.... II

16 3 0
                                    

Tepat saat Mahen keluar dari kamarku, ponselku berdering, ada panggilan masuk. Ditemani angin malam aku dan Ona sama-sama larut dalam percakapan via telpon.

“Besok kamu bisa nemenin aku kan Runi?” Ona kembali mengingatkan pesan yang ia kirim padaku kemarin malam, tentang sesuatu hal penting yang harus aku hadiri.

“Iya insyaa Allah, jadi jam berapa acaranya?” Tanyaku memastikan.

“Habis dzuhuran. Kalau bisa jam dua belas kamu sudah ada di rumahku, soalnya tamunya datang sekitar jam satu siangan. Kamu keburu nggak?”

“Lihat besok, mudah-mudahan kerjaku bisa izin buat pulang cepat.”

“Tapi kalau nggak bisa, ya nggapapa deh, biar aku menenangkan diri sendiri.” Bisa kudengar dari nada suaranya bahwa Ona sangat pasrah dengan apa yang akan menjadi jawabku selanjutnya.

“Tapi aku sudah pernah janji ke kamu, kalau aku pasti akan nemenin kamu.”

“Iya ngerti, tapi aku juga nggak mau kamu di marahin atasan kamu cuma gara-gara aku.”

“Tapi acara kamu ini penting Ona, sekali seumur hidup. Masa’ iya aku melewatkan momen sepenting ini?” Aku juga bingung harus memilih jalan yang mana.

“Aku usahakan Ona, Tapi aku takut nangis, kamu tahu sendiri aku orangnya cengeng, ingat nggak waktu kamu tinggal kerja ke Surabaya, aku nangis. Waktu kayak cepet banget berlalu, padahal dulu masih berangkat sekolah bareng.”

“Kalau kamu nangis, aku nanti jadi ikutan nangis bagaimana jadinya?”

“Iya mudah-mudahan saja enggak.” Kataku berusaha menciptakan ketenangan kepada Ona atas perkataanku barusan.

“Aku juga tidak mau jadi beban di acara khitbahnya Ona, masa’ iya acara bahagia yang harusnya dirayakan dengan senyuman bukan tangisan.” Ucapku dalam hati.

“Ingat nggak, pas berangkat sekolah penuh drama, yang bensinnya habis, yang nggak kebagian sepeda, yang kadang aku nggondok, belum lagi kalau irit bensin sepedanya di gelindingkan, huuu gemes banget ngingatnya, rada miris tapi penuh kenangan.” Aku hanya tertawa mendengar bagaimana Ona menceritakan masa lalu kami.

Memori itu bagai kaset lama yang kembali terputar dalam kepalaku.

“Kamu kesel soalnya aku selalu bangunnya kesiangan, dan kamu jadi orang yang selalu nunggu. Maaf ya?” Kataku dengan tawa yang tak pernah surut semenjak Ona bercerita masa-masa SMA kami.

“Iya maklum aku orangnya gupuhan.”

“Aku yang terlalu santai memang, nggak ngerti kalau di tungguin lama.”

“Iya, yang satu santui banget, yang satu gupuhan. Cocok dah.” Ona menjadi orang paling sabar menghadapi aku waktu itu, aku orang yang apa-apa serba bangunnya kesiangan, menjadi orang yang siapnya selalu terakhir, apa-apa serba keteteran, menyiapkan buku pelajaran waktu mau berangkat, sarapan juga keteteran, dan lain-lainnya, di sandingkan dengan Ona yang serba rajin, bangun pagi, buku pelajarannya ditata waktu kemarin malamnya, karena sifat burukku itu aku biasanya kena omel orang tuaku, karena tidak bisa menyeimbangi Ona untuk rajin.

“Lagian kenapa sih Ona itu bangunnya pagi banget, siap-siapnya juga jauh lebih dulu dari aku.” Pembelaanku waktu dulu, padahal yang salah aku, emang dasar aku nggak tahu malu. Aku tertawa untuk sesaat.

“Gitu aku nggak berubah, apa-apa selalu santai, kalau berangkat juga masih mepet-mepet.”

“Ya itu karena kamu sudah terbiasa sejak dulu. Dasar!” Omel Ona.

“Yang paling aku ingat itu ketika berangkat sekolah terus berangkatnya kesiangan, tiba-tiba aku jatuh dari motor guling-guling di aspal tapi kamu yang bonceng malah nggak tahu kalau aku jatuh, terus akhirnya aku nangis.” Tiba-tiba air mataku jatuh, tapi ada tawa juga, rasanya campur jadi satu.

“Itu tuh kejadian paling tidak terlupa sampai akhir hayat kayaknya.” Ona kembali melanjutkan perkataannya, setelah itu kami langsung ketawa bersamaan.

“Tapi kalau di pikir-pikir, ternyata kita bisa juga menghadapi drama-darama itu sampai lulus dan alhamdulillah membahagiakan.”

“Iya juga ya, jadi kangen.”
Dia paling baik banget, paling pengertian dan selalu ada, dan aku nggak tahu bagaimana cara membalasnya kecuali dengan menepati janji yang sudah ku buat.

Ternyata benar apa kata seseorang kalau mungkin kita perlu jadi kura-kura biar bisa menikmati segala sesuatu dengan lebih lama.

Rasanya baru kemarin kami menikmati momen-momen sekolah bareng, baru juga kemarin aku menangis karena kepindahan Ona beserta keluarganya dari kota ini, sekarang ia kembali menemukan hidup barunya lagi. Ini bukan soal aku tertinggal ataupun dia yang mendahuluiku, tapi ini tentang berputarnya waktu yang begitu cepat, sampai aku lupa bagaimana cara untuk menikmati setiap momen kebersamaan yang telah berlalu.
Pada dasarnya, tidak ada siapa yang mendahului siapa, masing-masing beredar pada garis takdirnya.

“Ya sudah Seruni, aku tutup telponnya ya, pokoknya jangan lupa datang, aku tunggu! Byee..”

“Iya Ona, aku usahakan datang. Byeee..” Telepon terputus.

Saat telepon Ona terputus, aku membuka whatsappku hanya untuk memastikan apakah ada pesan masuk atau tidak, kemudian aku menggeser forum chat ke forum status dan mendapati status terbaru yang paling atas adalah status milik Manggala, aku membukanya dan mendapati yang ia unggah adalah foto kata-kata bijak dengan halaman nomor tiga puluh dua dari sebuah buku yang aku sendiri tidak tahu judulnya apa. Yang ku ingat, ini sudah yang kesekian kalinya Manggala mengunggah foto buku dalam statusnya, beberapa pernah di tunjukkan judulnya seperti buku-buku filsafat, sejak saat itu aku memahami bahwa pemikirannya yang sederhana tapi bermakna terlahir dari bacaan yang ia baca setiap harinya, terkadang dia juga mengunggah potret dirinya yang sedang berada di toko buku.

SADRAH ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang