11. Asa

20 5 0
                                    

“Meraih asa tanpa kenal putus asa.”


Tadi siang, salah satu teman perempuanku menghubungiku, ia meminta bertemu di salah satu cafe sekaligus resto yang ada di daerah dekat rumahnya, nama cafe itu adalah Stay Home. Dan sesui kesepakatan, aku baru tiba di Stay Home tepat pukul tujuh malam.

“Grace!” Panggilku, ketika melihat ada seorang perempuan yang sedang duduk di meja nomor dua lantai satu, meja yang telah aku dan Grace pesan sebelumnya.

Dia menoleh sambil melambaikan tangan.” Eh, hai Seruni!”

Aku membalas lambaiannya kemudian berjalan mendekat kearahnya. “Sudah lama nunggu?” Tanyaku.

“Duduk dulu!” Aku menuruti perintah Grace.

“Enggak, baru tiga puluh menit.” Jawabnya.

Aku kaget mendengar jawaban Grace, ternyata kebiasaannya masih tetap sama, selalu datang lebih awal kalau janjian, lebih awal dari jam yang telah di sepakati.

“Kan janjiannya jam tujuh? Dan sekarang baru jam tujuh. Kalau begini aku jadi nggak enak sama kamu.” Kataku.

“Ahh santai aja, dari dulu aku kan seperti ini. Lagian kamu kan tepat waktu, nggak telat.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Aku jadi pengen tahu, apa sih yang memotivasi kamu buat datang lebih awal?” Seperti yang kita tahu, budaya ngaret di Indonesia semakin merajalela, menjadi orang minoritas untuk disiplin sangatlah susah jika lingkungannya saja tidak mendukung.

Grace diam sejenak, terlihat dari wajahnya bahwa ia sedang berfikir. Setelah beberapa detik, ia mulai menjawab. “Hhhmm apa ya? Biar nggak telat aja. Lebih baik jadi orang yang menunggu daripada orang yang ditunggu. Apalagi yang ngajak janjian kan aku, Runi. Jadi, nggak enak kalau aku yang telat.”

“Iya memang kamu yang ngajak janjian, tapi kan nggak harus segitunya, Grace.”

“Aku tidak bisa mengembalikan waktumu yang telah kusita, Runi. Jadi, aku ngga mau telat.”

“Kamu selalu menghargai waktu orang lain dengan baik. Aku salut sama kamu, Grace.”

Sejak dulu, Grace adalah seseorang yang sangat disiplin, dia sangat menghargai waktu, tidak hanya waktu yang ia punya sendiri, tetapi ia juga menghargai watu milik orang lain. Kalau dia bilang ingin bertemu selama dua jam, maka benar-benar dua jam, janjian jam tujuh maka akan berakhir pada jam sembilan, selalu seperti itu, tidak lebih tidak kurang. Hidupnya tertata dan terencana, sangat berbeda sekali denganku yang hanya berjalan mengikuti alur dan kehendak Tuhan. Sifat Grace ini mirip sekali dengan seorang laki-laki yang sering ku ceritakan di lembar-lembar sebelumnya, Manggala. Itu sebabnya jika bertemu dengan Grace, aku merasa seperti bertemu dengannya dalam versi perempuan. Hanya saja mereka berbeda keyakinan. Kalian pasti bisa menebak dari namanya bahwa Grace beragama kristen.

Aku seringkali punya anggapan, jika mereka berjodoh sebab sifat dan karakternya sama. Tapi Grace adalah perempuan yang taat pada agamanya, Manggala juga laki-laki yang taat pada agamanya. Jadi, kemungkinannya kecil, tapi bukankah tidak ada hal yang tidak mungkin di bumi ini jika Tuhan sudah berkehendak ? Ah jangan, aku selalu menepis jauh-jauh anggapanku yang tercipta dari asumsiku sendiri. Dan tidak seharusnya aku punya pemikiran demikian jika yang selalu menjadi aamiin utamaku adalah Manggala dan aku bisa bersama menjadi kita.

“Ah jangan gitu, Runi. Aku kan juga belajar dari kamu. Aku dulu selalu menganggap bahwa orang yang beda agama akan sulit menjalin pertemanan, sulit nyambung. Tapi semenjak kenal kamu, anggapanku selama ini langsung berubah.”

“Ya hidup kan juga tentang toleransi, Grace, harus saling menghargai dan menghormati perbedaan. Ya meskipun tidak semua orang bisa menerima perbedaan, tapi selagi itu tidak membawa pengaruh buruk dan tidak membahayakan satu sama lain, kenapa tidak?”

SADRAH ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang