22. Jalan

17 3 0
                                    

“Cinta bukanlah transaksi, perasaan yang ada seharusnya tidak menuntut apa-apa.”

Aku baru saja datang, tetapi sudah di suguhi dengan pemandangan yang membuatku kurang nyaman, bagaimana tidak, yang kulihat yakni Manggala sedang memarkirkan sepeda motor milik Mbak Malina, padahal disampingnya sudah ada Pak Bono yang siap membantu. Tetapi kenapa harus Manggala yang melakukannya. Padahal rasanya untuk cemburu pun aku tidak berhak, tapi bagaimana, aku sendiri sebenarnya tidak mau memiliki perasaan cemburu seperti ini.

“Sudah sarapan belum? Ini aku bawain bekal buat kamu.” Mbak Malina memberikan bekal itu kepada Manggala. Dan Manggal menerimanya dengan tersenyum.

Kenapa aku harus melihat interaksi yang terjadi diantara mereka? Yang kurasakan hanya kesal yang mendominasi, lebih tepatnya cemburu yang tidak boleh terlihat.

Dengan perasaan yang tidak lagi bisa kujelaskan, Pak Bono memanggilku. “Neng Seruni, ini ada bekal juga buat Neng, biasa, dari Mas Arka.” Dengan adanya suara Pak Bono yang begitu menggelegar, Manggala dan Mbak Malina menoleh ke arahku, memandang dengan pandangan yang tidak bisa aku pahami. Disini, yang ku khawatirkan hanyalah mengenai pandangan Manggala, jangan sampai dia mengira bahwa Aku dan Arkha memiliki hubungan yang lebih. Padahal kalau dipikir, mungkin Manggala juga tidak akan peduli jika aku ada hubungan apa-apa dengan Arkha. Mengapa aku harus semenjaga itu perihal perasaan Manggala yang aku sendiri tidak tahu bagaimana jelasnya.

“Buat Pak Bono saja.” Aku langsung masuk ke dalam tanpa menyapa Mbak Malina dan Manggala. Ku anggap mereka seolah tidak ada atau anggap saja aku sedang tidak melihat mereka.

Sampai di meja kerjaku, aku menatap langit-langit ruangan kerjaku dengan tatapan nanar, mengingat apa yang baru saja aku lihat, Mbak Malina, Manggala dan dialog-dialog yang terlontar membuat semangat pagiku lenyap.

Sempat aku berfikir, jika bukan dia takdirku, lantas mengapa Tuhan menghadirkan perasaan sedalam ini padanya. Bahkan ketika aku meminta berkali-kali agar perasaan ini dihilangkan tetapi nyatanya perasaan ini masih ada dan kian hari kian bertambah. Plis Tuhan, kasih tahu caranya bagaimana untuk bisa hilang, bagaimana agar tidak lagi suka.

Tring

Suara pesan masuk membuyarkan lamunanku. Ku baca nama pengirimnya ternyata dari kepala divisi pemrograman. “Narasumber untuk program success under 30 adalah Jihan, pengusaha jilbab dan gamis dari Surabaya. Coba cari info dan hubungi.”

Ah, andai tidak ada pesan masuk ini, mungkin aku akan melamun seharian dan meratapi kegalauanku, aku bergegas untuk menyingkirkan segala rasa tidak semangatku, menepis rasa cemburuku yang berlebihan itu dan kembali fokus mengerjakan apa yang seharusnya aku kerjakan. Bagaimanapun rasa cemburu ini tidak boleh mengganggu pekerjaanku.

“Seruni!” Aku menghentikan aktifitas mengetikku ketika Mbak Tiwi memanggil namaku.

Aku menoleh dengan kedua tangan yang masih bertengger pada keyboard komputer. “Iya mbak?”

“Mau minta tolong, habis ini kamu briefing sama Malina sama Manggala ya? Gantikan mbak, mbak dikejar deadline nih.” Mendengar permintaan tolongnya dengan gerak-gerik tergesa-gesa bagaimana mungkin aku bisa menolaknya.

“Iya mbak, mau kok.” Jawabku sambil tersenyum berusaha memberi tanda bahwa aku tidak keberatan atas permintaannya, aku harap mbak Tiwi percaya dengan ekspresi yang ku perlihatkan tanpa tahu bagaimana perasaan hatiku yang sesungguhnya. Dimana sejujurnya aku tidak mau bertemu dengan mereka karena itu berarti aku bersedia menambah rasa cemburuku yang perlahan mulai mereda.

Helaan napas berkali-kali aku lakukan ketika langkah kakiku berjalan mendekati ruang briefing, aku menghela napas panjang sambil memejamkan mata berusaha menetralisir agar hati ini bisa tenang. Tak sengaja aku mendengar perkataan diantara mereka sehingga mewurungkan niatku untuk membuka pintu.

SADRAH ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang