... Hujan Pagi Hari (II)

26 4 0
                                    

Seperti biasanya ketika sore hari tiba, aku dan Mahen akan mengerjakan tugas rumah sesuai dengan yang telah kami sepakati di awal. Aku menyapu lantai, Mahen merapikan barang-barang.

Setelah pekerjaanku menyapu ruang tengah hampir rampung, aku lupa bahwa di meja ruang tamu ada sesuatu yang baru aku beli dari toko tadi, gawat kalau Mahen tahu. Dengan buru-buru aku berlari menuju ruang tamu dan dugaanku benar, aku melihat sesuatu di tangannya. Dia mengambil roti yang telah ku beli di toko tadi siang. "Roti mbak itu, kok diambil sih, sini balikin!" Aku menengadahkan tangan meminta apa yang seharusnya menjadi hakku.

"Nggak mau, minta lah mbak." Dia menjauhkan tangannya.

"Kan bisa beli sendiri, lagian murah kok cuma dua ribu." Kataku jujur memberitahukan harganya.

"Nggak mau pokoknya ini buat aku, atau aku beli aja deh ya rotinya. Dua ribu kan? Nanti aku bayar." Dari sorot matanya, aku tahu dia kepingin banget sama roti itu.

"Bukan masalah harganya, tapi masalah maunya, mbak beli karena mbak mau dan pengen makan roti itu. Kamu juga tinggal beli sendiri aja loh apa susahnya sih?" Kataku tidak terima.

"Nggak, pokoknya ini buat Mahen." Dia menyembunyikan tangan yang memegang roti itu ke belakang tubuhnya.

Aku berusaha mencari keberadaan roti itu, sambil menarik-narik tangan Mahen yang sedang ia sembunyikan di balik tubuhnya. "Nggak Mahen, nggak, balikin cepet! Beli sendiri sana. Tinggal jalan aja sebentar udah nyampek di tokonya."

"Nggak mau mbak, aku ini aja. aku beli deh beneran, aku beli dua ribu lima ratus. Udah mahal itu, mbak udah untung lima ratus perak." Dia tidak mau mengalah.

"Berapa kali mbak bilang, bukan masalah harganya, tapi masalah berjuangnya untuk beli roti itu, mbak tadi jalan kaki loh kesana." Kataku yang juga tidak mau mengalah.

Dia tidak menggubris permintaanku untuk mengembalikan roti itu, malah ia membawanya kabur menuju kamarnya, ku lihat kepergiannya dari arah belakang, ia memasukkan roti itu di saku belakang celananya. Dia berlari dengan cepat, aku berusaha menyusulnya. "BALIKIN MAHEN!" Teriakku dari depan pintu kamarnya.

Dia memberikan selembar uang dua ribu dan koin lima ratus perak kepadaku. "Ini nih mbak uangnya, dua ribu lima ratus sesuai sama yang tadi aku bilang."

"Mbak curang, kemahalan tuh sebenarnya." Sambungnya, ia sewot tidak terima.

Aku jauh lebih sewot dan juah lebih tidak terima, "Ya kan tadi mbak udah bilang, mbak nggak jual tapi kamu maksa beli. Yang salah siapa coba? Ya kamu." Aku meninggalkan Mahen, kemudian kembali melanjutkan pekerjaan rumahku dan Mahen pun juga kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya.

Jangan heran, aku dan Mahen memang suka sekali bertengkar hanya karena hal-hal sepele, seperti tadi contohnya, masalah roti dua ribu saja bisa menjadi perdebatan hebat. Setelah melewati perdebatan panjang, aku dan Mahen kembali melanjutkan tugas membersihkan rumah.

Sore yang dingin, angin berhembus menerjang jendela ruang tamu secara perlahan tapi cukup membuat kelambu di ruang tamu beterbangan. Aku mendapati adikku rebahan di kursi panjang yang cukup untuk di duduki oleh tiga orang tersebut. Sedangkan yang ku tahu bapak dan ibuku sedang menonton TV di ruang tengah.

Aku melihat Mahen diam saja, ku tanya. "Kamu tidur?"

"Enggak cuma rebahan doang. Kalau matanya terpejam baru namanya tidur." Dia memang selalu bisa saja, jawaban seperti biasanya yang berhasil membuatku kesal tapi disisi lain aku terhibur.

Dia terbangun kemudian terduduk dengan kaki menyilang. "Mbak, mau cerita."

"Cerita aja." Aku selalu suka kalau Mahen cerita, karena itulah yang membuat kita menjadi lebih dekat sebagai kakak adik.

SADRAH ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang