan Kiki jelas terasa panas karena melihat hal-hal itu. Namun ia tidak mau membahasnya, karena takut disebut perusak suasana.

"Ki? Kenapa malah bengong? Enggak mau dihabisin makanannya?" tegur Vito, sambil menunjuk ke arah piring milik Kiki.

"Oh, iya. Ini baru mau aku habisin, kok," balas Kiki.

Seno tahu kalau Kiki sejak tadi mengawasi dirinya dan juga Dita. Namun ia memilih untuk berpura-pura tidak tahu, agar tak perlu ada ketegangan di antara dirinya dan Kiki setelah pulang dari rumah Dita.

"Kenapa kamu baru pindah ke sini sekarang, Dit? Seingatku, dulu kamu enggak pernah mau pindah dari Kadungora," Denis ingin tahu.

"Tempat kerjaku di Malangbong, Den. Jadi aku memutuskan pindah setelah enam bulan merasakan banyak sekali pengeluaran untuk bensin hanya karena aku menghabiskan waktu satu jam lebih perjalanan dari Kadungora ke Malangbong dan begitu pun sebaliknya," jawab Dita.

"Kamu kerja di Malangbong? Di mana tempat kerjamu itu, Dit?" Vito juga ikut bertanya, karena tadi dirinya bertemu dengan Dita di minimarket Malangbong.

"Di Star Cafe, Vit."

"Kamu kerja sebagai apa di situ? Kasir? Waiter? Barista?" Denis kembali bertanya.

"Dia pemilik Star Cafe, Den. Dia yang punya dan karyawannya yang mengerjakan semua pekerjaan yang tadi kamu sebutkan," ujar Riris,

"Ah ... ternyata Cafenya punya kamu sendiri. Kenapa enggak bilang-bilang selama ini? Kalau kamu bilang, kita tuh bisa makan siang di Cafemu kalau lagi istirahat dari tempat kerja," cetus Kiki.

"Alah, modus! Bilang aja kalau kamu mau mencoba mencari kesempatan untuk bisa dekat lagi sama Dita!" tembak Riris. "Memangnya Intan ke mana, Ki? Kamu udah dibuang ya sama dia, setelah dia mendapatkan laki-laki yang lebih ganteng dan lebih tajir daripada kamu?"

"Riris!" tegur Dita dan Fandi dengan cepat.

* * *

KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang