Seno tiba di Star Cafe sore itu setelah pulang kerja. Ia akan menjemput Dita seperti biasanya. Sebuah kebiasaan baru yang akhirnya Seno jalani selama tiga minggu terakhir setelah menikah dengan Dita. Dita selalu tersenyum ketika menyambut kedatangan Seno dan hal tersebut juga menjadi kebiasaan baru yang Dita lakukan selama tiga minggu terakhir. Kebiasaan-kebiasaan itu akhirnya membuat Herman dan Helmi tak bosan-bosannya memberi sindiran pada pengantin baru, yang tampaknya enggan melepas gelar pengantin barunya tersebut.
"Assalamu'alaikum, Sayang," sapa Seno yang saat itu sudah memeluk Dita dengan erat."Wa'alaikumsalam, Sayang. Kamu mau kita langsung pulang atau sebaiknya kita pergi belanja kebutuhan rumah lebih dulu, sebelum pulang?" tanya Dita.
"Mungkin sebaiknya kita belanja kebutuhan rumah dulu sebelum pulang. Nanti malam yang lainnya mau datang ke rumah kita, 'kan?" jawab Seno, seraya mengingatkan Dita tentang rencana berkumpul nanti malam bersama kelima sahabat mereka.
"Oke. Kalau begitu aku ambil tas dulu di ruanganku. Kamu tunggu di sini aja, sekalian ambil minuman favorit kamu yang lagi dibuat sama Helmi," ujar Dita.
"Oke. Aku akan tunggu kamu di sini," Seno setuju.
Setelah Dita naik ke lantai dua, Seno pun mendekat ke tempat biasa ia menunggu. Helmi mendekat ke arah Seno dan menyerahkan segelas banana split frappuccino yang baru selesai ia buat. Herman ikut mendekat setelah mengantarkan pesanan pada salah satu meja.
"Kak Seno, kata Kak Dita, resepsi pernikahan kalian akan diadakan bulan depan tanggal tujuh. Itu benar?" tanya Helmi.
"Iya, benar. Insya Allah tanggal tujuh bulan depan kami akan melaksanakan resepsi pernikahan," jawab Seno.
"Kalau undangannya udah siap untuk disebar, kasih tahu kita berdua Kak. Biar kita bantu sebar undangan juga. Kita banyak tahu alamat di seluruh Kecamatan Malangbong sini, kok," ujar Herman.
"Boleh. Tapi kalau kalian ikut sebar undangan bersama kelima sahabat kami, nanti yang jaga Cafe siapa? Istriku pasti akan istirahat setidaknya dua hari sebelum menjelang acara resepsi pernikahan kami."
"Eh, iya juga. Kasihan Kak Dita kalau sampai enggak punya waktu untuk istirahat sebelum acara," pikir Helmi.
Seno pun tertawa pelan.
"Udah, kalian enggak usah ikutan pusing. Nanti kelima sahabat kami akan dibantu oleh Adiknya Denis juga, kok. Jadi Insya Allah, enggak akan ada undangan yang tidak sampai ke alamatnya."
"Wah, alhamdulillah kalau begitu, Kak. Berarti kami enggak perlu khawatir, jika kelima sahabat kalian benar-benar akan mendapat bantuan ketika menyebarkan undangan resepsi pernikahan itu," ungkap Herman, jauh lebih lega.
Dita muncul tidak lama kemudian, lalu segera mengajak Seno untuk pergi berbelanja ke minimarket yang tak berada jauh dari Cafe. Seno membiarkan Dita memenuhi keranjang belanjaan yang tengah dipegangnya. Dita sangat serius membaca catatan belanjaan yang sudah dibuatnya sejak pagi, sehingga Seno beberapa kali harus mengarahkan Dita agar berjalan dengan benar sebelum menabrak rak di minimarket ataupun pengunjung lainnya.
Usai berbelanja, mereka memutuskan langsung pulang ke rumah. Dita akan memasak dan Seno ingin membantunya, sebelum kelima sahabat mereka datang untuk makan malam bersama. Vito adalah orang pertama tiba di rumah itu. Kedatangan Vito disusul oleh tibanya Fandi dan Riris sekitar lima belas menit kemudian. Lalu Denis dan Kiki adalah yang paling terakhir tiba di sana. Makan malam benar-benar sudah tersaji ketika mereka berkumpul, dan duduk bersama di atas permadani adalah pilihan mereka daripada menggunakan meja makan.
"Eh ... tadi waktu kita lagi jalan menuju ke sini, di rumah Pak RT kelihatannya lagi rame banget. Ada suara beberapa orang yang sedang ribut di sana," ujar Denis.
"Mungkin ada warga yang sedang tidak akur, makanya Pak RT dan Bu RT sedang mencoba untuk mendamaikan mereka," sahut Vito, selalu positif thinking dalam setiap kesempatan.
"Tapi tadi kita lihat Bu RT ada di luar rumah, dan kayanya Bu RT enggak mau masuk sebelum orang yang lagi ribut-ribut itu keluar dari rumahnya," tambah Kiki.
"Berarti mungkin ada permasalahan yang cukup pelik di antara warga. Soalnya, Bu RT tuh belum pernah sampai enggak mau ketemu sama orang lain selama ini. Dia orang paling ramah dan paling peduli terhadap orang lain. Jadi ... mungkin saat ini dia sedang merasa kesal-kesalnya sama orang yang ribut-ribut itu," tanggap Seno.
"Nah, itu. Bisa jadi begitu. Ibuku pun bahkan tahu persis kalau Bu RT itu orang paling peduli terhadap sesama. Jadi, udah pasti kayanya ada yang enggak beres dari orang yang ribut-ribut di rumahnya itu," Denis setuju dengan tanggapan Seno.
Tak lama kemudian, di luar rumah terdengar suara ribut-ribut yang diiringi oleh teriakan-teriakan seperti orang yang sedang ketakutan. Keadaan di luar jelas sudah sangat gelap, karena saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam.
"Ada apaan tuh, di luar?" tanya Riris.
"Kita lihat, yuk," ajak Kiki.
Riris mengangguk penuh semangat, lalu beranjak lebih awal bersama Kiki yang sudah menggenggam tangannya. Langkah mereka berdua disusul oleh Dita, Seno, Vito, Denis, dan Fandi. Mereka berdiri di teras rumah dan melihat ke arah jalanan, yang mana saat itu tampak oleh mereka sosok Ridwan yang sedang tengah berteriak-teriak sambil berusaha menghalau sesuatu dari sekitarnya. Beberapa orang warga tampak berusaha mencoba menenangkan laki-laki itu, termasuk Pak RT. Namun tetap saja, Ridwan bertingkah aneh dan berteriak-teriak tidak jelas.
Aninda tiba di rumah Seno dan Dita tak lama kemudian sambil setengah berlari. Denis segera merentangkan kedua tangannya dan membiarkan Adiknya tersebut berlindung kepadanya. Dita dan Riris pun mendekat pada gadis itu setelah melihatnya yang tampak takut.
"Anin, ada apa Sayang? Kenapa kamu pucat begitu?" tanya Dita.
"Iya, Anin. Ayo cerita sama kami, Sayang," Riris ikut membujuk.
"Itu loh, Kak Dita ... Kak Riris ... Pak Ridwan yang punya kontrakan Permata Cemerlang mendadak gila. Dia terus aja teriak-teriak meski udah banyak yang mencoba menenangkannya. Kalau kata Istrinya sih, Pak Ridwan bilang sama dia kalau udah tiga minggu ada yang bisik-bisik terus di telinganya, ada yang nempel terus di punggungnya dan enggak mau lepas, terus ada yang mukulin dia sampai badannya memar-memar tanpa alasan," jelas Aninda.
"Anin dapat berita itu dari siapa?" tanya Vito.
"Dari Bu RT, Kak Vito. Bu RT sendiri yang cerita saat aku tanya tadi. Bu RT sampai enggak mau masuk ke dalam rumahnya karena takut lihat kondisi Pak Ridwan yang benar-benar seperti orang gila. Padahal kata Bu RT, enggak ada siapa-siapa dan enggak ada apa-apa di samping telinganya, dipunggungnya, dan bahkan di sekitarnya. Dia terus aja teriak-teriak dan yang dia katakan saat teriak itu cuma satu, 'ampun, uangnya udah habis, jadi enggak bisa aku kembalikan', gitu kata Bu RT."
Ketujuh orang yang sedang mendengarkan cerita dari Aninda kini mulai saling menatap satu sama lain sambil mengernyitkan kening masing-masing. Mendadak, hanya ada satu hal yang melintas di dalam pikiran mereka.
"Apa jangan-jangan, setan-setan yang ada di rumah kontrakan blok D nomor tiga belas itu benar-benar menghantui hidupnya Pak Ridwan?" tanya Kiki.
"Bisa jadi, sih. Setan-setan di rumah itu suka banget 'kan sama Dita. Ada kemungkinan kalau mereka enggak terima saat Dita dicurangi oleh Pak Ridwan soal uang kontrakan yang enggak dikembalikan sama Pak Ridwan," jawab Riris.
Dita mendadak hanya diam saja dan segera mencari perlindungan pada Seno. Seno pun mendekapnya dengan erat, agar Dita bisa kembali melupakan peristiwa terburuk yang pernah terjadi dalam hidupnya.
"Ya, kalau begitu mari kita biarkan yang telah terjadi pada Pak Ridwan. Apa yang dia tanam, itulah yang akhirnya dia tuai. Maka dari itu, sebaiknya kita jangan pernah menanam hal yang buruk agar tidak menuai hal yang buruk pula ke depannya," saran Fandi.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KONTRAKAN D-13 (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] Memutuskan untuk pindah ke rumah kontrakan baru ternyata tidak berjalan lancar bagi kehidupan Dita. Rencana awalnya, ia ingin pindah agar pekerjaannya lancar karena rumah berdekatan dengan tempat kerja. Namun nyatanya rencana itu justru...