“Kalau kamu disudut kamarmu dan aku di sudut kamarku, lantas apa kita bisa saling sapa di alam mimpi ?”
Setelah beberapa kilometer jarak yang aku dan Mahen tempuh, akhirnya kami tiba di salah satu toko baju yang lumayan besar tapi bukan mall. Bangunannya besar, ada tulisan Abata di atapnya dan semua tulisan itu menyala dengan warna berbeda di setiap hurufnya. Kami berjalan masuk, aneka model fashion perempuan maupun laki-laki berjajar rapi tergantung bersama hanger. Tidak hanya aku yang takjub melihatnya, tetapi Mahen pun juga. Maklum saja, biasanya kami lebih sering membeli baju di pasar ketimbang di butik dimana selisih
harganya lumayan jauh. Maka untuk bisa beli baju di butik seperti ini, kami biasanya menabung uang saku kami beberapa bulan.Mahen mulai memilih kemeja yang ia mau, yang sudah ia incar sejak beberapa bulan yang lalu, pilihan warna disini ada banyak dan itu membuat Mahen bingung harus memilih warna yang mana. Tapi ku biarkan saja dia untuk merenung sendirian, memilih warna mana yang cocok untuknya.
Disaaat Mahen bingung dengan pilihannya, aku justru ikut memilah-milah baju laki-laki yang ada di deretan kiri, sebuah kemeja yang modelnya hampir mirip dengan pilihan Mahen, hanya saja kemeja ini hanya memiliki satu saku sedangkan pilihan Mahen terdapat dua saku. Kemeja ini membuatku mengingat tentangnya lagi. “Kalau dia pakai ini pasti gantengnya nambah.” Entah kenapa disetiap langkah kaki yang ku jejaki kemanapun aku pergi, bayangan semu wajahnya selalu hadir menghampiri.
“Mbak bagus yang mana?” Aku menoleh, kemudian berjalan mendekat kearahnya, dua kemeja bermodel sama dengan warna yang bebrbeda tertenteng di kedua tangannya. Satu warna army satunya lagi coklat susu.
Aku mengamati kemeja itu dengan serius. “Kayaknya coklat susu bagus.” Pilihku, sambil mendekatkan kemeja yang ku pilih ke depan tubuhnya.
“Nggak kayak cewek nggak sih warnanya?”
“Hhhmm iya juga sih, tapi bagus-bagus aja kok.”
“Kalau warna army ini gimana?”
“Boleh juga, terserah kamu aja sukanya yang mana.”
“Tapi ukurannya L, kekecilan deh.” Mahen melihat ukuran di leher kemeja itu. Padahal waktu kutempelkan ditubuhnya, bagiku pas-pas aja, tidak kekecilan juga kebesaran. Tapi karena Mahen adalah seseorang yang menganut prinsip kalau baju oversize itu keren makanya kalau beli baju ukurannya harus XL bahkan terkadang XXL.
“Kalau ukuran XL kan bisa dipakai sampai nanti-nanti, bisa tetep muat kalau aku bertambah besar.” Jawabnya lagi dan untuk ini aku setuju dengan pemikirannya.
“Tak tanya ke penjualnya dulu deh, yang army ini ada ukuran XL apa enggak?” Dia berjalan mendekat ke penjaga butik yang sedang berdiri di samping kasir. Aku melihatnya dari kejauhan, bagaimana Mahen berinteraksi dengan mbak penjaga itu. Dan saat obrolan mereka selesai aku mengamati dari raut wajah Mahen aku sudah menduga bahwa ukuran XL untuk kemeja berwarna army sedang kosong.
“Ya udah, cari warna yang lain aja, siapa tahu ada yang XL.” Saranku kepada Mahen ketika ia sudah balik dan sekarang ada di sampingku.
Setelah mencari di deretan yang sama dengan kemeja yang diambil Mahen, aku menemukan sebuah kemeja warna hitam dengan model yang sama berukuran XL. “Ini ada, warna hitam tapi.” Aku mengambil kemeja itu dari gantungannya. Mahen mengamati kemeja yang ada ditanganku, kemudian menimbang-nimbang dengan serius, ia sungguh-sungguh berfikir layaknya seorang pimpinan yang sedang berusaha mengambil keputusan yang tidak boleh sembarangan jika tidak mau menyesal seumur hidup.
“Apa kurang cocok?” Sebab ia tidak berekspresi sama sekali, aku bertanya, barangkali ada sesuatu hal yang bisa ia bagi kepadaku.
“Kalau hitam nanti lama kelamaan jadi pudar warna hitamnya.”
“Ya iya sih, tapi kalau kamu pilih yang ukurannya L tadi, kamu nggak bisa pakai sampai lama kalau tubuhmu udah gede.” Perkataanku membuatnya kembali merenung. Ia kembali berfikir, ini sudah seperti menentukan jawaban yang tepat untuk pilihan ganda dalam soal ujian. Jika mau nilai bagus maka jawabannya harus benar.
Satu detik, dua detik, sepuluh detik, tiga puluh detik berlalu.
Akhirnya pilihan Mahen jatuh kepada. “Ya udah deh warna hitam aja.”
“Oke.” Setujuku. Kami kemudian membayarnya ke kasir.
Setibanya dirumah, aku berjalan di depan sebagai pembuka jalan, memastikan bahwa situasi aman, memastikan bahwa bapak ibu sudah tertidur atau paling enggak mereka asyik menonton TV. Karena kalau Mahen ketahuan beli baju baru, maka otomastis nasihat-nasihat khas orang tua akan terlontar, mereka akan bilang kalau uang itu akan lebih baik jika ditabung, tidak digunakan untuk foya-foya, apalagi digunakan untuk membeli baju baru, padahal baju di lemari sudah banyak meskipun tidak ada yang sebagus dan semahal ratusan ribu punya Mahen yang barusan beli. Tapi dikala ada kesempatan, aku juga pernah menasihati Mahen dan ia selalu bilang. “Diri sendiri kan juga butuh reward mbak, sekali-kali butuh dimanjain, butuh kesenangan, supaya aku bisa belajar lebih semangat, lebih giat.” Dan lagi-lagi, aku melihat adanya persepsi antara orang tua dan adikku. Sejak saat itu, aku membantu Mahen untuk menghidari terjadinya konflik antara dirinya dengan bapak ibu. Tapi tentu, dengan pertimbangan yang matang dalam setiap keputusan yang ku ambil.
“Habis darimana?” Suara ibu mengagetkanku, ternyata ibu ada di kamarnya, sedang merapikan baju.
“Habis beli paket data.” Aku menjawab pertanyaan ibu, Mahen mindik-mindik masuk ke dalam kamarnya.
“Benar begitu?” Pertanyaan ibu penuh selidik.
“Iya bu.” Aku tidak berbohong, tadi dalam perjalanan pulang aku meminta Mahen untuk mengantarku membeli paket data terlebih dahulu. Ibu bertanya kepadaku bukan kepada Mahen, jadi tidak papa jika aku tidak menjawab membeli baju baru, karena yang membeli baju baru kan Mahen bukan aku.
“Ya sudah.” Dalam hati lega ketika ibu mengatakan hal tersebut. Mahen lolos kali ini.
Kamarnya sudah tertutup rapat ia kunci. Kalian tahu apa yang dilakukannya? Mencoba baju barunya sambil mengaca berpose ala-ala artis terkenal.
Aku memutuskan untuk kekamarku. Sayup-sayup musik “Ketika Cinta Bertasbih” ciptaan Melly Goeslaw terdengar di telingaku, dibawah naungan langit petang serta bulan dan bintang yang menyala terang, sepoi-sepoi angin dari luar jendela menelusup sampai ketulang-tulang membuatku menggigil.
Aku membuat pernyatan kepada malam yang hening, bahwa malam adalah waktu terbaik untuk mengingatnya, memandangnya dalam bayang-bayang semu langit kamarku.
Selalu ada satu nama yang berhasil mencuri perhatian sepenuhnya, satu nama itu adalah namamu, kamu yang menetap dihati takkan mungkin terganti.
Mengingatmu adalah aktivitas utama yang tak pernah terlupa, dimana matamu menjelma telaga paling jelaga yang penuh oleh tawa-tawa bahagia,
Rasa ini mengutusku memejamkan mata, menuntun lidahku untuk berdo’a
Semoga kiranya kamu baik-baik saja, juga selalu bahagia, penuh rahmat dari Tuhan dan kasih sayang dari banyak orang, jangan tanya tentangku, karena bagiku kamu dulu yang terpenting, sebab jika kamu baik maka aku juga akan baik, kamu peduliku, kamu kekhawatiranku sekaligus kecemasanku.
Tidak tahu, kenapa harus sebesar ini rasa yang tumbuh dalam hati sampai tidak tahu bagaimana caranya untuk berhenti, sebab aku juga tidak mengerti kapan perasaan ini bermulai, tiba-tiba segemuruh dan seriuh ini pikiranku tentangmu.
Jika perasan ini datangnya dari Tuhan sebagai anugerah yang berharga, maka akan ku jaga sebagaimana mestinya.
Tapi, jika perasaan ini datangnya dari selain Tuhan, maka semoga lekas hilang dan berpulang.
Saat langit kehilangan bintangnya, mataku mulai terpejam beserta doa-doa lirih mengiringi, semoga Tuhan meridhoi aku dan kamu berjumpa di alam mimpi, biar ku katakan bahwa rindu ini begitu dalam kepadamu.
Kalau kamu disudut kamarmu dan aku di sudut kamarku, lantas apa kita bisa saling sapa di alam mimpi ?
>>>Bersambung...
Vote dan komen selalu dinanti:)
KAMU SEDANG MEMBACA
SADRAH ✔️ (Part Lengkap)
RomanceAku tidak tahu bagaimana takdir akan bekerja nantinya, entah melangkah mendekat ke arahmu atau jusrtu melangkah jauh darimu. Tapi satu hal yang akan ku jadikan pegangan, pada segala rasa serta asa, aku bermunajat, mengalah lalu berserah. Dari yang t...