"Kamu masih punya aku, kamu bisa cerita apa saja jika kamu mau, jika kamu memang butuh"
🤍🤍🤍
Sudah pukul tujuh malam, waktunya untuk menepati janji bertemu dengan Aurin sahabatku sejak SMA sampai saat ini, kita memutuskan untuk janjian di pertigaan jalan raya arah masuk rumahku, biasanya kami kalau ketemuan sering bertiga, tapi kali ini dia sedang ada urusan lain, jadi yang quality time hanya aku sama Aurin saja.
Tiba di tempat pertama, banyak sepeda terparkir, aku dan Aurin saling pandang, memberi isyarat untuk cari tempat lain yang lebih sepi, ke tempat kedua, tempatnya lebih tertutup dan berada di lantai dua, aku dan Aurin kembali berdiskusi dari jarak jauh, dan memutuskan untuk mencari tempat yang lain, hingga tibalah di tempat yang ketiga, tempatnya bagus tapi sangat sepi, tidak ada satupun pembeli. Sepeda yang terparkir hanya ada dua, itupun sepertinya sepeda milik karyawan cafe.
"Kok sepi banget ya?" Ujar Aurin bingung, kepalanya celingukan memastikan apakah ada manusia lain selain kita berdua.
"Yang pertama terlalu ramai, yang kedua terlalu tertutup, yang ketiga terlalu sepi." Kataku,
Kemudian kita berdua sama-sama tertawa bingung, sebenarnya tempat seperti apa sih yang kita mau? Aku akui tempat ini bagus, banyak fasilitas terbuat dari kayu lengkap dengan tanaman hidup menyebar menghiasi sekeliling dengan warna hijaunya yang menyegarkan mata, alasnya dipenuhi bebatuan kecil-kecil menutupi tanah, bambu berwarna kuning kecoklatan berjajar mengitari halaman membuat tempat ini tidak terlihat dari jalan raya, dan ini membuat panorama alamnya sangat terasa. Jika memandang ke atas, lampu gantung menyala berwarna kuning keemasan tidak terlalu terang tapi cukup untuk menerangi, juga tanaman menggantung akan tersuguh didepan mata, memang banyak tanaman disini, dan aku menyukainya.
Tak sengaja batinku berkomentar, "Tempat sebagus ini kenapa sepi?"
Kita berjalan menuju tempat pemesanan.
"Kok nggak ada orang?" Tanyaku pada Aurin.
"Pencet belnya, nanti keluar orangnya dari dalam."
Sebab ini pengalaman pertamaku pergi ke cafe, jadi aku tidak tahu bagaimana cara memesan, tadinya aku mau teriak, bilang,"Belii." karena biasanya kan sepertii itu? tapi untungnya tidak jadi ku lakukan, untung saja Aurin sigap memberitahuku, coba bayangkan kalau aku sungguh melakukan hal itu tadi, pasti akan kelihatan banget noraknya, dan malunya bisa kebawa sampai nanti pulang bahkan mungkin akan membuatku kesulitan tidur karena terbayang-bayang.
Aku langsung melakukan apa yang diperintahkan oleh Aurin. Perempuan muda dengan rambut tergerai dipadukan dengan warna kulitnya yang putih, cantik, "Mau pesan apa?" Tanyanya.
Aku membaca menu yang terpajang di atas meja, pilihanku jatuh kepada ,"Kopi susu tubruk, satu." Pesanku.
"Saya es cappucino, satu." Pesan Aurin.
"Totanya jadi tiga puluh lima ribu." Aurin mengeluarkan uang untuk membayar pesanan kami, sedangkan aku akan mengganti uang Aurin nanti.
"Mbak, password wifinya apa ya?" Tanyaku dengan polosnya.
"Iya nanti setelah membayar." Kata Mbaknya sambil menghitung uang kembalian.
"Oh iya baik." Dengan anggukan kepala, aku menjawab.
Jangan bilang kalau aku sangat terkesan mampir hanya untuk menumpang wifi, tolonglah kuotaku sudah menipis saat ini. Tak lama kemudian, ketika kami berbalik dan mata kami sibuk memilih tempat duduk, ada pengunjung lain datang, aku melihatnya sekilas, sepertinya aku kenal.
"Kok seperti kakak kelas ya?" Tanyaku dalam hati kepada diriku sendiri, sambil mengingat.
Aku melihat Aurin sedang asyik memainkan gawainya, jadi tidak mungkin ia melihat sekitar, mana mungkin juga ia melihat kakak kelas jika pandangannya hanya fokus pada layar smartphonenya yang menyala. Aku membuang nafasku panjang.
"Sapa nggak ya? Kalau nyapa takut dibilang sok kenal sok dekat, entar ganggu. Tapi kalau nggak nyapa takut dikira sombong." Untuk memilih langkah apa yang harus kuambil
selanjutnya adalah keputusan yang sangat sulit bagiku, dan selalu berakhir dengan aku yang berlalu melewatinya dengan diam saja. Sering sekali kejadian seperti ini, dan setelah itu aku bisa menghabiskan waktu berpikirku karena takut dikira sombong padahal mereka saja yang tidak mengerti dengan keadaanku, apa yang sedang kurasakan. Ini adalah salah satu dampak dari sifat introvert yang sering ku alami, takut menegur lebih dulu, karena takut dibilang sok kenal sok dekat sok akrab. Tapi kata Aurin aku ini orangnya ambivert, jadi kadang bisa introvert kadang juga bisa ekstrovert tergantung mood."Runi!" Aurin memanggilku bersamaan dengan datangnya minuman yang kami pesan.
"Terimakasih mbak." Ucapku setelah minuman itu tersedia di meja kami.
"Kenapa?" Aku menyaut panggilan dari Aurin.
"Sebijak apapun seseorang, sepintar apapun seseorang, kalau sedang dalam fase ngedown pasti bawaannya putus asa, makanya kenapa seseorang butuh motivasi dan support system. Jadi, sebagai teman yang baik, aku mau kok jadi support system kamu." Aurin menatapku dengan tatapan yang begitu tulus. Dia memang tahu bagaimana keadaanku ketika aku gagal masuk di perguruan tinggi yang aku idam-idamkan, dia juga tahu bagaimana terpuruknya aku, sampai aku puasa tidak bertemu orang lain, dia tahu bagaimana aku menghabiskan waktuku hanya dirumah dan menutup diri dari bersosialisasi dan keramaian. Bahkan selama berminggu-minggu aku menonaktifkan semua akun media sosialku. Sepertinya, dia tahu semuanya, kalau ada apa-apa adikku memang sering menceritakannya kepada Aurin.
"Apasih Aurin? Aku sudah baik-baik saja." Kataku sambil tersenyum, senyum yang ku paksakan, menunjukkan bahwa apa yang ku katakan kepada Aurin bukanlah kebohongan.
"Siapapun pernah menyembunyikan cerita dengan menciptakan rahasia, menganggap dengan seperti itu ia bisa menjaga diri. Padahal, bagi semua jenis manusia di semesta, berhak bercerita ketika memang sedang tidak baik-baik saja." Obrolan dengan Aurin kali ini terkesan lebih serius dari biasanya. Ini, obrolan yang sangat dalam.
"Kamu masih punya teman, kamu masih punya aku. Kamu bisa cerita apa aja jika kamu mau, jika kamu memang butuh."
"Aku selalu menganggap bahwa Tuhan dan diri sendiri adalah tempat terbaik untuk menyimpan semuanya. Itulah sebabnya kenapa aku jarang bahkan hampir tidak pernah cerita ke orang lain, termasuk kamu, Aurin." Setelah mengatakan pengakuan kepada Aurin, aku meminum kopi susu tubruk pesananku.
"Runi, memang benar bahwa tempat cerita terbaik adalah Tuhan, tapi apa salahnya kalau kamu berbagi cerita kamu ke aku? Toh, aku juga sering cerita ke kamu tentang masalah-masalah aku kan? Aku cuma mau kamu sadar bahwa kamu nggak sendirian. Kita bisa menjadi teman yang sama-sama menguatkan." Mendengar perkataan Aurin yang seperti ini, aku merasa tersanjung, aku merasa beruntung menjadi temannya, untuk kali ini.
"Sebagai manusia, tugas kita memang belajar, belajar, dan terus belajar, berusaha, berusaha, dan terus berusaha, sedang hasil di luar kuasa kita. Seperti itulah takdir bekerja." Aurin menarik nafasnya sebentar kemudian kembali melanjutkan omongannya yang belum selesai.
"Kamu tahu kan kenapa kamu dipilih untuk melewati ini semua? Karena Tuhan tahu sekuat itulah kamu." Penuturan Aurin bagai vitamin yang menguatkanku tapi entah kenapa aku juga merasa sedih. Rasanya aku ingin mengatakan bahwa aku tidaklah sekuat itu.
"Ya meskipun harus berjalan terseok-seok, terjatuh, berdarah, merangkak. Buktinya, kamu bisa tetap berdiri sampai detik ini, kamu masih meneruskan hidup sampai detik ini, itu artinya kamu kuat. Aku salut sama kamu, selamat untuk pencapaianmu melewati semuanya."
Dalam wejangan Aurin, dalam kekusyukanku mendengarkannya, air mataku tumpah. Aurin memelukku erat, aku membalas pelukannya lebih rekat, tangisanku tumpah tanpa suara, air mataku tanpa sengaja membasahi punggungnya, menjadi momen paling mengharukan malam ini.
"Terimakasih sudah baik, Aurin." Hanya itu yang bisa ku katakan padanya, Aurin tidak membalas, ia justru semakin menenggelamkan aku pada pelukannya, sambil terus mengusap punggungku, sebuah bentuk pelukan paling hangat yang terjadi antara aku dan Aurin.
>>> Next
Vote dan komennya selalu ditunggu 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
SADRAH ✔️ (Part Lengkap)
Storie d'amoreAku tidak tahu bagaimana takdir akan bekerja nantinya, entah melangkah mendekat ke arahmu atau jusrtu melangkah jauh darimu. Tapi satu hal yang akan ku jadikan pegangan, pada segala rasa serta asa, aku bermunajat, mengalah lalu berserah. Dari yang t...