... II

18 3 0
                                    

Sore ini gerimis kembali melanda kotaku, air hujan itu perlahan membasahi bajuku yang semula kering, aku yang selalu tidak punya persiapan merasa hal seperti ini sudah biasa aku lewati. Aku berusaha menghidupkan sepeda motorku, berharap bahwa aku bisa segera melanjutkan perjalananku untuk pulang, berkali-kali aku mecobanya tapi motorku tidak mau menyala.

“Mungkinkah ada yang salah dengan motorku? Apa olinya harus diganti? Apa sedang turun mesin?" Aku dengan segala persepsiku, aku yang memang tidak paham dengan mesin semacam ini menjadi bingung, apa yang harus aku lakukan. Sedang gerimis masih terus berjatuhan.

“Kamu itu hujan-hujanan kayak anak kecil aja.” Aku mendongakkan kepala, air hujan yang membasahiku kini terhalang oleh payung. Kemudian aku menoleh kesamping, memastikan siapa orang yang baru saja berbicara kepadaku.

“Maksud kamu apa sih?” Aku memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang telah mengganjal dalam hatiku sejak tadi.

“Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud, Seruni.” Aku melihat mata itu sejenak, mata yang tetap hangat di segala musim dan cuaca, termasuk pada cuaca yang sangat dingin seperti ini.

“Kamu perhatian sama aku, sama Mbak Malina. Itu maksdunya apa?” Aku tidak bisa lagi menahan emosiku, aku mengatakannya dengan sedikit berteriak. Sedang suara hujan masih tetap terdengar berjatuhan.

“Aku cuma mau menjadi orang yang baik Seruni, untuk siapapun. Bukankah kamu tahu tentang harapanku yang satu ini, bukankah kita juga pernah ngobrol tentang hal ini.” Manggala tersenyum, senyum yang cukup memaksa.

“Aku tahu, tapi bisakah kamu baik ya baik aja, sewajarnya, kamu sadar tidak kalau kebaikan yang kamu berikan itu terlalu berlebihan? Kamu nggak mikir kalau kebaikan yang berlebihan bisa menyebabkan salah paham?” Mataku memanas, aku tidak bisa lagi menahan untuk tidak menangis.

“Sewajarnya seperti apa maksud kamu Seruni? Apakah ketika aku meninggalkan seorang perempuan ditengah jalan, hujan-hujanan, apa itu wajar? Tidak. Maaf Seruni kalau kebaikanku membuatmu menjadi seperti ini, tapi sungguh, aku tidak punya niatan apapun selain membantu kamu saat ini, aku tidak tega kalau kamu harus hujan-hujanan di tengah jalan sendirian.”

“Tidak perlu, aku bisa sendiri. Aku tidak selemah yang kamu pikirkan.” Aku meninggalkan Manggala dengan sepeda yang terus ku dorong.

“Tolong, biarkan aku membantu dan menemani kamu saat ini. Tolong, saat ini saja.” Manggala berjalan mengikutiku sambil memegangi payung yang ia arahkan ke depan untuk melindungiku dari hujan.
Untuk pertama kalinya, aku tidak suka diperhatikan olehnya. Aku membeci perlakuannya yang seperti ini, perlakuan yang mungkin sama kepada semua orang, jika kejadian yang menimpaku terjadi pada mbak Malina, mungkin dia akan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan kepadaku saat ini, lantas dimana letak perbedaanku dengan perempuan-perempuan lain? Dimana letak spesialku dengan perempuan-perempuan lain? Dimana? Tidak ada, aku tidak pernah spesial dimatanya.

Aku terus berjalan mencari bengkel motor terdekat tanpa memedulikan Manggala yang terus membuntutiku, aku tidak pernah menanggapi ketika ia berusaha mengajakku untuk mengobrol, aku tidak pernah tersenyum ketika ia berusaha menceritakan hal-hal lucu. Aku tahu, dia sedang berusaha untuk membuatku kembali membaik, tapi amarah dan cemburu sedang menguasaiku secara utuh, aku tidak bisa berekspresi apapun kecuali diam dan sesekali menyapu guguran gerimis di mataku.

“Ini pasti berat, biar ku bantu.” Dia mendorong sepeda motorku dari belakang, dengan tangan yang terus memegang payung yang ia arahkan kepadaku. Aku tidak tahu seberapa capek dia jika harus seperti ini terus. Tapi aku tidak peduli, aku sudah sampai pada tahap terserah, dan aku membebaskan apapun yang ingin ia lakukan, apapun.

Dibawah rintikan hujan, aku menjadi orang yang paling asing, paling jauh, paling dingin terhadapnya, sedangkan dia tetap menjadi orang paling dekat, paling perhatian, dan paling hangat.

“Kamu tahu Seruni, dibanding pelangi, aku lebih suka hujan yang seperti ini, tanpa petir tanpa kilat, tanpa angin kencang, hujan yang tenang, yang damai.” Perkataannya seolah menjadi sebuah bentuk pengakuan.

“Aku yang selalu mengira bahwa kamu penyuka pelangi, tapi ternyata perkiraanku salah, kamu penyuka hujan, dan bodohnya aku telah menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk melukis indahnya pelangi untukmu.”

Tak lama dalam kebisuanku, dan dalam keramaiannya, kami menemukan bengkel. Dia mengadukan permasalahan sepeda motorku kepada salah satu pegawai di bengkel ini.

Setelah bebarapa menit diperbaiki, akhirnya sepeda motorku bisa kembali menyala, dan diluar hujan juga sudah cukup reda, waktunya melanjutkan perjalanan pulang.

“Tolong Manggala, tolong, berhentilah bersikap seperti ini. Berhentilah seolah-olah menjadi seseorang yang paling peduli dengan Seruni.” Ucapku dengan suara bergetar, kabut tipis seolah menyapu kedua mataku, pandanganku mengabur, penuh oleh air yang siap melesat jatuh ke pipi.

“Aku antar kamu pulang.” Pintanya kepadaku. Manggala mengambil alih sepeda motor dari penjagaanku. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara menghadapi Manggala.

“Buruan naik!” Pintanya lagi.

“Enggak. Aku bisa pualng sendiri.”

“Kamu mau aku tinggal disini sendirian?” Aku tidak tahu perkataannya sebuah bentuk ancaman atau apa.

“Kamu ini apa-apaan? Ini sepedaku, jadi kamu nggak bisa seenaknya kayak gini.”

“Naik!” Perintahnya lagi.

Aku melihat sekitar, pegawai bengkel mulai memperhatikan interaksi yang tidak biasa diantara kami, karena malu, akhirnya aku mengalah, aku menuruti perintah Manggala. 

Kemudian kami membelah jalan dengan naik sepeda motor berdua untuk pertama kalinya. Aku menatap punggung itu dari belakang, tanpa berani menciptakan jarak lebih dekat dari ini, tanganku bersedekap memeluk tubuhku yang dingin.

Cinta bukanlah transaksi, perasaan yang ada seharusnya tidak menuntut apa-apa, tapi layaknya manusia biasa yang memiliki rasa serakah, aku ingin rasa yang kupunya kamu balas dengan sewajarnya, seegois itu aku terhadapmu, ternyata aku tidak bisa memerankan ikhlas sepenuhnya.

Tapi, disisi lain, aku bisa menjadi manusia paling mengalah, berharap kamu mendapat yang lebih dari segala. Setidakpunya pendirian itu aku untuk mengambil keputusan antara melepas menyudahi atau bertahan dalam ketidakpastian penuh bimbang.

Yang perlu kamu garis bawahi bahwa perasaanku ke kamu adalah pasti, layak atau tidaknya aku itu masih menjadi teka-teki, yang membuatku ragu untuk melangkah lebih jauh.

Jika di izinkan, aku ingin kembali ke masa itu, masa dimana rasa ini tidak begitu dalam untukmu, masa dimana semua nampak biasa saja, aku melihatmu sebagai orang yang tak ku kenal, aku menganggapmu sebagai orang yang tidak begitu istimewa, letak dimana bahagiaku bermuara, tapi itu mustahil, dan sekarang terlalu sulit untuk dirubah menjadi sedia kala.

Memang ya? Yang sempurna lagi indah memang mustahil untuk dimiliki.

__________

Sampai jumpa di bab selanjutnya....
Vote dan komennya selalu ditunggu 😊

SADRAH ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang