... II

14 3 3
                                    

Malam mulai menyapa, aku melamun di teras rumah mengenang masa-masa sekolahku dulu bersama Ona sambil memandangi bulan dan langit yang sedang cantik-cantiknya, bulannya hanya setengah sedang langitnya hitam pekat bertabur bintang.

Aku memandang langit begitu seksama membuatku terkesima, menyadari begitu luasnya tiada batas dan tepinya, seluas Kuasa dan Kasih Sayang Tuhan yang juga tiada batas dan tepinya, aku mengabadikan momen itu menggunakan kamera smartphoneku. Aku melihat hasil jepretanku yang ternyata tidak bisa menangkap keindahannya secara lebih nyata. Memang ya? Terkadang hal yang terlewat indah tidak bisa di visualisasikan dalam bentuk jepretan, tapi meskipun tidak bisa dijelaskan lewat jepretan ia tetap bisa diabadikan dalam ingatan.

"Jika ada yang lebih tenang dari keheningan malam, maka itu ketika berada duduk disampingmu, Manggala. Kemudian kita mendiskusikan tentang bagaimana angin malam berhembus membawa pesan-pesan kerinduan lalu mengantarkannya pada orang-orang tersayang, atau mendiskusikan tentang raksi bintang yang begitu menakjubkan atas kuasa Tuhan, semenakjubkan degup jantungku saat di dekatmu, bisakah kita bercengkerama sampai pagi ? Tentang apapun?Hingga naluriku berkata, kamulah orangnya, aku tidak salah." Ah aku mulai berkhayal lagi.

Tiba-tiba Mahen datang dengan pakaiannya yang rapi, tak lupa jaket hitam favoritnya juga turut ia kenakan.

"Mbak." Panggilnya.

Aku memandang Mahen dari atas sampai bawah, "Hhhmm rapi bener, mau kemana?" Tanyaku.

"Mau ganti kepala baru." Jawabnya spontan.

Aku kaget mendengar jawaban Mahen."Maksudnya ganti? Emang kepalamu kepala boneka yang bisa lepas pasang gitu?"

"Bukan gitu, maksudnya, gue mau cukur rambut." Dia meluruskan perkataannya yang sempat memiliki makna ambigu bagiku.

Aku protes tidak terima. "Itu namanya ganti rambut baru bukan ganti kepala baru."

"Ya terserah dong, kan aku yang ngomong." Ia membela diri.

Aku mengalah. "Iya iya iya terserah."

"Temenin dong mbak, sekalian bayarin nanti, kan baru gajian nih pasti, bolehlaaah." Rayu Mahen padaku. Aku berfikir sejenak, menimbang sesuatu.

"Aku nggak mau punya mbak pelit ya?" Mahen bertanya penuh selidik, khawatir kalau permintaannya tidak ku setujui.

"Ya udah boleh deh, sekalian beli makanan buat bapak ibu."

Sambil melempar-lemparkan kunci motor ke atas kepala kemudian ditangkapnya lagi dengan kedua telapak tangannya, ia berkomentar. "Asyik nih, buruan ganti baju kalau gitu!"

"Iya udah kau keluar dulu." Aku mendorong tubuh Mahen keluar dari kamarku.

Kami sudah menembus angin malam sejak beberapa menit yang lalu.

"Mbak masih hidup kan?" Mahen bertanya dengan nada menyindir.

"Mulutnya kalau ngomong."

"Lah dari tadi diam aja, ngomong kek!"

"Ya ngomong apa'an dah? orang nggak ada sesuatu yang bisa dibahas." Jawabku malas.

Kami sedang melewati jalan setapak yang sepi, pemadangan persawahan disamping kiri dan kanan jalan. Aku mengerti itu sebabnya Mahen membuka pembicaraan karena dia ketakutan.

"Mbak kalau diam aja bikin makin takut tahu nggak ?"

"Ya terus apa yang mau dibahas dah ? Orang nggak ada sesuatu yang penting yang bisa dibahas."

"Ya apa'an kek!"

"Ya kalau takut tinggal doa kek." Aku memberinya saran.

"Dari tadi juga udah istighfar ini mbak."

"Kok mbak nggak denger?"

"Ya kan istighfarnya dalam hati mbak."

Di belakang boncengannya, aku mengangguk mengerti.

Sisi lain Mahen yang tidak banyak orang tahu, dia penakut dengan hal-hal yang sunyi, sepi. Pernah waktu itu malam-malam saat semua orang rumah sudah tidur terlelap karena memang sudah pukul satu dini hari, dia menggedor-nggedor pintu kamarku hanya untuk meminta mengantarkannya ke kamar mandi. Untuk tanggal tepatnya aku lupa,yang ku ingat dia masih SMP waktu itu. Saat aku mengingat kejadian masa lalu, Mahen bersuara, membuyarkannya. "Nanti beli makanan apa mbak?"

"Terserah deh, pokoknya yang bisa dimakan."

"Yang namanya makanan ya bisa dimakan mbak, kalau minuman baru nggak bisa dimakan, bisanya di minum." Jawabnya dengan sewot.

Dia kembali melanjutkan. "Yang jelas kek jadi perempuan, mau beli A ya A, mau beli B ya B, jangan semuanya terserah, harus punya pilihan."

Dalam hati, "Tumben nih anak, jangan-jangan kerasukan jin di jalan setapak tadi?"

"Dek, kamu sadar kan?"

"Apa'an sih mbak ? Ya sadar lah."

"Kirain rohmu berubah, tergantikan sama jin atau genderuwo di jalan setapak tadi."

"Naudzubillah Mbak ngomongnya."

Aku memperhatikan tingkah Mahen dari kaca spion. Dia mengepalkan tangannya, mengetuk-ngetuk antara kepalanya sendiri dan kaca spidometer motor. Tawaku pecah seketika.

Tiba-tiba insting jahilku muncul, "Ya siapa tahu kan?"

"Sekali lagi mbak ngomong gitu, tak turunin, lihat aja!"

Aku mengabaikan ancamannya dan kembali menggodanya. "Butuh di ruqyah deh kayaknya kalau beneran kemasukan, Pak Udin bisa ngeruqyah orang, nanti kita sebelum pulang kita kesana dulu kali ya? Buat mastiin."

"Mbaaaakkkkk!!!" Sambil bergidik ngeri, ia melajukan sepedanya dengan kecepatan diatas rata-rata.

___________

SADRAH ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang