"Nabastala itu artinya langit. Aku tidak pernah menyamar Seruni, langit itu juga bagian dari namaku, lebih tepatnya arti nama belakangku."
"Iya maksudnya kenapa harus diplesetkan ? Kenapa tidak Nabastala terus dipanggilnya Tala atau Manggala aja?" Tanyaku yang masih penasaran, merasa tidak puas dengan jawaban sebelumnya.
"Manggala atau Nabastala itu terdiri dari tiga konsonan, terlalu panjang, sedangkan kalau Nabastala dipisah menjadi hanya Tala saja menurutku artinya bakal beda, jadi kalau ada yang pendek, yaitu Langit, kenapa tidak ?"
"Jadi setelah ini, aku manggilnya apa? Mas Manggala? Atau Mas Langit ?"
"Manggala aja."
"Kenapa nggak Langit ?"
"Panggilan itu hanya berlaku ketika aku siaran aja kayaknya."
"Hhmm, oke. Mas Manggala ya ?"
"Manggala nggak pakai Mas."
"Jangan lah, bagaimanapun Mas itu sebutan untuk orang yang lebih tua tau, bentuk kesopanan. Aku nggak mau di anggap adik kelas kurang ajar."
"Tapi kan ini bukan di sekolah? Mana ada julukan Kakak kelas sama adik kelas? Manggala aja, biar lebih akrab, cuma beda setahun juga."
Aku diam saja tidak memberi jawaban, sebab jika seperti ini, rasanya aku butuh beberapa kali pertimbangan untuk mengambil sebuah keputusan. Masalahnya, merubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru tidaklah semudah itu untuk di terapkan.
"Aku tidak memaksa, kalau tidak mau akrab sama aku gapapa." Entah kenapa, aku menangkap perkataannya menjadi sebuah bentuk ancaman yang sangat berbahaya jika tidak di turuti.
"Iya Manggala, Mang... ga ... la..." Kataku penuh penekanan, memastikan bahwa telinganya mampu mendengar dengan baik apa yang telah aku utarakan.
Dia memandangi jam yang melingkar di pergelangan tangannya, mengamati pergerakannya, aku jadi penasaran dan melakukan hal serupa, mengecek jarum jam. "Oke, waktu istirahat telah selesai, selamat melanjutkan pekerjaan." Tangan kanannya mengepal terangkat ke atas, menunjukkan semangat membara, "Sebenarnya yang harusnya semangat itu aku apa dia sih?" Ujarku bermonolog.
Malina baru saja datang, dengan baju yang sedikit basah kuyup. Matanya memejam seperti menahan rasa sakit, dia duduk di kursi dengan tangan kirinya yang memegang lengan kanannya. Ia menekan-nekan secara perlahan. Ada darah keluar dari baju lengan kanannya yang ia pegangi sejak tadi. Aku berjalan mendekat.
“Mbak Malina kenapa ?”
“Tadi habis jatuh, biasa hujan, jalanan licin.”
Tiba-tiba suara laki-laki menyergap dengan sebuah pertanyaan. “Kok bisa? Nggak hati-hati ini kamu pasti.” Dan suara itu adalah suara milik Manggala.
“Sudah kok, tapi ya sudah takdirnya mungkin, makanya jatuh.” Kata Mbak Malina sambil terus memegangi lengannya yang sakit. Sedang aku hanya memperhatikan percapakan
diantara mereka sambil sesekali memperhatikan luka di lengan mbak Mentari dengan teliti.“Tunggu disini sebentar!” Ucap Manggala pada Mbak Malina, dari raut wajahnya sangat kentara kalau dia sedang khawatir, bukan sedang tapi sangat, sangat khawatir.
“Mau kemana?” Tanya mbak Malina.
Ia melangkah menjauh, “Beli obat.” Jawab Manggala dari kejauhan tanpa menoleh, sambil terus berjalan.
“Hujan-hujan begini? Nggak ada yang bawa payung loh. Kamu juga pasti nggak bawa jas hujan kan?” Kata Mbak Malina dengan sedikit berteriak karena lawan bicaranya semakin menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
SADRAH ✔️ (Part Lengkap)
RomanceAku tidak tahu bagaimana takdir akan bekerja nantinya, entah melangkah mendekat ke arahmu atau jusrtu melangkah jauh darimu. Tapi satu hal yang akan ku jadikan pegangan, pada segala rasa serta asa, aku bermunajat, mengalah lalu berserah. Dari yang t...