13. Tidak Mungkin Lupa

17 3 0
                                    

“Apa yang menjadi cita-citamu, sudah otomatis akan masuk ke dalam list cita-citaku juga”

Langit dengan awannya yang nampak sudah tak lagi cerah, ada mendung diatas sana, sepertinya sebentar lagi Tuhan akan menyebar berkah lewat hujan yang akan diturunkanNya, dan ya, belum sempat aku bermonolog panjang lebar, hujan sudah turun dengan derasnya.

Aku mengangkat tangan, kuhadapkan tepat di depan wajahku, melihat jam tangan berwarna pastel pemberian bapak dihari ulang tahunku ke tujuh belas, dua tahun silam -yang sejak dulu masih setia kukenakan di pergelangan tangan kiriku- jarum jam menunjukkan bahwa sekarang waktunya pulang. Aku membereskan meja kerjaku, menyimpan beberapa script yang telah rampung kubuat untuk siaran nanti malam.

Aku sudah di teras studio sekarang, duduk di kursih panjang berbahan kayu bercat putih, memastikan dengan penuh pengharapan bahwa hujan sore ini tidak deras, agar aku bisa menerobos seperti yang ku lakukan biasanya -yang berakhir omelan dari bapak ibu sebab khawatirnya kepadaku-, terakhir kali aku pulang dengan keadaan basah kuyup adalah satu minggu lalu dan itu berakhir dengan ultimatum dari bapak, dengan ancaman bahwa aku tidak akan di izinkan keluar rumah lagi jika aku terus menerobos hujan tanpa pelindung apapun seperti jas hujan/payung, seingatku, seperti ini ucapan bapak kala itu. “Kalau kamu pulang lagi dengan keadaan basah kuyup gini, mending kamu tidak usah keluar sekalian!” Dengan ekspresi seriusnya, penekanan di setiap kata yang diucapkannya, tangan kiri bertengger di pinggang, telunjuk dari jari tangan kanannya menunjuk-nunjuk kearahku lebih detailnya tepat di depan wajahku, persis seperti memarahi anak yang kelewat nakal, dan itu berhasil membuat nyaliku ciut. Jadi kali ini biar ku patuhi ultimatum bapak untuk tidak menerobos hujan, Gimana pak, gini-gini Seruni masih nurut kan sama bapak? tapi lain kali sepertinya aku akan melanggarnya. Tolong jangan bilang bapak ya? Aku tersenyum memutar peristiwa yang terekan di memori kepalaku -yang bapak lakukan setelah memarahiku waktu itu adalah membuatkanku teh hangat manis, minuman kesukaanku dikala hujan tiba- . Marah tapi tetap perhatian, begitulah bapak.

“Senyum-senyum lagi mikirin apa nih?” Suara laki-laki khas seorang penyiar membuatku merespon dengang gerakan sangat cepat, aku menoleh.

“Mas Manggala? Belum pulang?” Tanyaku sedikit ragu.

Dalam hati, aku merutuki diriku sendiri, “Sudah jelas dia belum pulang, kenapa nanya? Sungguh pertanyaan yang tidak berbobot.” Aku menggelengkan kepalaku pelan.

“Seperti yang kamu lihat.” Jawabnya tersenyum, senyum yang selalu terlihat apa adanya tanpa dibuat-buat, orang-orang sering menyebutnya dengan senyuman tulus. Banyak yang bilang bahwa daya tarik laki-laki ini sangat kuat dan tidak ada yang tahu magnet apa yang telah ia gunakan, dulu aku tidak percaya, tapi sekarang aku membuktikannya, buktinya, hanya dengan melihatnya tersenyum aku jadi ikut tersenyum.

“Boleh ikut duduk?” Tanyanya lagi.

Ingin ku jawab “Jangan tanya, sudah jelas sangat boleh, sangat sangat sangat boleh.” Tapi kalimat itu tak berhasil keluar dari bibirku, yang berhasil keluar hanya satu kata, “Silakan.”

“Kamu selalu baik, sama seperti jaman sekolah dulu. Aku jadi ingat kejadian waktu pertama kali kita berinteraksi, waktu itu aku pinjam bulpoinmu untuk tanda tangan absensi upacara karena aku lupa membawa, ternyata, kamu tidak hanya meminjamkan bulpoin itu tapi juga memberikannya kepadaku.”

“Mas Manggala masih ingat.”

“Kalau kamu gimana? Pati sudah lupa.” Tebaknya.

“Masihlah, mana mungkin lupa.” Jawabku jujur.

Aku berhenti sejenak kemudian kembali menyambung. “Bahkan kejadian waktu Mas Manggala memberiku payung saat gerimis melanda di gerbang sekolah aku masih mengingatnya, payung yang mas kasih juga masih ada.”

SADRAH ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang