"Yakin, kita mau ke rumah itu lagi?" tanya Vito.
"Mau enggak mau, ya aku harus ke sana, Vit. Aku harus ambil pakaianku dulu dan juga beberapa hal penting yang tadi enggak sempat Seno ambilkan untukku," jawab Dita."Udah, enggak usah parno dulu. Mungkin sekarang keadaannya udah jauh lebih tenang daripada tadi. Toh Dita enggak akan ke sana sendirian. Kita 'kan akan ikut sama dia dan menemani dia, sementara Seno dan Kiki menemui Pak RT sebelum mempertemukan Dita dan pemilik kontrakan," sahut Fandi, menengahi.
"Iya, Vit. Tiga cowok dan satu cewek, aku rasa cukuplah untuk menemani Dita ke rumah itu lagi. 'Kan Dita cuma mau ambil beberapa barang keperluannya aja di sana. Nanti malam dia mau menginap di rumah Riris untuk sementara waktu," tambah Denis.
"Kalau kalian takut, biar aku sama Dita aja yang ke sana. Antar kami sampai ujung jalan di blok D aja," ujar Riris.
"Enggak akan, Ris. Kita enggak mau terjadi apa-apa lagi sama kamu dan Dita. Jadi apa pun alasannya, kita bertiga akan tetap ikut," tegas Vito.
Mobil milik Fandi akhirnya berbelok ke jalanan di depan kontrakan blok D tersebut. Seperti biasa, keadaan di blok itu sangat sepi meski Dita bukanlah satu-satunya orang yang mengontrak di sana. Tetangga lain di blok D itu benar-benar bekerja mulai pagi-pagi buta dan selalu pulang hampir tengah malam. Hal itu jelas membuat suasana semakin terasa menakutkan meski pada waktu siang. Mobil itu berhenti di depan rumah kontrakan nomor tiga belas yang Dita sewa. Mereka pun turun bersama-sama, lalu segera berjalan menuju ke arah pintu.
"Motormu aku keluarin memang, ya, Dit. Biar sebentar kamu tinggal bawa aja kalau urusan kita di dalam udah selesai," ujar Denis.
"Iya Den, boleh. Keluarin aja. Ini kuncinya," tanggap Dita, sambil mengeluarkan kunci motor dari dalam tasnya.
Denis benar-benar mengeluarkan motor itu dari halaman dan meletakkannya di samping mobil milik Fandi. Dita, Riris, Vito, dan Fandi kini sudah masuk lebih dulu ke dalam rumah kontrakan nomor tiga belas tersebut. Di dalam rumah, Fandi segera menempelkan beberapa buah stiker berwarna merah dengan tulisan arab di dalamnya pada dinding rumah itu tanpa sepengetahuan Dita. Vito melihatnya dan mengerutkan kening selama beberapa saat.
"Stiker apaan, tuh?" tanya Vito.
"Stiker yang biasanya aku dapat setelah pergi ziarah ke beberapa makam Kiayi, Vit. Ada beberapa di mobilku, jadinya kubawa aja dan kutempel di sini. Biar enggak ada yang gangguin kita lagi," jawab Fandi, jujur.
"Memangnya menurut kamu yang halus-halus akan menjauh kalau ada stiker seperti itu? Yang halus-halus itu enggak akan marah 'kan, ya? Aku takut mereka malah merasa diejek karena kamu menempeli stiker itu. Lagi pula, kita sama enggak tahu apa arti tulisan arab di dalam stiker itu, Fan. Gimana kalau ternyata itu justru akan memancing mereka untuk datang? Dan... memangnya itu jatuhnya bukan musyrik, ya?"
Vito benar-benar mengajukan banyak pertanyaan pada Fandi, dan hal itu jelas membuat Fandi merasa sangat ragu.
"Tapi mau gimana lagi, Vit? Masalahnya kalau sampai ada yang menggangu lagi saat urusan Dita belum selesai, kita jelas akan kerepotan. Seno dan Kiki lagi enggak ada di sini untuk bantuin kita. Kasihan Dita, Vit, kalau dia harus menghadapi hal-hal aneh lainnya," jelas Fandi, tentang apa yang dikhawatirkannya sejak tadi.
"Tapi aku malah takut itu justru memancing yang halus-halus untuk marah, Fan. Gimana kalau stiker itu ditempel, lalu setelahnya malah terjadi kejadian buruk lagi? Aku benar-benar enggak bisa membayangkan itu," ujar Vito.
Denis masuk ke rumah itu tak lama kemudian dan melihat kedua pria itu serta stiker yang Fandi sedang tempelkan pada dinding.
"Stiker apaan, tuh?" tanya Denis.
"Kata Fandi, itu stiker ...."
"Arrrggghhhh!!!"
Teriakan Riris kembali terdengar dari dalam kamar kedua di rumah itu. Denis, Fandi, dan Vito segera berlari menuju kamar itu dengan terburu-buru. Mereka pun melihat Riris yang sudah terduduk ketakutan di lantai, sementara Dita baru saja keluar dari kamar utama karena dirinya juga mendengar teriakan Riris.
"Ris, ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba teriak?" tanya Fandi, yang kini sudah berlutut tepat di samping Riris.
"I--itu ... ta--tadi ... Dita ... Dita ada dua, Fan. Aku baru aja bicara sama Dita di kamar utama, terus aku ke sini untuk mengambilkan Dita tas yang besar. Ta--tapi wa--waktu aku ma--masuk, ternyata Dita juga ada di sini. Di--Dita yang aku lihat di sini ta--tadi mendadak tertawa dan menyapa aku ke--ketika aku memperhatikan dia. Dia bilang, 'hai, Riris. Kangen enggak sama aku?', gitu, Fan," jawab Riris, terbata-bata.
Setelah mendengar penjelasan itu dari mulut Riris, tatapan Vito pun terarah pada Fandi.
"Tuh 'kan, apa kubilang tadi, Fan. Kejadian lagi 'kan, akhirnya," Vito mulai gelisah.
Setelah Vito bicara seperti itu pada Fandi, mendadak terdengar suara pecahan piring yang terjadi bertubi-tubi di dapur rumah itu. Semua orang kembali merasa kaget dan merinding dalam waktu bersamaan.
"Ya Allah, apa lagi sih yang terjadi?" Dita terdengar kembali ketakutan.
"Tenang, Dit. Tenang. Kita ada di sini kok. Kamu jangan takut," bujuk Vito, sambil merangkul Dita seperti yang biasa Denis lakukan.
"Tunggu di sini. Biar aku cek dulu ke dapur," ujar Denis.
Fandi kini berjalan di belakang Denis menuju ke arah dapur. Vito melindungi Dita di belakang punggungnya, sementara Riris memilih masuk ke kamar utama yang jauh lebih terang. Di dapur, keadaan tampak sangat kacau. Semua piring dan gelas pecah berkeping-keping di lantai. Bahkan perlatan masak pun juga tak luput dari amukan sesuatu di rumah itu.
"Dita!!! Tolong!!!" teriak Riris.
Dita kembali berbalik dan segera berlari ke arah kamar tanpa menunggu yang lainnya. Sesampainya di kamar utama, Dita melihat satu sosok nenek tua berwajah seram yang sedang mencekik Riris di tempat tidur. Dita ingin berteriak, namun suaranya mendadak tidak bisa keluar. Sosok nenek tua berwajah seram itu pun mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Dita. Perasaan takut benar-benar menguasai Dita ketika tatapan sosok nenek tua berwajah seram itu terarah kepadanya. Suaranya benar-benar tak bisa keluar, hingga akhirnya Dita hanya bisa pasrah ketika sosok nenek tua berwajah seram itu mendekat padanya dengan cepat dan mencekik dirinya begitu kuat. Tak ada lagi yang bisa Dita lakukan, baik itu untuk Riris ataupun untuk dirinya sendiri. Nafasnya begitu sesak, hingga semuanya berakhir dalam kegelapan bagi Dita.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] Memutuskan untuk pindah ke rumah kontrakan baru ternyata tidak berjalan lancar bagi kehidupan Dita. Rencana awalnya, ia ingin pindah agar pekerjaannya lancar karena rumah berdekatan dengan tempat kerja. Namun nyatanya rencana itu justru...